Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/108392
Title: Analisis Dormansi Benih Kacang Bambara (Vigna subterranea (L.) Verdc.)
Other Titles: Analysis of Dormancy of Bambara Groundnut (Vigna subterranea (L.) Verdc.) Seeds
Authors: Ilyas, Satriyas
Suhartanto, M Rahmad
Qadir, Abdul
Sari, Maryati
Issue Date: 24-Aug-2020
Publisher: IPB University
Abstract: Kacang bambara atau kacang bogor (Vigna subterranea (L.) Verdc.) merupakan salah satu underutilized crops yang potensial dikembangkan sebagai tanaman pangan alternatif karena memiliki potensi sebagai tanaman tahan cekaman kekeringan, memiliki kandungan nutrisi yang baik, dan potensi produksi yang mampu bersaing dengan jenis legum lainnya. Salah satu kendala pengembangan tanaman kacang bambara, baik di tingkat produksi maupun penelitian adalah ketersediaan benih yang terbatas dan mutu benih yang rendah. Perkecambahan yang lambat, tidak serempak, tidak seragam, dan persentase tumbuh yang rendah merupakan permasalahan yang sering dihadapi. Dormansi merupakan kondisi yang dapat menyebabkan benih hidup tidak mampu berkecambah meskipun berada pada kondisi lingkungan yang secara umum optimum untuk mendukung perkecambahannya. Jenis dan faktor penyebab dormansi dapat berbeda-beda antar spesies. Jenis dan faktor penyebab dormansi penting untuk diketahui agar metode pematahan dormansi yang dipilih dapat efektif. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis sifat dormansi benih kacang bambara dan menemukan metode pematahannya. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi adanya dormansi dan karakter terkait dormansi benih pada beberapa lanras kacang bambara, (2) mendeteksi jenis dan faktor penyebab dormansi, (3) menganalisis keterkaitan antara perilaku dormansi dengan proses desikasi benih, dan (4) menemukan metode yang tepat untuk pematahan dormansi benih kacang bambara. Penelitian dimulai dengan mengidentifikasi karakter fisik dan fisiologi yang diduga terkait sifat dormansi benih kacang bambara, dan keragaman di antara lanras (Percobaan 1). Penelitian dilakukan pada empat lanras kacang bambara, yaitu lanras Madura, Sukabumi, Sumedang Cokelat, dan Tasikmalaya. Pengamatan dilakukan pada benih hasil panen dari pertanaman di Kebun Kampung Manggis, Dramaga, Bogor, yang ditanam pada akhir bulan Mei 2017 dan panen pada awal bulan Oktober 2017. Hasil penelitian memberikan informasi adanya keragaman di antara keempat lanras. Lanras Sumedang Cokelat memiliki ciri pembeda pada karakter morfologi benih, berwarna cokelat tua, sedangkan lanras lain didominasi warna ungu pekat hingga hitam. Lanras Sumedang Cokelat memiliki ukuran benih lebih besar dibanding lanras Madura, Sukabumi dan Tasikmalaya, baik pada ukuran panjang dan diameter benih maupun bobot per 100 butirnya. Lanras Sumedang Cokelat memiliki bobot 100 butir paling tinggi (113.40 g) dibanding lanras Madura (94.35 g), Sukabumi (97.56 g), dan Tasikmalaya (89.91 g). Karakter fisiologi benih menunjukkan benih kacang bambara tidak terbebas dari munculnya perkecambahan sebelum panen atau pre-harvest sprouting (PHS), meskipun secara umum benih kacang bambara bersifat dorman. Karakter morfologi berdasarkan pengamatan pada keempat lanras tidak menunjukkan keterkaitan dengan karakter fisiologi, khususnya pada sifat dormansi. Lanras Tasikmalaya memiliki karakter fisiologi berbeda dengan lanras Madura, Sukabumi dan Sumedang Cokelat. Perbedaan karakter terletak pada tingginya tingkat PHS lanras Tasikmalaya (12%) dibanding ketiga lanras lainnya (1-3%). Benih masak fisiologi yang dipanen pada umur 130 hari setelah tanam (HST) memiliki kadar air 53.3% (lanras Madura), 52.2% (Sukabumi), 53.9% (Sumedang Cokelat), dan 53.2% (Tasikmalaya). Lanras Tasikmalaya memiliki tingkat PHS yang paling tinggi (12%) tetapi benih yang tidak berkecambah sebelum panen ternyata menunjukkan lanras Tasikmalaya memiliki intensitas dormansi yang paling tinggi pula (82%) dibanding ketiga lanras lainnya (62-73%). Sebaran status kesiapan perkecambahan benih yang luas pada lanras Tasikmalaya mengindikasikan bahwa budidaya pada lanras Tasikmalaya belum seintensif yang telah dilakukan pada ketiga lanras lainnya. Perkecambahan sebelum panen dapat menurunkan kuantitas dan kualitas produk, sehingga sifat dorman pada tingkat tertentu menjadi penting untuk dipertahankan. Perhatian terhadap pematahan dormansi diperlukan agar gen-gen pembawa sifat dorman tidak hilang. Metode pematahan dormansi yang tepat perlu diperoleh untuk memastikan semua benih yang ditanam saat produksi benih telah patah dormansi secara sempurna. Faktor penyebab dormansi sangat menentukan dalam pemilihan metode pematahan dormansi yang sesuai. Penelitian untuk mendeteksi faktor penyebab dormansi pada benih kacang bambara dilakukan pada lanras Sukabumi dan Sumedang (Percobaan 2). Hasil penelitian menunjukkan pada satu bulan setelah panen perkecambahan memberikan respon negatif terhadap asam absisat (ABA) eksogen (2.5, 5, dan 10 ppm), serta menunjukkan respon positif terhadap giberelin (GA3) eksogen (100, 250, dan 500 ppm). Respon tersebut menunjukkan bahwa benih masih berada pada periode after-ripening dan masih menghadapi masalah keseimbangan hormon. Perkecambahan benih kacang bambara meningkat selama periode after-ripening, 1 – 3 bulan setelah panen, ditunjukkan dengan meningkatnya daya berkecambah dan berkurangnya intensitas dormansi. Daya berkecambah meningkat dari 41.7% menjadi 69.3-74.3% pada lanras Sukabumi, dan meningkat dari 47.3% menjadi 79.7% pada lanras Sumedang. Intensitas dormansi berkurang dari 28.3% menjadi 4.5% pada lanras Sukabumi, dan dari 31.3% menjadi 4.7% pada lanras Sumedang. Benih juga memberikan respon positif terhadap perlakuan perendaman dalam KNO3, namun testa (kulit benih) menunjukkan permeabilitas yang rendah dan menghambat perkecambahan. Skarifikasi mekanik diikuti perendaman dalam 1% KNO3 selama 2 jam mampu meningkatkan daya berkecambah dari 60% menjadi 72% dan menurunkan intensitas dormansi dari 24.4% menjadi 6.2% pada lanras Sukabumi, meningkatkan daya berkecambah dari 52% menjadi 76.9% dan menurunkan intensitas dormansi dari 25.8% menjadi 6.2% pada lanras Sumedang. Hasil ini menunjukkan adanya dormansi ganda pada benih kacang bambara, yaitu dormansi fisiologi keseimbangan hormon pada periode after-ripening dan dormansi fisik akibat rendahnya permeabilitas testa. Dormansi semakin berkurang selama periode after-ripening, seiring dengan semakin meningkatnya permeabilitas dan berkurangnya kebutuhan benih terhadap KNO3 untuk mendukung perkecambahannya. Benih pada akhirnya mengalami pematahan dormansi secara alami setelah melewati periode after-ripening. Persistensi dormansi benih kacang bambara untuk mencapai nilai daya berkecambah 80% (PD80) adalah 3 bulan pada lanras Sukabumi (R2 = 0.66) dan 3.3 bulan pada lanras Sumedang (R2 = 0.97), serta PD100 4 bulan pada lanras Sukabumi dan 4.2 bulan pada lanras Sumedang. Penelitian untuk mempelajari pengaruh desikasi terhadap perilaku dormansi dan perkecambahan pada benih kacang bambara dilakukan sekaligus untuk mendeteksi jenis dormansi (Percobaan 3). Percobaan dilakukan pada lanras Sumedang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa benih kacang bambara memiliki dormansi primer karena benih segar dengan kadar air (KA) 54.7% memiliki daya tumbuh yang sangat rendah. Desikasi meningkatkan kemampuan benih berkecambah. Daya tumbuh (diamati pada 30 HST) benih segar meningkat dari 43.9% menjadi sekitar 70% pada benih kering dengan KA 12-15%. Peningkatan daya tumbuh karena desikasi tidak berarti bahwa desikasi tersebut cukup untuk mematahkan dormansi. Pada 10 HST (waktu normal yang diperlukan benih kacang bambara untuk tumbuh di lapangan) daya tumbuh masih 0% meskipun benih dikeringkan hingga KA 12.1%. Dormansi pada benih yang baru dipanen dan mengalami desikasi dari KA 44.4% hingga 12.1% lebih dikendalikan oleh faktor fisiologi daripada faktor fisik. Daya tumbuh (30 HST) meningkat dari 62.1% pada KA 44.4% menjadi 70.6% pada KA 12.1%, meskipun permeabilitas testa sangat berkurang. Peningkatan daya tumbuh tersebut diiringi dengan peningkatan rasio GA/ABA dari 0.03 pada KA 44.4% menjadi 0.71 pada KA 12.1%. Dormansi benih yang baru dipanen sangat kuat. Daya tumbuh di lapangan pada benih yang baru panen masih 0% (berdasarkan pengamatan pada 15 HST), baik pada benih segar (KA 54.7%) maupun pada benih yang telah dikeringkan hingga KA 12.1%. Skarifikasi mekanik, perendaman dalam larutan KNO3¬ 1% selama 2 jam, maupun kombinasi perlakuan keduanya tidak dapat mematahkan dormansi tersebut. Perlakuan yang dapat meningkatkan produksi GA3 endogen menjadi alternatif untuk diteliti sebagai upaya mengatasi faktor fisiologi penyebab dormansi after-ripening pada benih kacang bambara. Penelitian untuk menemukan metode pematahan dormansi benih kacang bambara yang efektif dilakukan pada lanras Sukabumi dan Tasikmalaya (Percobaan 4). Berdasarkan informasi adanya dormansi ganda, faktor fisik dan fisiologi penyebab dormansi benih kacang bambara, maka pemanasan kering dan perendaman dalam air dipilih sebagai alternatif perlakuan pematahan dormansi yang diteliti. Penelitian dilakukan pada benih lanras Sukabumi dan Tasikmalaya umur 3 minggu setelah panen dengan sembilan taraf perlakuan pematahan dormansi, yaitu kontrol, pemanasan kering pada suhu 40 oC dan 50 oC selama 48 jam, perendaman dalam air selama 6 dan 12 jam, serta kombinasi antara pemanasan kering diikuti dengan perendaman dalam air pada suhu dan waktu tersebut. Hasil penelitian menunjukkan kedua lanras memberikan respon yang sama terhadap perlakuan pemataham dormansi yang diberikan. Perlakuan pemanasan 50 oC selama 48 jam dan perlakuan perendaman dalam air selama 12 jam dengan atau tanpa didahului dengan pemanasan kering mampu meningkatkan daya tumbuh pada lanras Tasikmalaya, meskipun belum mampu mematahkan dormansi sepenuhnya. Perlakuan tersebut mampu meningkatkan daya tumbuh dari 45.3% menjadi 63.3-72.7%. Perlakuan yang sama berhasil mematahkan dormansi benih lanras Sukabumi umur 3 minggu setelah panen. Perlakuan pemanasan 50 oC selama 48 jam dan perlakuan perendaman dalam air selama 12 jam dengan atau tanpa didahului pemanasan kering mampu meningkatkan daya tumbuh dari 59.3% menjadi 85.3-91.3%. Perlakuan pematahan dormansi ini aman karena daya tumbuh meningkat bersama dengan peningkatan kecepatan tumbuh tanpa penurunkan bobot bobot kering bibit. Kata kunci: after-ripening, desikasi, kacang bogor, permeabilitas, testa
Bambara groundnut or kacang bogor (ID) (Vigna subterranea (L.) Verdc.) is one of the underutilized crops. This species has the potential to be developed as an alternative legume food crop because it has the potential as a drought stress-resistant plant, has good nutritional content, and has a potency to. compete with other types of legumes. One of the problems for developing this commodity, both at the production and research level is the limited availability of good quality seeds. Slow germination, not synchronous, not uniform growth and low germination percentage are encountering problems to develop this commodity. Dormancy is the inability of viable seeds to germinate even though under environments that considered favorable for germination. Information about the type and factors causing the dormancy is important in order to select the proper method for breaking the dormancy. The general objectives of this research were to analyze the dormancy characteristics of the bambara groundnut seed and to develop its breaking method. The specific objectives of this research were (1) to identify seed dormancy and characters related to bambara groundnut landraces, (2) to investigate the types and factors that cause dormancy in bambara groundnut seeds, (3) to analyze the relationship between dormancy behavior during the seed desiccation, and (4) to find the proper treatment for breaking bambara groundnut seeds dormancy. The research was begun with the study of the seed characteristics, especially on characters that have relationship with seed dormancy, and to identify the diversity among the landraces. (Experiment 1). The study was conducted on four landraces, namely Madura landrace, Sukabumi landrace, Sumedang Cokelat landrace, and Tasikmalaya landrace. The seeds used in this study were harvested from Kampung Manggis, Dramaga, Bogor, which were planted at the end of May 2017 and harvested in early October 2017. The result showed that there were diversities among the landraces. Sumedang Cokelat landrace has distinguishing characteristic in the morphological character of seeds. Sumedang Cokelat landrace had dark brown testa, while other landraces were dominated by deep purple to black testa. Sumedang Cokelat landrace had a larger size than other landraces, both in the length and diameter of the seed and the weight per 100 seeds. Sumedang Cokelat landrace showed the highest weight of 100 seeds (113.40 g) compared to Muadura landrace (94.35 g), Sukabumi (97.56 g), and Tasikmalaya (89.91 g). Based on the physiological characteristics of the seed, the bambara groundnut seed is not free from pre-harvest sprouting (PHS), although generally, bambara groundnut seed was dormant. Tasikmalaya landrace had a different characteristic in physiological character. Tasikmalaya landrace had the highest PHS level (12%), while the other landraces only had PHS values 1-3%. Seeds that were harvested 130 days after planted had a moisture content of 53.3% (Madura landrace), 52.2% (Sukabumi landrace), 53.9% (Sumedang Cokelat landrace), and 53.2% (Tasikmalaya landrace). Tasikmalaya landrace had the highest PHS, but the observation on the mature and non-PHS seed showed that there was the highest intensity of dormancy on Tasikmalaya landrace (82%), while the other landraces were 62-73%. The wide distribution of germination state on the Tasikmalaya landrace indicates that the cultivation of the Tasikmalaya landrace has not been as intensive as the other of three landraces. Pre-harvest sprouting can reduce the quantity and quality of products so that the seed dormancy at a certain level becomes important to be maintained. The proper method of breaking dormancy is important to ensure all planted seeds have completely released the dormancy, therefore the genes of dormant characters are not lost. Detection of the factors causing the dormancy was carried out to obtain the appropriate dormancy breaking method. The experiment was to investigate the factors that affect dormancy in Sukabumi and Sumedang landraces (Experiment 2). The result showed that one month after harvesting seed showed a negative response to exogenous abscisic acid (ABA) (2.5, 5, and 10 ppm) and positive response to exogenous gibberellins (GA3) (100, 250, dan 500 ppm). That response showed that the seed was on the after-ripening period and was still on germination obstacles related to the hormone. Germination of bambara groundnut increased during the after-ripening periods, 1 - 3 months after harvesting, as indicated by increasing in the germination percentage and reducing in the dormancy intensity. Germination increased from 41.7% to 69.3-74.3% in the Sukabumi landrace and increased from 47.3% to 79.7% in the Sumedang landrace. The intensity of dormancy decreased from 28.3% to 4.5% in the Sukabumi landrace and from 31.3% to 4.7% in the Semedang landrace. The seed also showed a positive response to the treatment of 1% KNO3 soaking for 2 hours, but the testa showed a low permeability and inhibited the germination. Mechanical scarification following by 1% KNO3 soaking for 2 hours was able to increase germination percentage from 60.0% to 72.0% and reduced the intensity of dormancy from 24.4% to 6.2% on Sukabumi landrace, increased germination percentage from 52.0% to 76.9% and decrease the intensity of dormancy from 25.8% to 6.2% on Sumedang landrace. These results indicate the existence of double dormancy in bambara groundnut seeds, the physiological balance of hormonal dormancy in the after-ripening period, and physical dormancy due to the low permeability of testa. The dormancy was decreasing during the after-ripening period, as well as increasing of testa permeability and decreasing of KNO3 requirement for germination. Finally, the seed was released dormancy naturally when it is fully after-ripening. The period of dormant seed to get 80% germination percentage, called persistency of dormancy (PD80) was 3 months for Sukabumi landrace, 3.3 months for Sumedang landrace and the PD100 was 4 months for Sukabumi landrace, 4.2 months for Sumedang landrace. Research to detect the behavior of bambara groundnut seed dormancy and germination during seed desiccation was conducted as well as the observation of the type of dormancy (Experiment 3). The experiment was carried out on Sumedang landrace. The result showed that dormancy in bambara groundnut seeds is primary dormancy because fresh seeds with a water content of 54.7% had very low field emergence. Seed desiccation not decreased but increased field emergence. The field emergence on 30 days after planting (DAP) increased from 43.9% in fresh seeds to 70% in dry seeds (12-15% mc). However, desiccation was not enough to release dormancy. At 10 DAP (the normal time needed for bambara groundnut seeds to emerge on the field) the field emergence of the seeds was still 0% even though the seeds were dried to 12% mc. Dormancy on newly harvested seed in desiccated at 44.4% to 12.1% mc was mostly controlled by physiological factors more than physical factors. The field emergence (30 DAP) increased from 62.1% at 44.4% mc to 70.6% at 12.1% mc seed, although testa permeability was getting lower. The field emergence increased as well as the increasing of GA/ABA ratio from 0.03 at 44.4% mc seed to 0.71 at 12.1% mc seed. Dormancy of newly harvested seeds was very hard. Field emergence was still 0% (evaluated at 15 DAP), either in fresh seed (54.7 mc) or dry seed (12.1% mc), Mechanical scarification, soaking in KNO3 1% solution for 2 hours, or the combination of the both treatments were not be able to break the dormancy. The treatment that can increase endogenous GA3 is an alternative method to be investigated as an effort to overcome the physiological factors that cause dormancy after ripening in bambara groundnut seeds. The research to find the breaking dormancy treatment for bambara groundnut seed was conducted on Sukabumi and Tasikmalaya landraces (Experiment 4). Based on the information on the existence of double dormancy in bambara groundnut seeds, physical and physiological factors, therefore dry heat treatment and water soaking treatment were chosen as alternative treatments for breaking dormancy at this experiment. The experiment was carried out using Sukabumi and Tasikmalaya landraces at age of 3 weeks after harvesting with nine levels of dormancy breaking treatments, i.e control, dry heat at 40 oC and 50 oC for 48 hours, water soaking for 6 and 12 hours, and combinations of dry heat followed by water soaking at that temperatures and times. The result of this experiment indicated that both landraces gave the same response to the dormancy breaking treatment. The 50 oC dry heat treatment for 48 hours and the water soaking for 12 hours by preceded of dry heat treatment or not significantly increased field emergence of Tasikmalaya landrace, although this treatmen was not completely able to break the dormancy. The treatments were able to increase field emergence from 45.3% to 63.3-72.7%. The same treatments were break the dormancy seed of Sukabumi landrace at age of 3 weeks after harvesting successfully. The field emergence increased from 59.3% to 85.3-91.3%. These dormancy breaking treatments were secured. The increasing of field emergence as well as increasing of speed of germination was not followed by decreasing of dry weight of seedling. Keywords: After-ripening, desiccation, kacang bogor, permeability, seed coat
URI: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/108392
Appears in Collections:DT - Agriculture

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
Cover_DISERTASI MARYATI SARI _A261140011_WM-1-14.pdf
  Restricted Access
Cover510.36 kBAdobe PDFView/Open
Full texk_DISERTASI MARYATI SARI _A261140011_WM-21-80.pdf
  Restricted Access
Fullteks1.97 MBAdobe PDFView/Open
LAMPIRAN watermark.pdf
  Restricted Access
Lampiran744.95 kBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.