Pengelolaan Sistem Agroforestry Melalui Integrasi Landscape-Life Scape: Studi Kasus di Kelurahan Bontolerung pada Wilayah Kerja KPHP Unit XIV Jeneberang 1

Abstract

Peningkatan pendapatan masyarakat dengan luas lahan yang terbatas telah menyebabkan tutupan hutan semakin berkurang dan bahkan mengalami alih fungsi lahan menjadi pertanian dan lahan terbangun lainnya. Permasalahan yang terjadi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Jeneberang 1 adalah adanya peningkatan laju deforestasi yang tinggi menjadi areal tidak berhutan seluas 67,84% dari total luas KPH. Salah satu upaya untuk mengatasi kebutuhan akan lahan pertanian dengan tetap mempertahankan fungsi hutan dan lingkungan adalah dengan menerapkan agroforestry. Agroforestry adalah suatu bentuk pengelolaan sumber daya yang memadukan perpohonan dengan tanaman pertanian/peternakan yang memberikan manfaat sosial, ekonomi, dan ekologi. Ruang lingkup dari penelitian ini adalah 1) menganalisi jenis-jenis tanaman yang sedang dikembangkan dan preferensi jenis tanaman yang ingin dikembangkan petani dengan pola agroforestry; 2) menganalisis kondisi land use dan land cover change di wilayah penelitian; 3) land use agroforestry tidak dibuat sebagai kelas penggunaan lahan (land use) sendiri, namun termasuk ke dalam kategori kelas pertanian lahan kering campur semak; 4) Analisis sharing petani pada tahun 2022 dengan melihat pendapatan petani dari pola agroforestry kemudian membandingkannya dnegan pendapatan di luar agroforestry serta kontribusi pendapatan agroforestry terhadap pengeluaran rumah tangga. Tujuan dari penelitian ini adalah 1) menganalisis struktur land use dan land cover pada landscape wilayah penelitian; 2) menganalisis penetapan pola-pola pengelolaan lahan yang dapat dikembangkan dan diterima berdasarkan aspek sosial; 3) menganalisis kelayakan usaha jenis tanaman yang diusahakan kelompok tani; 4) menganalisis kelayakan ekologi jenis tanaman yang diusahakan kelompok tani. Penelitian ini berlokasi di Kelurahan Bontolerung, Kecamatan Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa yang merupakan bagian wilayah kerja KPHP Unit XIV Jeneberang 1. Pemilihan lokasi berdasarkan perbedaan ketinggian dan topografi wilayah, sehingga akan menghasilkan perbedaan karakteristik pola penggunaan lahan. Metode pengumpulan data melalui observasi, wawancara, kuesioner terbuka, dan penelusuran pustaka. Metode pengambilan responden menggunakan metode sampling yang disengaja (purposive sampling) dengan snowball method. Pemilihan responden berdasarkan beberapa kriteria. Kriteria tersebut terdiri atas anggota kelompok tani, memiliki usaha dengan menerapkan agroforestry, keterwakilan luasan yang berbeda, dan masih aktif dalam mengelola lahannya sesuai dengan rekomendasi ketua kelompok tani. Analisis yang digunakan adalah 1) analisis land use and land cover change serta proyeksi pada tahun 2030; 2) analisis pola penetapan penggunaan lahan; 3) analisis kelayakan usaha (analisis biaya, analisis penerimaan, analisis pendapatan, analisis pengeluaran rumah tangga, dan analisis kelayakan finansial; 4) analisis kelayakan ekologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase penurunan luasan terbesar terjadi pada kelas hutan primer (17%) pada tahun 2010–2020 dan telah terkonversi menjadi semak belukar. Disisi lain, hutan lahan kering sekunder diprediksi akan mengalami pengurangan luasan pada tahun 2030. Menariknya, permukiman mengalami persentase kenaikan luasan terbesar (23%) dan diprediksi akan mengalami kenaikan luasan pada tahun 2030. Hasil preferensi jenis tanaman menunjukkan bahwa terdapat 3 jenis komoditi utama yang diusahakan dengan menerapkan sistem agroforestry. Jenis tanaman tersebut adalah kopi arabika (C. arabica L.), cengkeh (S. aromaticum L.), dan porang (A. muelleri BI.). Jenis tanaman penaungnya adalah sengon (F. moluccana Miq (L.)), dadap (E. variegate (L.)), gmelina (Gmelina arborea Roxb), dan suren (Toona sureni Merr.). Jenis-jenis tanaman yang ditemukan ditanam dengan menerapkan pola agroforestry berupa agroforestry kopi, agroforestry kopi-cengkeh, dan agroforestry kopi-cengkeh-porang. Hasil penapisan menunjukkan bahwa ketiga pola agroforestry tersebut layak untuk diusahakan secara sosial, ekonomi, dan ekologi dengan jenis tanaman invasif yang tidak membahayakan ekosistem setempat. Ketiga pola agroforestry menghasilkan nilai Net Present Value >0, Benefit Cost Ratio>1, dan Internal Rate of Return> suku bunga. Skema agroforestry kopi-cengkeh memberikan pendapatan terbesar dibandingkan skema-skema lainnya yang dapat mencapai Rp43.005.731/ha/tahun. Persentase kontribusi dari usaha agroforestry terhadap total pengeluaran rumah tangga sebesar 53%. Rekomendasi penggunaan lahan berbasis agroforestry diharapkan dapat memberikan konsep menghutankan kembali lahan yang telah terkonversi dengan menerapkan jenis tanaman yang telah ditapis secara sosial, ekonomi, dan ekologi, namun bentuknya bukan hutan primer, melainkan agroforestry

Increasing the income from community with limited land area, resulting on indiscriminate deforestation, land use converted functions into agricultural and building area. The concern with the Jeneberang 1 Forest Management Unit (KPH) is the high rate of deforestation, which has resulted in a forested area representing for 67.84 % KPH area. The use of agroforestry is one of the initiatives to reduce the demand for agricultural land while maintaining forest and environmental services. Agroforestry is a type of resource management in which trees are planted alongside agricultural/livestock crops to give social, economic, and environmental benefits. The purpose of this study is to 1) examine the types of plants that are being developed and the preferences of farmers who want to develop plants in an agroforestry pattern; 2) examining changes in land use and land cover in the research region; 3) Agroforestry is not classified as a land use, but it is included in the dry land mixed bush farming category. Farmers' revenue from the agroforestry pattern is compared to income earned outside of agroforestry, and the contribution of agroforestry income to household expenditure is calculated in 2022. The aims of this study are to: 1) examine the land use and land cover structures in the research area's landscape; 2) examine the development and acceptance of land management patterns based on social factors; 3) examine the commercial viability of plant species cultivated by farmer groups; and 4) examine the ecological viability of plant species cultivated by farmer groups. This study is located in Bontolerung Village, Tinggi Moncong Subdistrict, Gowa Regency, under the KPHP Unit XIV Jeneberang 1 working area. The location selection is based on differences in altitude and area topography, resulting in various land use pattern characteristics. Observation, interviews, open surveys, and literature searches are types of data collection approaches. The snowball method is a method of collecting respondents using a purposive sampling approach. The responders were chosen based on a number of criteria. The criteria consist of members of the farmer group, having a land in agroforestry, and being active in managing their land according to the recommendations of the head of the farmer group. The analysis used is 1) land use and land cover change and predictions for 2030; 2) land use determination patterns; 3) business feasibility analysis (cost analysis, revenue analysis, income analysis, household spending analysis, and financial feasibility analysis); 4) ecological feasibility analysis. The study finds that primary dryland forest cover losses are 17% from 2010-2020 converted into shrubs. Furthermore, secondary dryland forest cover is predicted to decline in 2030. Interestingly, settlements increased 23% in the same period and expected to grow in 2030. As a result of plant species preferences, there are three primary categories of commodities that may be grown using an agroforestry system. The type of species is arabica coffee (Coffea arabica L.), cloves (Syzygium aromaticum L.), and iles-iles (Amorphophallus muelleri BI.). The type of shade trees is silk tree (Falcataria moluccana Miq L.), easter flower (Erythrina variegate (L.)), Beechwood (Gmelina arborea Roxb), and redcedar (Toona sureni Merr.). The plants discovered were grown using an agroforestry system, i.e., coffee agroforest, coffee-cloves agroforest, and coffee-cloves-iles-iles agroforest. The three kinds of agroforestry patterns are socially acceptable, economically feasible, and ecologically. In order to optimally utilize and maintain natural biodiversity, control efforts with invasive plant species are required. The three kinds of agroforestry patterns were feasible to be developed financially because each value resulted Net Present Value >0, Benefit Cost Ratio>1, dan Internal Rate of Return> interest rate. The coffee-cloves agroforests show the highest gains with an average annual income of IDR43.005.731/ha. Agroforestry systems contributed 53% to farmer household expenditure. The result suggested a recommendation for the use of agroforestry provided the possibility of forests that converted into shrubs, then combines the crops with agroforestry systems based on social, economic, and ecologic, the land can be turned back into forest. However, the form is not primary forest but agroforestry.