Kontestasi Pemanfaatan Ruang Taman Nasional Komodo: Perspektif Akses dan Eksklusi

Abstract

Ide konservasi keanekaragaman hayati muncul untuk mengatasi krisis ekologi yang semakin serius. Namun, implementasinya tidak terlepas dari berbagai dampak sosial seperti alienasi masyarakat, konflik, dan menimbulkan kemiskinan baru. Dalam pengelolaan konservasi terdapat hubungan antara manusia dan alam yang bersifat politis, salah satunya mengenai akses terhadap sumber daya atau ruang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: 1) aktor yang mendapatkan akses atau mengalami eksklusi dalam pemanfaatan ruang di TNK, serta menganalisis kekuatan yang bekerja untuk mendapatkan akses atau mengalami eksklusi dalam pemanfaatan ruang di TNK; dan 2) pengaruh dari pemanfaatan ruang di TNK terhadap tatanan sosial dan ekonomi masyarakat yang diukur dari: distribusi manfaat konservasi, keamanan ruang hidup masyarakat, serta keberlanjutan nafkah masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan strategi studi kasus. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Komodo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Mangarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Data dalam penelitian ini mencakup data primer dan data sekunder. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2019 – Maret 2021, adapun pengambilan data primer di lokasi penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus – September 2019. Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam sejarah pemanfaatan ruang di TNK dan sekitarnya, kemampuan aktor dalam mengakses ruang berkembang dinamis. Pada kurun waktu 2000-an sampai dengan 2015, pendekatan pengelolaan TNK dicirikan dengan orientasi pada konservasi keanekeragaman hayati (kehati) berbasis ekologi (ecological-based conservation/EBC). Sementara itu, sejak tahun 2015 hingga saat ini, pengelolaan konservasi kehati berbasis pasar (market-based conservation/MBC). Pada periode EBC, terdapat dua aktor utama yang mendapatkan akses pemanfaatan ruang yaitu nelayan dan LSM bidang konservasi (The Nature Conservancy/TNC). Pada periode ini, nelayan menguasai mekanisme akses yang lebih banyak, yaitu teknologi, modal, pasar, tenaga kerja, pengetahuan, dan relasi dengan identitas sosial. Namun demikian, nelayan memiliki kekuasaan/power yang lebih rendah dibanding TNC. Sementara itu, TNC menguasai tiga bentuk mekanisme akses yaitu pengetahuan, modal, dan relasi dengan pihak yang memiliki kewenangan. Penguasaaan pengetahuan tentang konservasi oleh TNC menempatkannya menjadi aktor yang kuat, karena pada awalnya ide-ide konservasi lebih banyak didominasi oleh ilmuwan bidang alam. Adapun pada periode MBC, terdapat tiga aktor utama yang mengakses ruang di TNK dan sekitarnya, yaitu nelayan, masyarakat bidang pariwisata, dan swasta bidang pariwisata. Pada periode ini, aktor nelayan menguasai mekanisme akses yang lebih sedikit, yaitu teknologi dan modal. Masyarakat bidang pariwisata menguasai mekanisme lebih banyak dibanding nelayan yaitu teknologi, modal, pasar, pengetahuan, dan relasi dengan pihak yang memiliki kewenangan. Sementara itu, aktor swasta mengembangkan mekanisme akses paling banyak dan cenderung memiliki kekuasaan/power yang lebih besar, meliputi teknologi, modal, pasar, pengetahuan, dan relasi dengan pihak yang memiliki kewenangan. Baik di periode EBC maupun MBC, aktor masyarakat (nelayan dan masyarakat bidang pariwisata) menggunakan sekumpulan mekanisme akses sampai pada level mempertahankan akses. Sementara itu, TNC pada periode EBC dapat mengontrol akses. Aktor swasta pada periode MBC berupaya untuk mengontrol akses. Eksklusi merupakan keniscayaan dari adanya akses. Ketimpangan relasi kekuasaan dapat menjadi salah satu penyebab eksklusi terhadap pihak-pihak dari pemanfaatan ruang di TNK dan sekitarnya. Dalam trajektori pemanfaatan kawasan TNK dan sekitarnya, aktor dari kelompok masyarakat lokal lebih banyak mengalami eksklusi dibanding aktor lain. Penelitian ini menganalisis terjadinya eksklusi berdasarkan kekuatan eksklusi menurut Hall et al. (2011) yaitu aturan, paksaan, pasar, dan legitimasi. Pada periode EBC, nelayan mengalami eksklusi akibat bekerjanya aturan konservasi dan paksaan. Sementara pada periode MBC, kekuatan pasar menyebabkan eksklusi terhadap masyarakat yang bermukim di Desa Komodo dan pesisir Labuan Bajo, serta swasta kelas rendah. Selain kekuatan pasar, kekuatan legitimasi yang diberikan kepada aktor bisnis pariwisata kelas atas menyebabkan eksklusi terhadap masyarakat yang bermukim di Desa Komodo dan pesisir Labuan Bajo. Pengelolaan TNK dan sekitarnya belum sepenuhnya memberikan pengaruh positif bagi kehidupan sosial dan ekonomi. Berdasarkan aspek keamanan ruang hidup, masyarakat yang bermukim di Pulau Komodo menempati posisi yang rentan. Isu eksklusi masyarakat dari ruang hidup di Pulau Komodo telah mengemuka sebanyak lima kali dalam sejarah pengelolaan kawasan TNK, yaitu pada tahun 1930-an, 1970-an, 1990-an, 2000-an, dan 2019. Motif dari eksklusi tersebut mengalami perubahan dinamis, yang bermula untuk perlindungan dan pengawetan alam, konservasi kehati, dan konservasi kehati berbasis pariwisata. Berdasarkan aspek keberlanjutan nafkah, masyarakat juga menempati posisi yang rentan. Masyarakat mengalami beberapa kali perubahan sistem nafkah sebagai bentuk adaptasi terhadap karakteristik ekologi dan dorongan dari luar, yaitu aturan konservasi. Secara umum, perubahan-perubahan sistem nafkah dalam masyarakat belum memenuhi semua kriteria keberlanjutan sistem nafkah yang mencakup adanya jaminan akses, kualitas ekologi, dan ketersediaan nafkah alternatif. Berdasarkan aspek manfaat ekonomi, perkembangan pariwisata di TNK telah menyumbang peningkatan PNBP, namun masyarakat kurang merasakan manfaat peningkatan PNBP secara signifikan. Masyarakat yang beralih mata pencaharian ke sektor pariwisata mengalami peningkatan pendapatan. Namun demikian, manfaat ekonomi dari perkembangan pariwisata belum terdistribusi secara merata. Terlebih, manfaat ekonomi yang muncul akibat pencanangan pariwisata “Super Premium” berpotensi lebih banyak ditangkap oleh aktor kelas atas.

The idea of biodiversity conservation emerged to overcome the ecological crisis. However, its implementation had been created various social impacts such as social alienation, conflict, and poverty. There is a relationship between humans and nature that is political, one of which is about access to resources or space. This study aims analyze: 1) who can access or exclude, and through what mechanisms they access or exclude space in Komodo National Park (KNP). 2) the impact of KNP management to social and economic aspect as measured by: distribution of conservation benefits, living space security, and livelihoods sustainability. Qualitative methods with the case study strategy are applied. This research was conducted in Komodo Village, Komodo District, West Mangarai Regency, East Nusa Tenggara Province. The data in this study include primary data and secondary data. This research was conducted in January 2019 - March 2021, while primary data collection at the research location was carried out in August - September 2019. This research shows that in the history of spatial use in KNP and its surroundings, the ability of actors to access space has developed dynamically. From the 2000s to 2015, the KNP management approach was characterized by an orientation towards ecological-based conservation (EBC). Meanwhile, since 2015 shifted to market-based conservation (MBC). During the EBC period, there are two main actors who access to spatial use: fishers and conservation NGOs (The Nature Conservancy/TNC). In this period, fishers have more access mechanisms, as follows: technology, capital, markets, labor, knowledge, and relations with social identities. However, fishers have less power than TNC. Meanwhile, TNC controls three access mechanisms: knowledge, capital, and relationships with parties who have authority. TNC's mastery of knowledge about conservation places him as a strong actor, because initially conservation ideas were dominated by scientists. On the MBC period, there are three main actors who access space of KNP and its surroundings: fishers, the tourism community, and business. In this period, fishers control fewer access mechanisms: technology and capital. The community in the tourism sector controls more mechanisms than fishers: technology, capital, markets, knowledge, and relationships with parties who have authority. Meanwhile, business actors develop most access mechanisms and tend to have more power, including technology, capital, markets, knowledge, and relationships with parties with authority. Both EBC and MBC periods, community actors (fishers and tourism communities) used a set of access mechanisms to the level of maintaining access. Meanwhile, TNC in the EBC period can control access. Private actors during the MBC period attempted to control access. Exclusion is a necessity from the existence of access. Power inequality lead to exclusion of parties from space utilization in KNP and its surroundings. In the trajectory of the utilization of the KNP and its surrounding areas, community experience more exclusion than other actors. This study analyzed the exclusion based on the power of exclusion according to Hall et al. (2011) as follows: rules, coercion, markets, and legitimacy. During the EBC period, fishers experience exclusion due to the operation of conservation regulations and coercion. During the MBC period, market forces led to the exclusion of people living in Komodo Village and the coast of Labuan Bajo, as well as low-class private sector. Beside market power, legitimacy to high-class business actors has led to the exclusion of people living in Komodo Village and the coast of Labuan Bajo. The management of KNP and its surroundings has not fully had a positive impact on social and economic life. Based on the living space security, the people living on Komodo Island occupy a vulnerable position. The issue of community exclusion from living spaces on Komodo Island has surfaced five times in the history of the management of the KNP area, in the 1930s, 1970s, 1990s, 2000s, and 2019. The motives for this exclusion have undergone dynamic changes, starting with the protection and preservation of nature, biodiversity conservation, and market-based conservation. Based on the aspect of livelihood sustainability, the community also occupies a vulnerable position. Communities have experienced several changes in their livelihood systems as a form of adaptation to ecological characteristics and external forces, namely conservation regulations. In general, changes in the livelihood system in society have not fulfilled all the criteria for the sustainability of the livelihood system, which include guaranteed access, ecological quality, and availability of alternative income. Based on the aspect of economic benefits, the development of tourism in KNP has contributed to an increase in PNBP, but the community has not felt the benefits of a significant increase in PNBP. People who switched their livelihoods to the tourism sector experienced an increase in income. However, the economic benefits from tourism development have not been evenly distributed. Moreover, the economic benefits arising from the launch of “Exclusive” tourism have the potential to be captured by upper class actors.