Emisi Gas Nitrogen Oksida (N2O) Dari Lahan Gambut Hutan Konservasi dan Pertanaman Akasia di Semenanjung Kampar Provinsi Riau

Abstract

Indonesia telah berkomitmen untuk melakukan mitigasi perubahan iklim dengan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020 dan 41% pada tahun 2050 dan lebih dari setengah dari pengurangan ini berasal dari sektor kehutanan. N2O termasuk dalam gas rumah kaca berumur panjang dan memiliki potensi gas rumah kaca sebesar 300 kali lebih tinggi, sedangkan CH4 memiliki potensi 34 kali lebih tinggi dari CO2. Konversi hutan rawa gambut dapat menyebabkan perubahan besar pada lingkungan dan sifat fisik kimia tanahnya sehingga akan memengaruhi siklus N2O. Dalam usaha mengkuantifikasi emisi gas N2O dari ekosistem lahan gambut perlu ketersediaan data. Data dan penelitian tentang emisi N2O di lahan gambut Indonesia masih sangat sedikit dilakukan, kurangnya data dan penelitian terkait emisi N2O di lahan gambut terutama pada pertanaman akasia menjadi dasar utama dalam melakukan studi tentang emisi gas N2O dari lahan yang berbeda yaitu dari hutan konservasi dan hutan tanaman industri (pertanaman akasia). Tujuan utama penelitian ini yaitu untuk menentukan emisi gas N2O dari hutan pertanaman akasia dan hutan konservasi, menentukan faktor utama pengontrol emisi dan menentukan kontribusi N2O dari kedua ekosistem tersebut terhadap emisi GRK. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-Desember 2020 di Semenanjung Kampar Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau. Metode pengambilan sampel gas menggunakan metode sungkup manual dengan frekuensi pengambilan sampel setiap bulan. Analisis sampel gas dilakukan di laboratorium dengan menggunakan gas chromatograph maksimal 48 jam setelah pengambilan sampel gas. Hasil studi ini menunjukkan bahwa emisi N2O meningkat seiring menurunnya nilai pH, porositas dan berat isi, sedangkan NO3-N dan water filled pore space (WFPS) berkorelasi positif terhadap emisi N2O. pH menjadi parameter dengan nilai kepentingan relatif tertinggi diikuti dengan porositas, berat isi, NO3-N dan WFPS. Emisi N2O pada studi ini tidak menunjukkan variasi musiman yang jelas jika dilihat dari variasi temporal pada dua lokasi penelitian. Emisi gas N2O di hutan konservasi secara signifikan lebih kecil dibanding dengan emisi di hutan pertanaman akasia yang masing-masing menyumbang 0,06 ± 0,11 mg m-2 hari-1 dan 0,80 ± 0,35 mg m-2 hari-1. Nilai emisi tersebut setara dengan dengan 0,1 tCeq ha-1 tahun-1 dan 1,2 tCeq ha-1 tahun-1. Pertukaran N2O antara lahan gambut dan atmosfer secara signifikan dipengaruhi oleh perubahan subtansial pada parameter tanah maupun lingkungan. Kata Kunci: emisi, hutan konservasi, N2O, pertanaman akasia

Indonesia has committed to mitigating climate change by reducing greenhouse gas emissions by 26% by 2020 and 41% by 2050 and more than half of this reduction comes from forestry sector. N2O is a long-lived greenhouse gas and has a greenhouse gas potential of 300 times higher, while CH4 has a potential 34 times higher than CO2. Conversion of peat swamp forest can cause major changes to the environment and physical and chemical properties of the soil, which will affect the N2O cycle. In an effort to quantify N2O gas emissions from peatland ecosystems, data availability is highly needed. There is lack of data and research related to N2O emissions in peatlands, especially in acacia plantations. Thus, the main basis for conducting studies on N2O emissions from different land use, namely conservation forest and industrial plants (acacia plantation) forest. The main objectives of this study are to determine the emission of N2O from acacia plantation forests and conservation forests, to determine the main faktors that controlling emissions and to determine the contribution of N2O from both ecosystems to global earming potential. This research was conducted in January-December 2020 in the Kampar Peninsula, Pelalawan Regency, Riau Province. The gas sampling method uses the manual chamber method with a sampling frequency of each month. Gas sample analysis is carried out in the laboratory using a gas chromatograph at maximum of 48 hours after gas sampling. The results of this study indicate that N2O emissions increase with decreasing pH, porosity and bulk density values, while NO3-N and water filled pore space (WFPS) have a positive correlation with N2O emissions. pH was the parameter with the highest relative importance followed by porosity, bulk density, NO3-N and WFPS. N2O emissions in this study do not show a clear seasonal variation during temporal variation at the both research locations. N2O emissions in conservation forests were significantly smaller than those in acacia planted forests which contributed 0,06 ± 0,11 mg m-2 day-1 and 0,80 ± 0,35 mg m-2 day-1, respectively. The emission value is equivalent to 0,1 tCeq ha-1 year-1 and 1,2 tCeq ha-1 year-1. The exchange of N2O between peatlands and the atmosphere is significantly affected by substantial changes in soil and environmental parameters. Keywords: acacia planted forest, conservation forest, emission, N2O