Kajian Pengembangan Ayam Kampung (Gallus gallus domesticus) di Lahan Gambut dengan Sistem Free-Range

Abstract

Ayam kampung (Gallus gallus domesticus) merupakan salah satu rumpun ayam asli Indonesia yang penyebarannya sangat luas. Saat ini isu kesejahteraan hewan (animal welfare) menjadi perhatian utama. Sistem intensif (cage) dipertanyakan karena membatasi ruang gerak yang berdampak negatif pada perilaku alami ayam, menyebabkan stres, turunnya tingkat kesehatan, performa dan kualitas produk. Situasi ini menyebabkan berkembangnya sistem pemeliharaan alternatif seperti sistem free-range, yang mana mampu menyediakan ruang lebih luas, dilengkapi tempat bertengger, sarang dan akses ke padang penggembalaan. Keberadaan lahan subur untuk akses padang penggembalaan sebagai persyaratan sistem free-range semakin berkurang. Alasan ini membuat peternak harus mampu mamanfaatkan lahan marginal, termasuk lahan gambut. Penelitian ini terdiri atas dua bagian, bagian pertama bertujuan menganalisis komposisi botani, kandungan nutrisi, produksi biomassa dan palatabiltas ayam kampung terhadap hijauan lahan gambut. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa lahan gambut memiliki jenis vegetasi yang beragam. Pada lahan gambut yang belum dimanfaatkan ditemukan 6 spesies hijauan yang didominasi oleh pakis (62,55%), kerisan (25,05%) dan pakis hijau (8,65%). Sedangkan pada lahan gambut yang sudah dimanfaatkan ditemukan 11 spesies hijauan yang didominasi oleh rumput paitan (43,17%), pakis (25,78%) dan kerisan (7,89%). Kandungan PK hijauan lahan gambut berkisar 7,09% - 8,20%, SK 23,75% - 26,73%, Ca 0,28% - 0,62%, P 0,14% – 0,30%, tannin 4,65% - 7,50% dan fenol 1,28 – 2,60 mg g-1. Produksi bahan kering hijauan lahan gambut berkisar 714 – 2.716 kg ha-1, dengan estimasi daya tampung sebanyak 794 - 3.018 ekor ayam per hektar atau sebanyak 184 - 807 ekor ayam per hektar berdasarkan produksi protein hijauan. Tingginya kandungan serat kasar dan senyawa tanin menjadi faktor pembatas konsumsi hijauan lahan gambut, sehingga perlu introduksi hijauan unggul yang adaptif pada lahan gambut. Penelitian bagian kedua bertujuan mengevaluasi dan menganalisis kondisi fisiologis, performa dan kualitas daging ayam kampung pada sistem free-range dengan introduksi hijauan yang berbeda. Sebanyak 210 ekor ayam kampung digunakan dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan lima ulangan. Perlakuan dalam penelitian ini terdiri atas perlakuan kontrol (tanpa pedok hijauan), pedok rumput bede (Brachiaria decumbens), pedok rumput paitan (Axonopus compressus) dan pedok legum indigofera (Indigofera zollingeriana). Setiap perlakuan kecuali kontrol dilengkapi dengan pedok penggembalaan yang berukuran 4x20 m. Pada setiap pedok ditempatkan satu kandang portabel berukuran 2 m2. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa secara umum kondisi fisiologis ayam kampung pada semua perlakuan memperlihatkan kondisi sehat yang dibuktikan dengan profil dan biokimia darah dalam batasan normal. Ayam kampung pada sistem free-range dengan akses pedok hijauan menghasilkan efisiensi pakan yang lebih baik dibandingkan dengan sistem intensif. Pedok sistem free-range dengan hijauan Indigofera zollingeriana menghasilkan daging ayam kampung dengan kandungan kolesterol terendah dan nilai IOFCC tertinggi sebesar Rp13.782,00. Kesimpulan umum dari penelitian ini adalah sistem free-range pada ayam kampung dapat dikembangkan di lahan gambut dengan introduksi hijauan unggul dan secara ekonomis menguntungkan.

Kampung chicken (Gallus gallus domesticus) is one of the most widely distributed native chickens in Indonesia. Currently, the issue of animal welfare is a major concern. The system of intensive (cage) is questionable because it is considered to limit the space for movement and has a negative impact on the natural behavior of chickens, stress, decreased levels of health, performance, and product quality. This situation has led to the development of alternative production systems such as the free-range system, which can provide more space, equipped with perches, nests, and access to pasture. The availability of fertile land for grazing access as a requirement of the free-range system has been decreasing. This reason makes farmers must be able to use marginal lands, including peatlands. This study consists of two parts, the first part aims to determine the botanical composition, nutrient content, biomass production, and palatability of kampung chickens on peatland forage. The results showed that peatlands have various types of vegetation. On unutilized peatlands, 6 forage species were found, dominated by Stenochlaena polutris (62.55%), Scleria sumatrensis (25.05%), and Blechnum indicum (8.65%). While on peatland that has been used, 11 species of forage were found, dominated by Axonopus compressus (43.17%), Stenochlaena polutris (25.78%), and Scleria sumatrensis (7.89%). The crude protein content of forage peatlands ranges from 7.09% - 8.20%, crude fiber 23.75% - 26.73%, Calcium 0.28% - 0.62%, Phosphorus 0.14% - 0.30%, tannin 4.65% - 7.50% and phenol 1.28 – 2.60 mg g-1. Production of dry matter forage on peatlands ranges from 714 – 2,716 kg ha-1, with an estimated capacity of 794 – 3,018 chickens per hectare or as many as 184 - 807 chickens per hectare based on forage protein production. The high content of crude fiber and tannin compounds is a limiting factor for the consumption of forage on peatlands, so it is necessary to introduce superior forages that are adaptive to peatlands. The second part of the study aims to evaluate the physiological conditions, performance, and quality of kampung chicken meat in a free-range system with the introduction of different vegetation. A total of 210 kampung chickens were used in a completely randomized design (CRD) with four treatments and five replications. The treatments in this study consisted of control (without vegetation), paddock with Brachiaria decumbens, paddock with Axonopus compressus, and paddock with Indigofera zollingeriana. Each treatment except control was equipped with a 5x12 m grazing paddock. Each paddock was placed in a portable cage measuring 2 m2. The results showed that in general the physiological conditions of kampung chickens in all treatments showed a healthy conditions as evidenced by the profile and blood biochemistry within normal limits. The free-range system with access to forage paddock resulted in efficient better feed compared to the intensive system. The free-range system using the forage Indigofera zollingeriana produced meat with the lowest cholesterol content and the highest IOFCC value (Rp13,782/bird). The general conclusion of this study is the free-range system in kampung chickens can be developed on peatlands with the introduction of superior forages and is economically profitable.