Deteksi dan Identifikasi Spesies Nematoda Aphelenchoides pada Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) asal Bogor, Brebes dan Nganjuk

Abstract

Bawang merah merupakan komoditas hortikultura penting di Indonesia. Masyarakat Indonesia mengkonsumsi bawang merah karena kandungan nutrisi yang baik untuk kesehatan. Konsumsi rata-rata bawang merah penduduk Indonesia tahun 2018 23 kg/kapita/tahun dan meningkat menjadi 27,72 kg/kapita/tahun pada tahun 2019. Indonesia mengimpor umbi bawang merah sebesar 228 ton pada tahun 2018 dan 241 ton tahun 2019. Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) menjadi salah satu kendala utama dalam budidaya bawang merah. Hama dan penyakit penting bawang merah antara lain: hama ulat bawang (Spodoptera exigua), ulat grayak (Spodoptera litura), lalat pengorok daun (Liriomyza chinensis), dan thrips (Thrips tabaci), penyakit bercak ungu (Alternaria porri), downy mildew (Peronospora destructor), bercak daun (Cercospora), antraknosa (Colletotrichum gloeosporiodes), dan layu Fusarium (Fusarium oxysporum), serta nematoda parasit tumbuhan Dytylenchus spp. dan Aphelenchoides spp. Nematoda parasit tanaman (fitonematoda) adalah mikrofauna berbentuk seperti cacing dengan panjang tubuh rata-rata 0,3-1,0 mm. Beberapa fitonematoda penting dapat terbawa umbi, antara lain Aphelenchoides dan Ditylenchus. Aphelenchoides fragariae dan Aphelenchoides ritzemabosi menyebabkan kerugian ekonomi dan kehilangan hasil yang besar pada tanaman budidaya. Produksi stroberi dilaporkan menurun hingga 60% di Irlandia. Serangan nematoda pada stroberi kultivar Macherauchs fruhernte dan Cambridge yang rentan, menyebabkan kehilangan hasil sebesar 82% di Polandia. Di Indonesia, A. fragariae digolongkan sebagai OPT Karantina kategori A2 dengan wilayah penyebaran terbatas, berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 31/Permentan/KR.010/7/2018 tanggal 20 Juli 2018. Nematoda ini dapat tersebar bersama umbi dan tanah atau media tanam yang berasosiasi dengan tanaman inang. Tanaman yang dibudidayakan di rumah kaca, pembibitan dan di lahan dapat menjadi inang A. fragariae. Publikasi tentang A. fragariae di Indonesia masih terbatas sehingga diperlukan penelitian. Keberadaan A. fragariae dilaporkan pada tanaman sambiloto dengan distribusi terbatas di wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten. Pada sambiloto gejala penyakit, yaitu bercak klorotik yang meluas kemudian berubah warna menjadi kecokelatan atau kehitaman yang dibatasi oleh tulang daun. Pada gejala penyakit lanjut, daun-daun yang terinfeksi akan berguguran dan tanaman tumbuh merana (Djiwanti dan Supriadi 2008). Nematoda A. fragariae dilaporkan terdeteksi pada umbi bawang konsumsi di pasar Induk TU Kemang Bogor. Sampel umbi bawang yang diduga membawa A. fragariae tidak menunjukkan gejala penyakit yang khas. Umbi tidak bergejala atau gejala laten terjadi karena nematoda terbawa umbi bawang merah berada pada fase dorman (Styaningrum 2018; Chairunnisa 2020). Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi spesies Aphelenchoides pada bawang merah berdasarkan karakter morfologi, morfometri dan molekuler serta menunjukkan hubungan kekerabatan genetiknya berdasarkan analisis filogenetika. Sampel umbi bawang merah diambil dari pasar tradisional di Bogor. Sampel akar, umbi dan tanaman diambil dari pertanaman bawang merah di Kabupaten Brebes dan Nganjuk. Ekstraksi nematoda dilakukan dengan metode perendaman air dingin dan pengabutan (mistchamber). Identifikasi morfologi dilakukan mengikuti metode standar taksonomi morfologi (“morphological taxonomy”) untuk genus Aphelenchoides FISCHER, 1894 (Aphelenchoididae). Identifikasi morfometri dilakukan dengan pengukuran tubuh nematoda berdasarkan formula de Man dengan menggunakan mikroskop Binokuler OLYMPUS BX51 yang telah dikalibrasi dalam ukuran mikrometer. Identifikasi molekuler dilakukan dengan teknik PCR dengan menggunakan primer spesifik dan universal dilanjutkan dengan sekuensing fragmen DNA. Aphelenchoides berhasil dideteksi pada bagian umbi bawang merah konsumsi dari pasar di Bogor. Pada sentra produksi bawang merah di Brebes, Aphelenchoides dideteksi pada bagian umbi dan daun. Umbi bawang merah yang terinfeksi Aphelenchoides memiliki ukuran yang lebih kecil dan tidak bernas. Pada sentra produksi bawang merah di Nganjuk, Aphelenchoides dideteksi pada bagian akar, umbi dan daun. Morfologi nematoda Aphelenchoides betina memiliki tubuh yang langsing, bibir off-set, stilet tipis dengan knob terlihat jelas dan metakorpus (median bulb) besar. Posterior esofagus tumpang tindih dengan usus pada sisi dorsolateral. Vulva terlihat membelah dan sedikit menonjol. Kantung Pasca-Uterus (PUS) memanjang lebih dari setengah jarak vulva-anus. Ekor berbentuk kerucut (conoid) memanjang dan berakhir dengan mucron tunggal. Morfologi anterior Aphelenchoides jantan tidak jauh berbeda dengan nematoda betina. Spikula berbentuk seperti duri bunga mawar dengan ekor conoid memanjang dan memiliki mucron tunggal yang lebih besar dibandingkan dengan mucron nematoda betina. Morfometri betina Aphelenchoides adalah n=20, panjang tubuh (L) 312,2- 550,5 (385,7 ± 119,1), stilet 6,8-12,0 (8,8 ± 7,4),(T)=28,8-121,3 (64,4 ± 46,3), jarak dari anterior ke vulva 34,4-84,4 (70,34 ± 25,0). Morfometri Jantan adalah n=20, panjang tubuh (L)=263,6-550,6 (399,87 ± 63,53), stilet=7,6-12,5 (9,31 ± 1,4), (T)=19,9-56,5 (34,9 ± 9,5), panjang spikula=8,9-22,6 (15,88 ± 31,1), panjang testis=141,6-256,3 (206,5 ± 31,1). Karakter molekuler berdasarkan primer universal, berhasil teramplifikasi fragmen DNA Aphelenchoides dari ketiga lokasi yang diuji berukuran 443-472 pb. Fragmen DNA tidak berhasil teramplifikasi dengan primer spesifik. Pohon filogeni menunjukkan bahwa nematoda Aphelenchoides asal Nganjuk memiliki kemiripan dengan isolat Aphelenchoides sp. asal Taiwan. Nematoda isolat asal Brebes dan Bogor tidak memiliki tingkat kemiripan yang sama dengan isolat asal Taiwan.

Shallots are an important horticultural commodity in Indonesia. Indonesian people consume shallots because of the nutritional content that is good for health. The average consumption of shallots for Indonesian population in 2018 was 23 kg/capita/year and increased to 27,72 kg/capita/year in 2019. Indonesia imported 228 tons of onion bulbs in 2018 and 241 tons in 2019. Plant pests are one of the main obstacles in the cultivation of shallots. Important pests and diseases of shallots include: onion caterpillar (Spodoptera exigua), armyworm (Spodoptera litura), leafminer fly (Liriomyza chinensis), and thrips (Thrips tabaci), purple spot disease (Alternaria porri), downy mildew (Peronospora destructor), leaf spot (Cercospora), anthracnose (Colletotrichum gloeosporiodes), and Fusarium wilt (Fusarium oxysporum), as well as the plant parasitic nematodes Dytylenchus spp. and Aphelenchoides spp. Plant parasitic nematodes (phytonematodes) are worm-like microfauna with an average body length of 0,3 – 1,0 mm. Several important phytonematodes can be carried by bulbs, including Aphelenchoides and Ditylenchus. Species A. fragariae and A. ritzemabosi cause economic losses and large yield losses in cultivated crops. Strawberry production has reportedly declined by 60% in Ireland. Nematode attack on susceptible strawberry cultivars Macherauchs fruhernte and Cambridge, caused an 82% yield loss in Poland. In Indonesia, A. fragariae is classified as a quarantine pest of category A2 with a limited distribution area, based on the Regulation of the Minister of Agriculture of the Republic of Indonesia Number 31/Permentan/KR.010/7/2018 dated 20 July 2018. This nematode can be spread with bulbs and soil or planting media associated with host plants. Plants grown in greenhouses, nurseries and in fields can host A. fragariae. Publications on A. fragariae in Indonesia are still limited, so research is needed. The presence of A. fragariae was reported on bitter plants with limited distribution in West Java, DKI Jakarta and Banten. In sambiloto, the symptoms of the disease are chlorotic spots that expand and then change color to brown or black which is limited by the leaf vines. In advanced disease symptoms, infected leaves will fall and the plant will grow languidly (Djiwanti and Supriadi 2008). Nematode A. fragariae was reported to be detected on shallots bulbs for consumption at the TU Kemang Market, Bogor. Samples of shallots suspected of carrying A. fragariae did not show typical disease symptoms. Asymptomatic bulbs or latent symptoms occur because the nematodes carried by shallot bulbs are in a dormant phase (Styaningrum 2018; Chairunnisa 2020). This study aims to detect and identify Aphelenchoides species in shallots based on morphological, morphometric and molecular characters and to show their genetic relationships based on phylogenetic analysis. Samples of shallot bulbs were taken from a traditional market in Bogor. Samples of roots, bulbs and plants were taken from shallot plantations in Brebes and Nganjuk Regencies. Nematode extraction was carried out by cold water immersion and mistchamber method. Morphological identification was carried out following the standard morphological ("morphological taxonomy") method for the genus Aphelenchoides FISCHER, 1894 (Aphelenchoididae). Morphometric identification was carried out by measuring nematode body based on the de Man formula using a Binocular OLYMPUS BX51 microscope that had been calibrated in a micrometer size. Molecular identification was carried out by PCR technique with specific and universal primers followed by DNA fragments sequencing. Aphelenchoides was successfully detected in the shallot bulbs for consumption from the market in Bogor. At the shallot production center in Brebes, Aphelenchoides was detected in the bulbs and leaves. Shallot bulbs infected with Aphelenchoides have a smaller size and are not pithy. At the shallot production center in Nganjuk, Aphelenchoides was detected in the roots, bulbs and leaves. The morphology of the female Aphelenchoides nematode has a slender body, off-set lips, thin stylet with clearly visible knobs and a large metacorpus (median bulb). The posterior esophagus overlaps with intestine at the dorsolateral side. The vulva looks split and slightly protruding. The Post-Uterine Sac (PUS) extends more than half the vulva-anal distance. The tail is conical (conoid) elongated and ends with a single mucron. The anterior morphology of male Aphelenchoides is not much different from that of female nematodes. The spicules looks like are rosethorn shaped with an elongated conoid tail and have a single mucron which is larger than the mucron of female nematodes. Aphelenchoides females morphometry are n=20, body length (L) 312.2- 550.5 (385.7 ± 119.1), stylet 6.8-12.0 (8.8 ± 7.4),(T )=28.8-121.3 (64.4 ± 46.3), distance from anterior to vulva 34.4-84.4 (70.34 ± 25.0). Males morphometry are n=20, body length (L)=263.6-550.6 (399.87 ± 63.53), stylet=7.6-12.5 (9.31 ± 1.4), ( T)=19.9-56.5 (34.9 ± 9.5), spicules length=8.9-22.6 (15.88 ± 31.1), testicular length=141.6-256.3 (206.5 ± 31.1). Molecular characters based on universal primers, Aphelenchoides DNA fragments were successfully amplified from the three tested locations measuring 443-472 bp. DNA fragments were not successfully amplified with specific primers. The phylogeny tree showed that the nematode Aphelenchoides from Nganjuk was similar to the isolate Aphelenchoides sp. Taiwanese origin. Nematode isolates from Brebes and Bogor did not have the same level of similarity as isolates from Taiwan.