Dinamika dan Determinan Nilai Tukar Nelayan di Indonesia dalam Perspektif Spasial

Abstract

Potensi sumber daya alam dan ketersediaan lapangan pekerjaan yang tinggi di subsektor perikanan tangkap diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan. Salah satu pendekatan dalam mengukur kesejahteraan nelayan adalah Nilai Tukar Nelayan (NTN). Pendekatan penghitungan NTN publikasi BPS lebih pada mengukur daya beli nelayan sehingga perlu dilakukan reformulasi perhitungan NTN yang dikoreksi dengan pertumbuhan produksi dan tenaga kerja agar lebih menggambarkan kesejahteraan nelayan. NTN provinsi hasil reformulasi tahun 2015-2019 menunjukkan adanya ketimpangan antar provinsi dan efek spasial. Pemerintah pusat telah membuat kebijakan berupa bantuan pemerintah untuk meningkatkan produksi dan NTN guna mengurangi ketimpangan NTN. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis (1) pola dan dependensi spasial NTN di Indonesia, (2) kebijakan pemerintah dalam mendukung peningkatan NTN di Indonesia, (3) determinan NTN level nasional, level provinsi dan konvergensi NTN di Indonesia (4) menentukan reformulasi NTN yang dapat memproksi kesejahteraan nelayan. Metode yang digunakan untuk menganalisis pola dan dependensi spasial NTN adalah Indeks Moran Global, Local Indicator of Spatial Autocorrelation (LISA) dan diagram pencar moran. Kebijakan pemerintah terhadap NTN dianalisis dengan pendekatan kuadran antara bantuan pemerintah dengan NTN provinsi, sementara itu determinan NTN nasional dan konvergensi NTN dianalisis dengan regresi data panel spasial dinamis. Metode untuk menganalisis determinan NTN provinsi adalah dengan metode Geographically Weighted Panel Regression (GWPR) yang menghasilkan model lokal dan mengatasi heterogenitas spasial. Data yang digunakan merupakan data panel yang mencakup 33 provinsi tahun 2015 hingga 2019. Hasil analisis menunjukkan terdapat dependensi spasial NTN dengan pola mengelompok yang ditunjukkan dengan Indeks Moran yang signifikan positif. Diagram pencar moran menunjukkan provinsi yang berada di kuadran III (provinsi dengan NTN rendah di kelilingi oleh provinsi dengan NTN rendah) menjadi fokus pemerintah dalam mengambil kebijakan. Implikasi hasil temuan pada penelitian ini adalah perlunya evaluasi terkait kebijakan pemberian bantuan pemerintah terhadap provinsi yang berada di kuadran III (provinsi dengan BP rendah dan NTN rendah) dan kuadran IV (provinsi dengan BP tinggi dan NTN rendah). Dependensi spasial NTN memengerahui NTN secara signifikan. Determinan NTN pada level nasional dengan memperhatikan dependen spasial dan pengaruh NTN tahun sebelumnya pada jangka pendek maupun jangka panjang yaitu IHK, nilai produksi perikanan tangkap, bantuan pemerintah dan jumlah tenaga kerja subsektor perikanan tangkap. Heterogenitas spasial menyebabkan perbedaan determinan NTN antar provinsi. Nilai produksi perikanan tangkap, jumlah tenaga kerja subsektor perikanan tangkap, dan bantuan pemerintah merupakan determinan NTN di semua provinsi. IKRT menjadi determinan NTN di 17 provinsi. IHK menjadi determinan NTN di lima provinsi. Ekspor perikanan tangkap menjadi determinan NTN di dua provinsi yaitu Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Kepulauan Riau. Tingkat konsumsi ikan menjadi determinan NTN di lima provinsi. Upah nelayan buruh menjadi determinan NTN di 17 provinsi. Persentase jumlah kapal perikanan tangkap bermotor merupakan determinan di tiga provinsi yaitu Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Jawa Timur. Terjadi konvergensi NTN provinsi dengan tingkat kecepatan yang relatif tinggi sebesar 152 persen per tahun atau 12,67 persen per bulan dengan asumsi tidak terdapat guncangan dari luar yang berarti. Waktu yang diperlukan untuk menutup setengah ketimpangan (half time convergence) NTN yaitu 0,46 tahun atau 5 hingga 6 bulan. Penelitian ini menghasilkan perhitungan NTN Reformulasi dengan menghitung rata-rata geometri dari hasil kali antara NTN publikasi BPS dengan pertumbuhan produksi perikanan tangkap menggunakan IPPT dan pertumbuhan tenaga kerja subsektor perikanan tangkap menggunakan ITK. Hasil perhitungan NTN reformulasi dapat digunakan sebagai salah satu proksi kesejahteraan nelayan. Berdasarkan hasil penelitian terdapat beberapa rekomendasi. Pertama, perlunya kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah sehingga mekanisme dan pelaksanaan bantuan pemerintah dapat tersalurkan dengan baik. Kedua, memaksimalkan fungsi pengendalian dari Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) terhadap inflasi barang konsumsi di perdesaan. Rekomendasi ini juga dapat meningkatkan upah riil nelayan buruh walaupun peningkatan upah nominal nelayan buruh relatif lebih kecil dibandingkan dengan upah nominal nelayan buruh disektor lainnya. Ketiga, menjaga biaya transportasi dengan cara tetap memberlakukan BBM bersubsidi untuk nelayan kecil. Keempat, meningkatkan persentase jumlah kapal perikanan tangkap bermotor sehingga dapat meningkatkan produksi dan produktivitas per kapalnya. Kelima, meningkatkan konsumsi ikan dengan cara melakukan sosialisasi lebih gencar terhadap gerakan Gemar Memasyarakatkan Makan Ikan (GEMARIKAN) terutama ikan basah sehingga peningkatan konsumsi ikan yang memang benar berasal dari ikan hasil tangkapan. Keenam, meningkatkan ekspor perikanan tangkap dengan cara mendorong setiap provinsi dengan meluncurkan program-program yang dapat mendukung akses ke pasar luar negeri. Ketujuh, menjaga inflasi subkelompok ikan dengan cara menjaga stabilitas harga ikan pada level nelayan. Kebijakan yang dapat dilakukan yaitu dengan penguatan Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN), mempercepat implementasi Sistem Resi Gudang (SRG) produk perikanan, meningkatkan infrastruktur yang mendukung pembangunan cold storage terutama ketersediaan listrik. Pemerintah pusat melalui BUMN perikanan yaitu PT Perikanan Indonesia harus memperluas cakupan wilayah bisnisnya dan meningkatkan perannya sebagai Badan Urusan Logistik (Bulog) perikanan dengan melakukan kebijakan ceiling price dan floor price.

The potential of natural resources and the availability of high employment opportunities in the capture fisheries sub-sector are expected to improve the welfare of fishers. One approach in measuring the welfare of fishers is the Fishers Term of Trade (FiTT). FiTT published by BPS can only measure the purchasing power of fishers, so it is necessary to reformulate the calculation of FiTT, which is corrected by growth in production and labor. Provincial FiTT because of the 2015-2019 reformulation shows that there is inequality between provinces and spatial effects. The central government has made policies in the form of government assistance to increase production and FiTT to reduce inequality in FiTT. This study aims to (1) analyze pattern and spatial dependencies of FiTT in Indonesia, (2) analyze government policies to support the improvement of FiTT in Indonesia, (3) analyze Determinants of FiTT at the national and provincial levels and convergence of FiTT in Indonesia and (4) determine the reformulation of FiTT that can proxy the welfare of fishers. The methods used to analyze the spatial patterns and dependencies of FiTT are the global moran index, Local Indicator of Spatial Autocorrelation (LISA) and moran scatter plots. The impact of government policies on FiTT was analyzed using a quadrant approach between government assistance and provincial FiTT. The determinants of national FiTT and FiTT convergence are analyzed using dynamic spatial panel data regression. The method to analyze the determinants of the province's FiTT is the Geographically Weighted Panel Regression (GWPR) method which produces a local model and overcomes spatial heterogeneity. The data used is panel data covering thirty-three provinces from 2015 to 2019. The results of the analysis show that there is a spatial dependence of FiTT with a clustered pattern as indicated by a significantly positive Moran index. The scatter plot shows that the provinces in quadrant III (provinces with low FiTT are surrounded by provinces with low FiTT) are the focus of the government in making policy. The results of the quadrant analysis of government assistance to FiTT indicate that it is necessary to evaluate the provinces in quadrant III (provinces with low government assistance and low FiTT) and quadrant IV III (provinces with high government assistance and low FiTT) of the policy of providing government assistance. The spatial dependence of FiTT affects FiTT significantly. The determinants of FiTT at the national level by considering the spatial dependence and influence of the previous year's FiTT in the short and long term are the CPI, production value of capture fisheries, government assistance and the number of labors in the capture fisheries sub-sector. Spatial heterogeneity causes differences in the determinants of FiTT between provinces. The production value of capture fisheries, the number of labors in the capture fisheries sub-sector, and government assistance are determinants of FiTT in all provinces. HCI is a determinant of FiTT in seventeen provinces. CPI is a determinant of FiTT in five provinces. Exports value of Capture fisheries is a determinant of FiTT in two provinces, namely Central Kalimantan Province and Riau Islands Province. Fish consumption rate is a determinant of FiTT in five provinces. The wage of labor is the determinants of FiTT in seventeen provinces. The percentage of motorized fishing vessels is a determinant in three provinces, namely DI Yogyakarta Province, Central Java Province, and East Java Province. There is a convergence of provincial FiTT with a high speed of 152 percent per year or 12.67 percent per month assuming there are no significant external shocks. The time required to close the half time convergence of FiTT is 0.46 years or 5 to 6 months. This study resulted in the calculation of FiTT Reformulation by calculating the geometric mean of the product of the NTN published by BPS with the growth of capture fisheries production using Capture Fisheries Production Index (CFPI) and the growth of labor in the capture fisheries sub-sector using Labor Index (LI). The results of the FiTT reformulation calculation can be used as a proxy for the welfare of fishers. Based on the results of the study, there are several recommendations. First, the need for cooperation between the central and local governments so that the mechanism and implementation of government assistance can be channeled properly. Second, maximize the control function of the Central Inflation Control Team (CICT) and the Local Inflation Control Team (LICT) on consumer goods inflation in rural areas. This recommendation can also increase the real wages of labor fishers, although the increase in the nominal wages of labor fishermen is smaller than the nominal wages of labor fishers in other sector. Third, maintain transportation costs by continuing to apply subsidized fuel for small fishermen. Fourth, increase the percentage of the number of motorized capture fishing vessels to increase production and productivity per vessel. Fifth, increasing fish consumption by conducting more intensive socialization of Promotes Eating Fish Movement (GEMARIKAN), especially fresh fish, so that the increase in fish consumption comes from caught fish. Sixth, increasing capture fisheries exports are by encouraging each province to launch programs that can support access to foreign markets. Seventh, maintain fish subgroup inflation by maintaining fish price stability at the fisherman's level. Policies that can be carried out are strengthening the National Fish Logistics System (NFLS), accelerating the implementation of the Warehouse Receipt System (WRS) for fishery products, improving infrastructure that supports cold storage development, especially the availability of electricity. The central government through the fisheries state-owned company PT Perikanan Indonesia must expand the scope of its business area and increase its role as the fisheries logistics agency by implementing ceiling price and floor price policies.