Analisis Pendapatan Usahatani Bawang Merah di Provinsi Jawa Timur

Abstract

Bawang merah merupakan komoditas hortikultura dengan laju konsumsi tertinggi di Indonesia. Terdapat beberapa daerah yang menghasilkan produksi yang tinggi salah satunya adalah Jawa Timur yang menduduki posisi tertinggi kedua setelah Jawa Tengah. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pendapatan dan struktur biaya usahatani bawang merah di Provinsi Jawa Timur. Data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari Sensus Pertanian 2013: Survei Rumah Tangga Usaha Tanaman Hortikultura Tahun 2014 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Jumlah sampel petani bawang merah sebanyak 1.571 petani. Metode analisis yang digunakan yaitu analisis struktur biaya, penerimaan, pendapatan, dan R/C rasio usahatani bawang merah pada musim kemarau dan musim penghujan. Proporsi biaya produksi terbesar adalah biaya benih yakni mencapai 38,95 persen saat musim kemarau dan 39,60 persen saat musim penghujan. Pendapatan petani bawang merah, baik atas biaya tunai maupun atas biaya total, pada musim kemarau dan musim hujan bernilai positif. Pendapatan atas biaya tunai usahatani bawang merah di Jawa Timur pada musim kemarau (Rp47.467.450 per hektare) lebih besar dibandingkan pada musim penghujan (Rp29.817.750 per hektare). Begitu juga dengan return to total capital saat musim kemarau lebih besar (82,62%) dibandingkan saat musim penghujan (61,40%). Hal ini menunjukkan bahwa usahatani bawang merah mampu memberikan imbalan bagi petani. Hasil analisis R/C rasio menunjukkan bahwa usahatani saat musim kemarau lebih efisien dibandingkan musim penghujan.

Shallots is horticultural commodities with the highest consumption rate in Indonesia. There are several areas that produce high production, one of which is East Java which occupies the second highest position after Central Java. The purpose of this study was to analyze the revenue and cost structure of shallot farming in the province of East Java. The data is secondary data from Sensus Pertanian 2013: Survei Rumah Tangga Usaha Tanaman Hortikultura Tahun 2014 has been done by Badan Pusat Statistik (BPS). There are 1.571 farmers who are the sample in this study. The analytical method consists of cost structure analysis, revenues, income, and the R/C ratio of shallot farming in two seasons (dry season and rainy season). The largest cost in shallot farming is the cost of seeds, reaching 38,95 percent in the dry season and 39,60 percent during the rainy season. The income of shallot farmers (both cash and total costs) in the both seasons is positive. The cash income of shallot farming in East Java in the dry season (Rp47.467.450/hectare) is greater than in the rainy season (Rp29.817.750/hectare). Likewise, the return to total capital in the dry season is greater (82,62%) than in the rainy season (61,40%). This means that shallot farming is able to provide rewards for farmers. The last point, R/C ratio shows that shallot farming in the dry season is more efficient than the rainy season.