Profitabilitas dan Efisiensi Teknis Usaha Ternak Babi Skala Rumah Tangga di Indonesia

Abstract

Produksi babi di Indonesia memiliki daya saing dan berpotensi menjadi andalan ekspor serta menunjang kebutuhan bahan baku kuliner pada industri pariwisata. Potensi tersebut perlu untuk dikembangkan dan dapat dimulai dari fondasi peternakan babi yakni peternakan rakyat. Peternakan babi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia umumnya diusahakan oleh 80% peternak rakyat (smallholder) dengan jumlah ternak < 20 ekor per peternak. Berdasarkan tujuan budidayanya, ada tiga kategori usaha ternak babi yaitu: a) memelihara ternak dari anak lahir hingga dipasarkan; b) menggemukkan, dan c) dari anak lahir sampai disapih, namun ada pula yang melakukan kombinasi dari kegiatan tersebut. Ketiga jenis usaha tersebut turut digunakan dalam instrumen Survei Rumah Tangga Usaha Peternakan (ST2013-STU) dengan menggunakan istilah pengembangbiakan, penggemukan, dan pembibitan dengan pedoman definisi sebagai berikut. Jenis usaha pengembangbiakan adalah usaha pemeliharaan ternak dengan tujuan memperbanyak anak. Jenis usaha penggemukan adalah usaha pemeliharaan ternak dengan tujuan meningkatkan bobot atau berat badan ternak dengan cara membeli bakalan atau anak ternak dan kemudian menjualnya bila sudah cukup umur. Jenis usaha pembibitan adalah usaha pemeliharaan ternak dengan tujuan memperoleh anakan, bakalan (ternak muda) yang mewarisi sifat-sifat unggul dengan cara-cara pemuliaan ternak (seleksi). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis profitabilitas, nilai efisiensi teknis, dan mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi inefisiensi teknis pada ketiga jenis usaha ternak babi. Analisis dilakukan secara terpisah berdasarkan jenis usaha ternak karena terdapat perbedaan dalam hal output yang dihasilkan, lama pemeliharaan, dan teknologi yang digunakan pada ketiga jenis usaha ternak babi. Data yang digunakan adalah data sensus terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) yakni Survei Rumah Tangga Usaha Peternakan (ST2013-STU). Periode pendataan adalah satu tahun yang berlangsung dari 1 Mei 2013 sampai dengan 30 April 2014. Pengukuran indikator profitabilitas dilakukan dengan menghitung dan membandingkan profitabilitas ketiga jenis usaha ternak babi menggunakan adaptasi metode enterprise budgeting. Pengukuran nilai efisiensi teknis dan faktor-faktor inefisiensi menggunakan model Stochastic Frontier Analysis (SFA) dengan fungsi produksi Cobb Douglas yang diestimasi secara simultan menggunakan pendekatan Maximum Likelihood Estimation satu tahap. Pengukuran nilai profitabilitas menemukan bahwa jenis usaha penggemukan babi memiliki penerimaan tertinggi dan nilai ukuran profitabilitas (profit/keuntungan finansial, profit/keuntungan ekonomi, indeks margin kotor, dan indeks margin bersih) tertinggi di antara ketiga jenis usaha ternak babi. Jenis usaha pengembangbiakan memiliki efisiensi terendah dilihat dari indeks margin bersih dan memiliki risiko pasar terendah karena komponen biaya utama adalah biaya nontunai. Jenis usaha pembibitan adalah jenis usaha ternak dengan tingkat penerimaan terendah. Selanjutnya, berdasarkan hasil pengukuran nilai efisiensi teknis terkonfirmasi bahwa usaha ternak babi skala rumah tangga di Indonesia masih mengalami inefisiensi teknis atau belum efisien. Rata-rata efisiensi teknis secara berurutan pada tiga jenis usaha ternak adalah 0,559 pada jenis pengembangbiakan; 0,636 pada jenis penggemukan; dan 0,419 pada jenis pembibitan. Dari nilai rata-rata tersebut diketahui bahwa Indonesia masih memiliki ruang untuk mencapai efisiensi teknis penuh (100%) melalui peningkatan produksi dengan menggunakan input dan teknologi yang tersedia. Berikut adalah rincian persentase peningkatan produksi yang dapat dilakukan yaitu sebesar 44,1% pada jenis usaha pengembangbiakan; sebesar 36,4% pada jenis usaha penggemukan; dan sebesar 58,1% pada jenis usaha pembibitan. Lebih lanjut, persentase peternak yang yang mendekati frontier atau mencapai nilai efisiensi teknis di atas 0,8 secara berurutan pada ketiga jenis usaha ternak adalah 6,78% pada jenis pengembangbiakan; 17,61% pada jenis penggemukan; dan 12,28% pada jenis pembibitan. Efisiensi teknis penuh pada usaha ternak babi dapat dicapai dengan memperhatikan faktor-faktor yang ditemukan signifikan dapat menurunkan inefisiensi teknis atau meningkatkan efisiensi teknis pada penelitian ini. Pada jenis usaha pengembangbiakan, faktor-faktor yang diduga menurunkan inefisiensi teknis secara signifikan dan sesuai hipotesis antara lain pendidikan, pengalaman berusaha ternak, kepemilikan lahan pakan, vaksinasi, jenis pakan, orientasi pasar, dan wilayah provinsi produksi. Pada jenis usaha penggemukan, faktor-faktor yang diduga menurunkan inefisiensi teknis secara signifikan dan sesuai hipotesis antara lain pengalaman berusaha ternak, vaksinasi, jenis pakan, koperasi, orientasi pasar, dan wilayah provinsi produksi. Pada jenis usaha pembibitan, faktor-faktor yang diduga menurunkan inefisiensi teknis secara signifikan dan sesuai hipotesis antara lain umur, pengalaman berusaha ternak, koperasi, dan wilayah provinsi produksi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa dari sisi profitabilitas, jenis usaha penggemukan lebih menguntungan daripada jenis usaha pengembangbiakan dan pembibitan. Dari sisi kinerja fisik yang ditunjukkan oleh nilai rata-rata efisiensi teknis ditemukan bahwa ketiga jenis usaha ternak babi skala rumah tangga di Indonesia belum efisien sehingga memiliki peluang untuk meningkatkan produksi dengan memanfaatkan input dan teknologi yang ada. Efisiensi teknis penuh dapat dijangkau dengan memperbaiki praktik peternak dalam penggunaan input produksi dan teknologi yang didukung dengan peningkatan pendidikan dan pengalaman; tersedianya lahan penanaman pakan; pelaksanaan vaksinasi ternak; kombinasi jenis pakan yang tepat dan tinggi nutrisi; kemudahan akses modal usaha melalui koperasi, dan pengarahan orientasi peternak pada orientasi pasar. Di samping itu, secara geografis, usaha ternak yang dikembangkan di tiga wilayah provinsi produksi yakni Sumatera Utara, NTT, dan Bali akan semakin efisien secara teknis.

Pig production in Indonesia has the competitive edge and the potential to become a mainstay of exports. It also supports the need for culinary raw materials in the tourism industry in Indonesia. This potential needs to be developed from its ground, namely smallholder. Pig farming in developing countries, including Indonesia, is generally managed by smallholders (80%) with the livestock number of less than 20 heads per farmer. There are three types of pig farming in Indonesia based on its purpose of cultivating which are: a) raising livestock from birth to marketing; b) fattening, and c) from birth to weaning. Besides these three types, there are also farmers who perform a combination of these activities. These three types are also used in the household survey instrument for livestock business (ST2013-STU) using the terms breeding, fattening, and nursery with the following definition guidelines. The breeding type business is livestock raising business with the aim of multiplying pigs. The fattening type business is a livestock raising business with the aim of increasing the weight of livestock by buying piglets and then selling them when they have reached a certain weight that are qualified for selling. The nursery type business is a livestock raising business with the aim of obtaining piglets, boar, and gilt who inherit superior traits by means of livestock breeding (selection). This study aimed to analyze the profitability, the value of technical efficiency, and to identify the factors influencing technical inefficiency in the three types of pig farming business. The analysis was carried out separately based on the type of livestock business because of their differences in the output produced, the length of maintenance, and the technology used in the three types of pig farming. The data used were the latest census data from the Central Bureau of Statistics (BPS), namely the Livestock Business Household Survey (ST2013-STU). The data collection period was one year which lasted from May 1st, 2013 to April 30th, 2014. The measurement of profitability indicators was performed by calculating and comparing the profitability of the three types of pig farming using the adaptation of enterprise budgeting method. The measurement of technical efficiency value and inefficiency factors employed the Stochastic Frontier Analysis (SFA) model with the Cobb Douglas production function which was estimated simultaneously using one-stage Maximum Likelihood Estimation approach. The measurement of profitability value revealed that the type of pig fattening business had the highest gross revenue and the highest profitability of measurement values (financial profit, economic profit, gross margin index, and net margin index) among the three types of pig farming. Pig breeding type of business had the lowest efficiency seen from the net margin index and had the lowest market risk because the main cost component was non-cash cost, while pig nursery business is the type of livestock business with the lowest level of gross revenue. Furthermore, the measurement of the value of technical efficiency confirmed that the household-scale pig farming business in Indonesia was still encountering technical inefficiency or not yet efficient. The average technical efficiency sequentially in the three types of pig farming business was 0.559 on breeding type; 0.636 on fattening type; and 0.419 on nursery type. This average values indicates that Indonesia has a potential to achieve full technical efficiency (100%) through increasing production using the given inputs and technology. The following is a detailed description of the percentage increase in production that can be done, which was 44.1% in the type of pig breeding business; of 36.4% in the type pig fattening business; and 58.1% in the type of pig nursery business. Furthermore, the percentage of farmers which were close to the frontier or achieved technical efficiency value above 0.8 sequentially in the three types of pig farming business was 6.78% in the type of breeding; 17.61% in the type of fattening; and 12.28% in the type of nursery. Full technical efficiency in pig farming is achievable by concerning to the significant factors that is observed to reduce the technical inefficiency or increasing technical efficiency according to this study. In the type of pig breeding business, the identified factors that reduce technical inefficiency significantly are education, livestock business experience, ownership of feed land, vaccination, type of feed, market orientation, and the province(s) of the production. In the type of pig fattening business, the factors are livestock business experience, vaccination, type of feed, cooperatives, market orientation, and the province(s) of the production. In the type of pig nursery business, the factors are age, livestock business experience, cooperatives, and the province(s) of the production. This study concluded based on the profitability analysis, pig fattening type of business was more profitable than the breeding and nursery type. Then based on the physical performance as indicated by the average value of technical efficiency, it was identified that the three types of household-scale pig farming business in Indonesia were not yet efficient. The farmers have the opportunity to increase production by utilizing existing inputs and technology. Full technical efficiency is achievable by improving farmer practices in the use of production inputs and technology supported by the enhancement of education and experience; availability of feed land; implementation of livestock vaccination; the combination of the right types of feed and high in nutrients; ease of access to business capital through cooperatives, and direct the orientation of farmers to market orientation. In addition, geographically, pig farming business developed in three production provinces, namely North Sumatra, East Nusa Tenggara, and Bali, would be more technically efficient.