Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/111420
Full metadata record
DC FieldValueLanguage
dc.contributor.advisorKartodihardjo, Hariadi-
dc.contributor.advisorNurrochmat, Dodik-
dc.contributor.advisorRustiadi, Ernan-
dc.contributor.authorPurwawangsa, Handian-
dc.date.accessioned2022-03-23T05:21:49Z-
dc.date.available2022-03-23T05:21:49Z-
dc.date.issued2022-
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/111420-
dc.description.abstractLahan merupakan sumber daya alam sebagai wadah dan faktor produksi strategis bagi kegiatan pembangunan karena semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan. Secara umum lahan memiliki fungsi lingkungan, ekonomi, sosial dan spiritual. Alokasi pemanfaatan lahan bisa melalui penataan ruang oleh pemerintah, diserahkan pada mekanisme pasar dan kombinasi antara pengaturan pemerintah dan mekanisme pasar. Penggunaan lahan merupakan suatu proses yang dinamis, sebagai hasil dari perubahan pada pola dan besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu, oleh karenanya penggunaan lahan merupakan masalah yang komplek sehingga bisa berkembang ke arah peningkatan kesejahteraan masyarakat dan juga sebaliknya. Lahan memiliki nilai ekonomi (land rent) yang berbeda-beda, dimana suatu bidang lahan tidak mempunyai nilai ekonomi lahan selama tidak dikelola atau diterlantarkan. Keberadaan tanah terlantar hingga saat ini masih menjadi persoalan pelik, dan proses penyelesaiannya cenderung berlarut-larut dan merupakan akumulasi penelantaran tanah yang terjadi pada masa lalu yang tidak terselesaikan. Penelantaran tanah dapat memberikan dampak negatif seperti meningkatnya kesenjangan sosial, melemahnya perekonomian bangsa dan menurunkan stabilitas ketersediaan cadangan pangan dalam negeri. Dalam rangka mengantisipasi tanah diterlantarkan pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan mulai dari Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1982 tentang Penertiban Tanah di Daerah Perkotaan, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pemberdayagunaan Tanah Terlantar, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar dan peraturan terbaru yaitu Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. Terbitnya peraturan baru tersebut bertujuan untuk meningkatkan kinerja penertiban lahan terlantar. Pendekatan penertiban untuk meningkatkan produktivitas lahan terlantar belum berjalan secara optimal, sehingga diperlukan pendekatan lain yang bersifat non penertiban. Tujuan dari penelitian ini adalah: Melakukan identifikasi ragam “product of knowledge” yang memiliki policy space paling besar, memahami relasi kuasa antar aktor dalam integrasi ilmu pengetahuan kedalam kebijakan pemanfaatan lahan terindikasi terlantar di Kabupaten Bogor dan memahami proses integrasi ilmu pengetahuan ke dalam pembuatan kebijakan pemanfaatan lahan terindikasi terlantar di Kabupaten Bogor. Penelitian ini menggunakan pendekatan utama berupa Analisis RAPID yang dilengkapi dengan pendekatan spasial, IDS dan analisis prosfektif dan analisis komunikasi jaringan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Product of knowledge yang paling banyak diadopsi adalah dalam bentuk tindakan praktis yaitu sebanyak 64% sedangkan adopsi dalam bentuk sosialisasi publik dan tindakan politis masing- masing sebesar 18%. Hal tersebut menunjukkan bahwa semua jenis adopsi dapat dilakukan oleh pemerintah daerah sepanjang memenuhi kriteria yaitu kesamaan discorse, interest dan network, serta didukung faktor pemungkin yaitu pendanaan. Luasan lahan terindikasi terlantar pada tahun 2013 dan 2016 tidak mengalami perubahan yang signifikan, dimana hanya terjadi peningkatan sebesar 333 ha. Perhitungan yang dilakukan pada tahun 2020 menunjukkan perubahan sebesar 27% (2.585,13 ha) jika dibandingkan dengan tahun 2013. Berdasarkan peta kepemilikan lahan dari BPN tahun 2010, diketahui bahwa sebagian besar lahan terindikasi terlantar belum tercatat di dalam peta kepemilikan lahan. Hal tersebut dapat dilihat bahwa berdasarkan perhitungan tahun 2013 luas lahan terindikasi terlantar adalah 9.646,46 ha sedangkan yang tercatat dalam peta kepemilikan lahan hanya 1.278,53 ha (13%). Demikian pula halnya dengan perhitungan pada tahun 2020, dimana dari 7.061,33 ha lahan terindikasi terlantar hanya sebesar 1.689,38 ha (24%) yang tercatat di dalam peta kepemilikan lahan BPN Kabupatan Bogor. Hasil wawancara menunjukkan mayoritas responden tidak mengelola lahannya karena belum memiliki modal usaha (33%), belum memiliki rencana pengelolaan (31%), lahan akan dijadikan bangunan (16%) dan lahan akan dijual (11%). Berdasarkan empat alasan terbesar pemilik lahan tidak mengelola lahannya, terlihat bahwa faktor ekonomi menjadi faktor utama dari keputusan para pemilik lahan tidak mengelola lahannya. Faktor sosial seperti perpindahan penduduk, petani sudah tua dan rendahnya pertumbuhan penduduk tidak menjadi alasan utama lahan tidak dikelola, karena sebagian besar lahan terindikasi terlantar yang menjadi objek kajian (82%) merupakan milik orang di luar desa atau kecamatan (Lahan Guntai) dan menyerahkan pengelolaan lahan kepada penjaga atau penggarap lahan yang tinggal di satu desa dengan lokasi lahan terindikasi terlantar. Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa 59% persen pemilik lahan jarang mengunjungi lahannya (kurang dari 2 kali dalam satu tahun). Berdasarkan hasil wawancara dengan para pemilik lahan terindikasi terlantar, mayoritas pemilik lahan mengharapkan usaha di bidang pertanian (39%), kehutanan (18%) dan usaha di bidang pertanian dan kehutanan (agroforestry) sebesar (14%). Analisis relasi kuasa menunjukkan bahwa pihak yang menjadi variabel kuat (driving variables) adalah pihak yang memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan, pihak yang memiliki akses pendanaan dan pihak yang memiliki akses terhadap informasi dan teknologi. Berdasarkan Analisis Jaringan, IPB melalui KSKP menjadi stakeholder yang paling menonjol dalam membangun komunikasi pada jaringan ini. Hal ini dibuktikan dengan nilai tertinggi pada outdegree dan indegree pada tiga tipe kepemilikan lahan terindikasi terlantar, yaitu lahan milik pribadi, perusahaan dan lahan milik pesantren. IPB melalui KSKP juga menjadi pihak yang berperan paling besar dalam mengendalikan informasi dan berperan sebagai fasilitator dalam menyebarkan informasi berkaitan dengan program pemanfaatan lahan terindikasi terlantar milik pribadi dan pesantren, namun tidak dapat mengendalikan semua stakeholders secara penuh, terutama stakeholders’ yang memiliki kepentingan tersembunyi. Oleh kerena itu diperlukan instrument tambahan berupa koersi, disinsentif dan informasi dominan untuk mengatasi perilaku aktor yang subordinat. Hasil analisis Rapid menunjukkan bahwa dari aspek politik, perubahan kebijakan seringkali bersifat trade off sehingga menimbulkan pihak yang resisten terhadap adopsi hasil penelitian. Pemegang kebijakan akan melakukan adopsi kebijakan apabila dapat meningkatkan Indikator Kinerja Utama (IKU) atau memperoleh keuntungan, sosial, politik atau ekonomi. Terdapat kompleksitas wewenang dan politik anggaran serta proses adopsi hasil penelitian harus melibatkan birokrasi level bawah, menumbuhkan champion pada level birokrasi dan memperhatikan orang dibalik birokrasi (The man behind the organization). Dari aspek penghubung, peneliti perlu membangun faktor yang paling sering menjadi pertimbangan bagi pembuat kebijakan seperti peraturan perundangan, instruksi dari atasan dan tekanan sosial dan ekonomi. Peneliti juga perlu terlibat dalam jaringan yang relevan dan penghubung bisa berasal dari berbagai pihak. Pengetahuan baru akan lebih mudah untuk diadopsi jika diintegrasikan dengan dengan hasil penelitian lain sehingga membentuk satu ekosistem kegiatan dari hulu ke hilir dan membentuk riset dengan pendekatan transdisiplin. Dari segi bukti, pembuatan model seperti demplot atau denfarm lebih efektif dalam menyakinkan pembuat kebijakan. Bukti juga harus disajikan melalui narasi yang sesuai dengan kisaran “nasihat baik” bagi pemegang kebijakan. Peneliti juga harus selalu bersiap terhadap permintaan pengetahuan baru atau ketika “jendela kebijakan” terbuka.id
dc.description.abstractThe land is a natural resource that plays a role as a strategic production factor for development activity since all physical development sector needs it. The land holds environmental, economic, social, and spiritual functions. The government can set allocation of land utilization, determined by the market, or a combination of both. Land use is a dynamic process resulting from changes in pattern and man activity over time. Therefore, land use is a complex problem that can develop to direction society's well-being enhancement and vice versa. The land holds different economic values (land rent), whereas abandoned or unmanaged land holds no economic values. Until this day, abandoned lands have become a big problem, difficult to solve, or accumulation problems from the past. Land abandonment can have negative impacts such as increasing social inequality, weakening the nation's economy, and reducing the stability of domestic food resources. In order to anticipate abandoned land, the government has emitted several regulations such as the Instruksi Menteri Dalam Negeri RI No. 2/1982 about Land Regulation in Urban Areas, Peraturan Pemerintah RI No. 36/1998 about Regulation and Empowerment on Abandoned Land, Peraturan Pemerintah RI No. 11/2010 about Regulation and Utilization of Abandoned Land, and latest regulation on Peraturan Pemerintah RI No. 20/2021 about Regulation on Abandoned Lands and Areas. This new regulation aims to improve the performance of regulating abandoned land. The regulation approach seems not optimal in managing abandoned land; thus, another approach is essential. This study aims to identify the most significant 'product of knowledge' in policy space. Also, understand the power relation between actors in knowledge integration into the abandoned land policy in Bogor Regency. This study uses RAPID Analysis integrated by spatial approach, IDS, prospective analysis, and network communication analysis. This study shows that the product of knowledge adopted the most was in the form of practical actions (64%), public dissemination (18%), and political actions (18%). Those numbers show that the local government can carry all types of adoption as long as it meets the criteria, namely similarity between discourse, interest, and network. All types of policy adoption also need support by an enabling factor such as funding. In 2013 and 2016, no significant changes were found on abandoned land areas, only a 333-ha increase. Calculations carried out in 2020 show changes by 27% (2,585.13 ha) compared with the year 2013. Based on the land ownership map from BPN Bogor Regency in 2010, registration not done in most abandoned land has not been registered. In the year 2013, the abandoned land area calculation was 9,646.46 ha. On the other hand, the land ownership map recorded only 1,278.53 ha (13%). The same case applied to the calculation in 2020, where only 1,689.38 ha (24%) were documented in the map from 7,061.33 ha. The interviews show the majority of the respondent not manage their land due to lack of capital (33%), no land management plan (31%), will convert into a building (16%), and will be sold (11%). The economic reason is the main factor of landowners not managing their land. Social factor such as migration, old farmer's age, and low growth population is not significant. Most of the abandoned land observed (82%) is owned by outsiders and hand over the responsibility to the land manager or local farmer. Surveys show that 59% of landowners visit their land less than twice a year. The interviews show the landowners looking forward to agricultural (39%), forestry (18%), and agroforestry business(14%). Power relation analysis shows that the actor who becomes the most substantial variable (driving variables) owns authority for making policies, actors who own funding access, and actors who have access to information and technology. Based on Network Analysis, IPB through KSKP is the most prominent stakeholder in building communication on this network. IPB has the highest score on outdegree and indegree on three types of abandoned land ownership (owned by a person, company, or boarding school). IPB has also become an actor who plays the most significant role in controlling information, as a facilitator in disseminating information about abandoned land utilization programs to landowners (person and boarding schools). However, IPB could not control all the stakeholders, especially those with hidden interests. Additionally, additional instruments, such as coercion, disincentive, and dominant information, are needed to overcome subordinate actor behavior. Rapid analysis shows that a trade-off often characterizes policy changes in the political aspect. This trade-off made related actors resist adopting from research. The policyholder adopts the knowledge product only if it increases their Key Performance Indicators (KPI). Another reason is to get social, political, or economic profit. The complexity of authority, political budget, and the process of adopting research knowledge should involve lower-level bureaucracy, build a champion at the bureaucratic level, and pay attention to the people behind bureaucracy (the man behind the organization). The researcher needs to consider policymaker factors such as legislation, boss instructions, and social and economic pressure from the liaison aspect. Researchers must also engage in relevant networks; liaisons can originate from various actors. New knowledge will be easier to adopt if integrated with other research knowledge, and undoubtedly it could shape one ecosystem activity from upstream to downstream and form transdisciplinary approach research. Knowledge model such as demonstration plot or farm is more effective in convincing maker policy. This effort also needs to affirm by appropriate narration with a range of "good advice" for the policyholder. Researchers must also always be ready for new knowledge requests or when the "policy window" is openid
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB Universityid
dc.titleTransfer Pengetahuan dan Adopsi Kebijakan Pemanfaatan Lahan Terindikasi Terlantar di Kabupaten Bogorid
dc.title.alternativeKnowledge Transfer and Policy Adoption on Utilization Abandoned Land in Bogor Regencyid
dc.typeDissertationid
dc.subject.keywordAbandoned Landid
dc.subject.keywordPolicy Adoptionid
dc.subject.keywordProduct of Knowledgeid
dc.subject.keywordTransfer of Knowledgeid
Appears in Collections:DT - Forestry

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
Cover.pdf
  Restricted Access
Cover743.95 kBAdobe PDFView/Open
Full text.pdf
  Restricted Access
Full Test4.47 MBAdobe PDFView/Open
Lampiran.pdf
  Restricted Access
Lampiran670.47 kBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.