Penyakit Layu Bakteri pada Eucalyptus pellita: Faktor Pemicu Penyakit, Keragaman Patogen dan Tanaman Inang

Abstract

The productivity of forest plantations such as Eucalyptus pellita in Indonesia is low, one of which is severely affected by bacterial wilt disease. The serious threat of this disease in Indonesia began in 2006, which attacked lowland eucalyptus plantations in Jambi. The disease has been widely spread in Riau, South Sumatra and East Kalimantan provinces. However, studies of bacterial wilt disease on E. pellita in Indonesia are still inadequate, particularly regarding to the integration of site and genetic factors; thus, a comprehensive study is required. The main objective of this study was to analyze the dominant variables of sylviculture, soil properties, and climate factors that can trigger bacterial wilt disease epidemics on eucalypts; identify and describe the phenotypic and genotypic diversity of the causal agent; characterize pathogen strains that have the highest virulence level based on phenotype and genotype diversity; evaluate the resistance of eucalyptus progenies and clones, and analysis SSR markers related to eucalyptus resistance to bacterial wilt disease. The surveys in four provinces in Indonesia showed that bacterial wilt incidence on E. pellita varied from 0–33.5% in plants aged 2–23 months. The initial disease symptoms are yellowing of the leaves followed by branches wilting and causing plant death. Color changes, turning blackish-brown, occurred in the inner cortex of the stem associated with bacterial ooze. Analysis of the triggering factors that contribute to the emergence of bacterial wilt disease was carried out on silvicultural factors (e.g. topography, site classification, diversity eucalyptus clones, seedling propagation technique, plant age, crop rotation, weed cover, incidence of root malformations, and expose to herbicide drift), soil properties (e.g. pH, C-org, N-total, P-available, S-total, Ca2+, Mg+, K+, Na+, and % soil texture) and climate variables (e.g. temperature, humidity, and rainfall). In silvicultural factors, three of the nine variables showed a significant correlation to disease incidence. The variables were plant age, eucalyptus clones, and root malformations incidence. The early growth of eucalyptus plants is a critical period of the disease epidemic, especially in susceptible. For the soil property factor, the soil texture variable is the dominant variable that partially associated with the disease incidence. The incidence of moderate and severe disease generally develops in clay loam soils. Meanwhile, for climatic factors, rainfall has a positive correlation with bacterial wilt incidence. Description of the diversity of pathogens that cause bacterial wilt is carried out by phenotypic and genotypic analyses. The phenotypic diversity analysis included biovar, exopolysaccharide quantification, and virulence tests, while genotypic diversity included phylotypes and sequevar determination based on egl gene sequences. A total of 35 strains were isolated from the field and nurseries. All isolates were confirmed as Ralstonia species complex based on morphological characteristics and molecular studies using species-specific primers. These pathogen strains were dominantly classified as biovar 3 and 4 and had a high variation in virulence and EPS production (0.13 - 8.38 g/mL). Based on the alignment of the egl gene sequences, 29 strains of Ralstonia originating from E. pellita belonged to Phylotype I and were grouped into four sequevars (sequevars 14, 17, 18, 30) and one new sequevar 58. New sequevars were identified when two or more strains were grouped separately from all known reference strains. This study showed that the strain of R. pseudosolanacearum, the cause of bacterial wilt disease of E. pellita in Indonesia, had a high diversity of phenotypes and genotypes. The results of the AHP analysis showed that the RIE-Dr-067 was the most virulent pathogenic strain to E. pellita. Evaluation of eucalyptus clone resistance and development of molecular markers related to disease resistance are essential to support disease control strategies. Phenotypic resistance to 26 eucalyptus clones was evaluated by artificial inoculation in the growth chamber. Among the clones, there were 11 resistant, seven moderate, and eight susceptible. The evaluation of clone resistance using this artificial inoculation method had a negative correlation with the disease incidence of bacterial wilt in the plantation. Molecular markers identification related to bacterial wilt resistance was developed in a population of 136 clonal progenies from controlled crosses between EP0077AA and EP0499AA parents using 50 pairs of simple sequence repeats (SSR) markers. There were 31 progenies (22,8%) in the resistant group, 36 progenies (26,5%) in the resistant group, and 69 progenies (50,7%) in the susceptible group and. A total of 14 pairs of SSR markers succeeded in mapping two linkage group maps (LG). The linkage analysis of molecular markers resulted in only one QTL (quantitative trait locus) significantly associated with the bacterial wilt resistance trait. The QTL position in LG1 at locus 240, which was located at 22.6 cM from the EMBRA21 marker. Integrated disease control relying on resistant genetic material has proven efficient and can be widely applied to forest plantations. The selection of disease-resistant genetic material is an alternative solution to this disease problem, but it cannot be used as a sole strategy. The use of resistant clones, in combination with disease-free seedlings, maintaining normal roots through proper silviculture practice, suppressing the pathogen inoculum to the possible lowest level in the soil, and balanced plant nutrition is an appropriate way of controlling bacterial wilt in eucalyptus plantations. This comprehensive research on the Ralstonia-Eucalyptus pathosystem can be used as basic information to develop adaptive disease management strategies.

Produktivitas Hutan Tanaman Industri dengan tanaman pokok eukaliptus (Eucalyptus pellita) di Indonesia yang rendah salah satunya sangat dipengaruhi oleh penyakit layu bakteri. Ancaman serius penyakit ini di Indonesia mulai terjadi pada tahun 2006 yang menyerang pertanaman eukaliptus dataran rendah di Jambi. Penyakit ini telah menyebar luas di Provinsi Riau, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Timur. Namun demikian, penelitian penyakit layu bakteri pada E. pellita di Indonesia masih belum memadai, terutama dalam interaksinya dengan lokasi dan faktor genetik; sehingga diperlukan penelitian yang komprehensif. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis variabel dominan dari faktor silvikultur, sifat tanah dan iklim yang dapat memicu epidemi penyakit layu bakteri pada eukaliptus; mengidentifikasi dan mendeskripsikan keragaman fenotipe dan genotipe patogen penyebab penyakit layu; mengkarakterisasi isolat patogen yang memiliki tingkat virulensi paling tinggi berdasarkan keragaan fenotipe dan genotipe; mengevaluasi keragaman ketahanan progeni dan klon eukaliptus dan menganalisis marka simple sequence repeats (SSR) yang terkait dengan ketahanan eukaliptus terhadap penyakit layu bakteri. Hasil survei di empat provinsi di Indonesia menunjukkan adanya variasi insidensi penyakit layu bakteri pada E. pellita berkisar antara 0–33,5% pada tanaman umur 2–23 bulan. Gejala awal penyakit adalah menguningnya daun diikuti kelayuan pada cabang dan mengakibatkan kematian tanaman. Perubahan warna menjadi coklat kehitaman terjadi pada korteks bagian dalam batang yang terkait dengan munculnya eksudat bakteri. Analisis faktor-faktor pemicu yang berkontribusi pada munculnya penyakit layu bakteri dilakukan terhadap faktor silvikultur (topografi, tipe lahan, keanekaragaman klon eukaliptus, teknik perbanyakan bibit, umur tanaman, rotasi tanaman, penutupan gulma, kejadian malformasi akar dan terkena semprot herbisida), sifat tanah (pH, C-org, N-total, P-tersedia, S-total, Ca2+, Mg+, K+, Na+, dan % tekstur tanah) dan iklim (suhu, kelembapan udara dan curah hujan). Faktor silvikultur menunjukkan bahwa sebanyak tiga dari sembilan variabel menunjukkan korelasi yang signifikan terhadap insidensi penyakit. Variabel tersebut yaitu umur tanam, klon eukaliptus, dan kejadian malformasi akar. Periode awal tanaman eukaliptus merupakan masa kritis terjadinya epidemi penyakit, terutama pada klon rentan. Pada faktor sifat tanah, variabel tekstur tanah merupakan variabel dominan yang berasosiasi secara parsial terhadap insidensi penyakit. Insidensi penyakit sedang dan berat secara umum berkembang pada tanah liat berlempung. Sementara itu pada faktor iklim, curah hujan berkorelasi positif terhadap insidensi penyakit layu bakteri. Deskripsi keragaman patogen penyebab layu dilakukan dengan analisis fenotipe dan genotipe. Analisis keragaman fenotipik meliputi uji biovar, kuantifikasi eksopolisakarida dan pengujian virulensi, sedangkan keragaman genotipik meliputi penentuan filotipe dan sequevar berdasarkan sekuen gen egl. Sebanyak 35 strain berhasil diisolasi dari lapangan dan pembibitan eukaliptus. Semua isolat dikonfirmasi sebagai spesies kompleks Ralstonia berdasarkan karakteristik morfologi dan studi molekuler menggunakan primer spesifik spesies. Strain-strain patogen dominan diklasifikasikan sebagai biovar 3 dan 4 serta memiliki variasi tingkat virulensi dan produksi EPS (0,13 - 8,38 μg/mL). Berdasarkan pensejajaran sekuen gen egl, sebanyak 29 strain Ralstonia asal E. pellita tergolong Filotipe I dan dikelompokkan menjadi empat sequevar (sequevar 14, 17, 18, 30) dan satu sequevar baru 58. Sequevar baru diidentifikasi ketika dua atau lebih strain mengelompok secara terpisah dari semua strain referensi yang telah diketahui sebelumnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa strain R. pseudosolanacearum, penyebab penyakit layu bakteri pada E. pellita di Indonesia memiliki keragaman fenotipik dan genotipik yang tinggi. Hasil analisis AHP menunjukan bahwa strain RIE-Dr-067 merupakan strain patogen paling virulen terhadap E. pellita. Evaluasi ketahanan klon eukaliptus dan pengembangan marka ketahanan terhadap penyakit layu menjadi penting untuk menyokong strategi pengendalian penyakit. Ketahanan fenotipe terhadap 26 klon eukaliptus dievaluasi dengan inokulasi buatan di ruang terkontrol (growth chamber). Di antara klon eukaliptus yang diuji, terdapat sebelas klon tahan, tujuh klon moderat dan delapan klon rentan. Hasil evaluasi ketahanan klon dengan metode inokulasi buatan ini berkorelasi negatif terhadap insidensi penyakit layu bakteri di lapangan. Marka molekuler terkait ketahanan terhadap layu bakteri dikembangkan pada populasi 136 klonal progeni hasil persilangan terkontrol antara tetua EP0077AA dan EP0499AA menggunakan 50 pasang marka SSR. Terdapat 31 progeni (22,8%) pada kelompok tahan, 36 progeni (26,5%) pada kekompok moderat dan 69 progeni (50,7%) berada pada kelompok rentan. Sebanyak 14 pasang marka SSR berhasil memetakan sebanyak 2 peta keterpautan (linkage group/LG). Analisis keterpautan marka molekuler menghasilkan hanya satu quantitative trait locus (QTL) secara signifikan terpaut dengan karakter ketahanan penyakit layu. Posisi QTL di LG1 berada pada lokus 240 yang terletak pada 22,6 cM dari marka EMBRA21. Pengendalian penyakit secara terpadu dengan menggunakan bahan genetik tahan terbukti efisien dan dapat diterapkan pada hutan tanaman industri secara luas. Seleksi material genetika tahan penyakit merupakan solusi alternatif untuk masalah ini, tetapi ini tidak dapat digunakan sebagai strategi tunggal. Penggunaan klon tahan yang dikombinasikan penggunaan bibit bebas patogen, mengupayakan akar normal melalui praktik silvikultur yang benar, menekan populasi patogen serendah mungkin di tanah dan nutrisi tanaman yang memadai merupakan cara yang tepat untuk mengendalikan layu bakteri di hutan tanaman eukaliptus. Penelitian komprehensif patosistem Ralstonia-Eucalyptus ini dapat dijadikan informasi dasar untuk menyusun strategi pengelolaan penyakit yang adaptif.