Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/108504
Title: Etnobotani Suku Mian Sea-Sea di Pulau Peling, Kabupaten Banggai Kepuluan, Sulawesi Tengah
Authors: Chikmawati, Tatik
Purwanto, Y
Djuita, Nina Ratna
Amalia, Rezki
Issue Date: 2021
Publisher: IPB University
Abstract: Masyarakat Suku Mian Sea-Sea dalam aktivitas sehari-hari mengandalkan mata pencaharian utama dari hasil berladang. Ketergantungan pada lingkungan alam bagi masyarakat Suku Mian Sea-Sea sangat tinggi. Alam merupakan tempat tersedianya sumber makanan yang dapat mereka peroleh baik dengan mencari makanan (meramu) maupun dengan memanfaatkan untuk proses memproduksi makanan (bercocok tanam) bahkan mereka telah melakukan praktik budi daya tanaman yang diintroduksi dari luar. Hal ini menunjukkan sebuah proses perkembangan pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat Suku Mian Sea-Sea. Tulisan ini mengulas tentang sistem pengetahuan lokal masyarakat suku Mian Sea-Sea berkaitan interaksinya dengan lingkungan, antara lain meliputi: pengetahuan masyarakat Suku Mian Sea-Sea terhadap keanekaragaman satuan lingkungan, pengetahuan keanekaragaman hayati yang tersebar pada satuan lingkungan, serta pengetahuan pemanfaatan dan pengelolaan keanekaragaman hayati sebagai bentuk interaksi yang dilakukan oleh masyarakat Suku Mian Sea-Sea terhadap lingkungan di sekitar. Penelitian dilakukan di dataran tinggi Pulau Peling yaitu di Desa Osan Kecamatan Bulagi Selatan dan di pesisir pantai Pulau Peling yaitu di Desa Buko Kecamatan Buko Selatan Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Kedua lokasi dipilih berdasarkan adanya perbedaan kondisi ketinggian tempat dan jumlah mayoritas masyarakat Suku Mian Sea-Sea. Metode penelitian yang dilakukan adalah eksplorasi yang didasarkan atas pendekatan emik dan etik. Jumlah responden ditentukan sekurang-kurangnya 20 % dari jumlah total masyarakat yang melakukan aktivitas kegiatan terkait untuk masing-masing satuan lingkungan. Kriteria penetapan responden dilaksanakan dengan cara sampling kuota untuk menentukan target responden pada setiap desa dan sampling insidental untuk menentukan responden yang akan diwawancara pada setiap desa, selanjutnya responden yang dipilih, dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan usia, sedangkan informan kunci (IK) adalah orang yang dianggap biasa melakukan aktivitas pemanfaatan tumbuhan terdiri dari sando (dukun), tetua adat dan ahli lokal. Data primer tentang konsepsi dan keanekaragaman satuan lingkungan yang dipahami masyarakat Suku Mian Sea-Sea, jenis tumbuhan yang dimanfaatkan pada setiap satuan lingkungan, dan jenis tumbuhan yang bernilai dikumpulkan menggunakan lembar wawancara. Selain itu juga dilakukan pengambilan sampel tumbuhan. Data satuan lingkungan dibuat deskripsi dan pemetaan wilayahnya. Data tumbuhan selanjutnya dianalisis secara deskripsi. Valuasi tumbuhan untuk menentukan nilai atau manfaat dari satu jenis tumbuhan dianalisis dengan Indeks of Cultural Significance (ICS) yang menggunakan kategorisasi nilai kegunaan etnobotani dan Local User’s Value Index (LUVI). Identifikasi jenis tumbuhan dilakukan berdasarkan buku Flora Sulawesi dan divalidasi dengan spesimen acuan koleksi di Herbarium Bogoriense. Hasil penelitian menggungkapkan bahwa Suku Mian Sea-Sea mengenal enam satuan lingkungan yaitu: lipu (perkampungan), basalaen (pekarangan), asi (ladang), balambean (tempat keramat), laing (hutan sekunder), dan babono (hutan rimba). Hasil inventarisasi yang dilakukan pada seluruh satuan lingkungan mengidentifikasi sebanyak 142 jenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat Suku Mian Sea-Sea. Tumbuhan tersebut oleh Suku Mian Sea-Sea dimanfaatkan untuk banyak keperluan antara lain untuk pangan pokok, pangan tambahan (buah-buahan, biji, kacang-kacangan, sayur, rempah), obat-obatan, tanaman hias, bahan bangunan, bahan minuman dan penyegar, peralatan, pakan ternak, bahan kayu bakar, kosmetik dan aromatik. Hasil valuasi terhadap tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat Suku Mian Sea-Sea, menempatkan waliya’ (Xanthosoma sagittifolium) sebagai tumbuhan yang memiliki nilai yang paling tinggi berdasarkan ICS dan LUVI. Beberapa tumbuhan lain yang termasuk sembilan besar dari penilaian ICS adalah ndeke (Colocasia esculenta), kela (Ipomoea batatas), ba’u (Dioscorea alata), potil (Cocos nucifera), loka (Musa x paradisiaca), sogang (Piper betle), posos (Areca catechu), kasibi (Manihot esculenta), bokinde (Zea mays). Sebaran tumbuhan yang memiliki nilai ICS dan LUVI yang tinggi lebih dominan ditemukan pada satuan-satuan lingkungan yang sudah dikelola secara intensif oleh masyarakat Suku Mian Sea-Sea. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Suku Mian Sea-Sea sudah mampu mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang ada dan tidak banyak bergantung pada sumber daya tumbuhan di alam bebas, sehingga kearifan lokal masyarakat dalam menjaga kelestarian alam masih dipertahankan dengan baik.
The Mian Sea-Sea ethnic community in their daily activities rely on their main livelihood from farming. The dependence on the natural environment for the Mian Sea-Sea ethnic community is very high. Nature is a place where food sources are available which they can get either by looking for food (gathering) or by utilizing it for the process of producing food (cultivating) even they have practiced plant cultivation that was introduced from outside. This shows a process of developing the use of natural resources carried out by the Mian Sea-Sea ethnic community. This paper reviews the local knowledge system of the Mian Sea-Sea ethnic community related to its interaction with the environment, including: knowledge of the Mian Sea-Sea ethnic community on the diversity of environmental units, knowledge of biodiversity scattered in environmental units, and knowledge of the use and management of biodiversity as a form of the interactions made by the Mian Sea-Sea ethnic community towards the surrounding environment. The research was conducted in the highlands of Peling Island, namely in Osan Village, South Bulagi District and on the coast of Peling Island, namely in Buko Village, South Buko District, Banggai Regency, Central Sulawesi. The two locations were chosen based on differences in altitude conditions and the majority of the Mian Sea-Sea ethnic community. The research method used is exploratory based on an emic and ethical approach. The number of respondents is determined to be at least 20% of the total number of people who carry out related activities for each environmental unit. The criteria for determining respondents were carried out by means of quota sampling to determine the target respondents in each village and incidental sampling to determine the respondents to be interviewed in each village, then the selected respondents were grouped by gender and age, while the key informants (IK) were people who were considered usually carry out plant utilization activities consisting of sando (shaman), traditional elders and local experts. Primary data on the conception and diversity of environmental units understood by the Mian Sea-Sea ethnic community, plant species used in each environmental unit, and valuable plant species were collected using interview sheets. In addition, plant samples were also taken. The environmental unit data is described and the area mapped. The plant data were then analyzed descriptively. Plant valuation to determine the value or benefit of a plant species was analyzed by Indeks of Cultural Significance (ICS) which uses ethnobotanical and Local User’s Value Index (LUVI) value categorization. Identification of plant species was carried out based on the Flora Sulawesi book and validated with reference specimens collected at the Herbarium Bogoriense. The results of the study reveal that the Mian Sea-Sea ethnic community recognizes six environmental units, namely: lipu (village), basalaen (yard), asi (field), balambean (sacred place), laing (secondary forest), and babono (jungle). The results of the inventory carried out on all environmental units identified as many as 142 species used by the Mian Sea-Sea ethnic community. These plants by the Mian Sea-Sea ethnic community are used for many purposes, including staple food, additional food (fruits, seeds, nuts, vegetables, spices), medicines, ornamental plants, building materials, drinks and refreshments. , tools, animal feed, firewood, cosmetics and aromatics. The results of the evaluation of the plants used by the Mian Sea-Sea ethnic community, placed waliya' (Xanthosoma sagittifolium) as the plant with the highest value based on ICS and LUVI. Some other plants that are included in the top nine from the ICS assessment are ndeke (Colocasia esculenta), kela (Ipomoea batatas), ba'u (Dioscorea alata), potil (Cocos nucifera), loka (Musa x paradisiaca), sogang (Piper betle), posos (Areca catechu), kasibi (Manihot esculenta), bokinde (Zea mays). The distribution of plants that have high ICS and LUVI values is more dominantly found in environmental units that have been managed intensively by the Mian Sea-Sea ethnic community. This shows that the Mian Sea-Sea ethnic community has been able to optimize the use of existing land and does not rely much on plant resources in the wild, so that the local wisdom of the community in preserving nature is still well maintained.
URI: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/108504
Appears in Collections:MT - Mathematics and Natural Science

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
Watermark_Halaman Awal - TESIS - (G353170211) REZKI AMALIA.pdf
  Restricted Access
Cover458.73 kBAdobe PDFView/Open
Watermark_Fullteks - TESIS - (G353170211) REZKI AMALIA.pdf
  Restricted Access
Fullteks1.77 MBAdobe PDFView/Open
Watermark_Lampiran - TESIS - (G353170211) REZKI AMALIA.pdf
  Restricted Access
Lampiran812.79 kBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.