Pengembangan Wilayah Jawa Barat Berbasis Ternak Domba

Abstract

Provinsi Jawa Barat memiliki letak yang sangat strategis, selain daerah penyangga bagi Ibu Kota Negara yang menjadi pusat konsumsi, juga sebagai basis produksi bagi produk pertanian dan peternakan. Salah satu komoditas utama subsektor perternakan di Jawa Barat diantaranya adalah ternak domba. Komoditas ternak domba dapat berperan dalam pengembangan wilayah, antara lain: peningkatan populasi dan produksi, serta nilai tambah bagi peternak. Beberapa kendala yang dihadapi dalam usaha ternak di Jawa Barat antara lain penyediaan hijauan makanan ternak, sistem budidaya domba secara tradisional dan akses permodalan yang terbatas. Penelitian ini bertujuan menganalisis karakteristik usaha ternak domba di Provinsi Jawa Barat dengan pendekatan deskriptif. Secara khusus penelitian ini bertujuan mengetahui kabupaten yang memiliki keunggulan komparatif usaha ternak domba di wilayah Jawa Barat. Selain itu penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usaha ternak domba dan menganalisis tingkat efisiensi teknis usaha ternak domba di Jawa Barat. Data dikumpulkan secara sekunder yang merupakan data populasi ternak yang ada di Jawa Barat pada tahun 2018 yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan data hasil Survei Struktur Ongkos Usaha Peternakan tahun 2017 yang berasal dari Badan Pusat Statistik. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Deskriptif, Analisis Location Quotient (LQ) dan Stochastic Frontier Analysis (SFA). Hasil dari penelitan ini menunjukkan bahwa sebanyak 87,7% peternak domba di Jawa Barat dalam usia produktif dengan tingkat pendidikan tamat SD sebesar 59,71%, yang didukung pengalaman beternak domba 1-4 tahun sebanyak 50,38%. Namun, hanya 3,43% peternak yang bergabung dalam kelompok tani ternak, sebagian besar cara pemeliharaan domba dengan cara dikandangkan sebanyak 69,49% dan sebanyak 67,77% peternak memproduksi pupuk kandang. Penelitian ini menunjukkan bahwa wilayah basis usaha ternak domba di Provinsi Jawa Barat yaitu Kabupaten Garut, Purwakarta, Majalengka dan Cirebon. Sedangkan empat wilayah potensial basis usaha tenak domba diantaranya: Sukabumi, Indramayu, Karawang dan Bandung Barat. Kabupaten Purwakarta memiliki nilai rata-rata LQ tertinggi sebesar 1,37. Adapun wilayah kabupaten dengan nilai rata-rata LQ terendah adalah Kabupaten Pangandaran dengan nilai 0,29. Usaha ternak domba di Provinsi Jawa Barat tidak terkonsentrasi pada satu wilayah kabupaten, dan tidak ada wilayah kabupaten yang terspesialisasi atau mengkhususkan pada usaha ternak domba. Hasil estimasi membuktikan bahwa nilai produksi usaha ternak domba sangat ditentukan oleh faktor-faktor produksi yang digunakan. Pada penelitian ini variabel jumlah ternak yang dipelihara memiliki pengaruh paling dominan terhadap produksi peternakan domba dibandingkan dengan variabel input lainnya (pakan hijauan, pakan konsentrat, dan pemeliharaan kesehatan hewan) di seluruh kabupaten di Jawa Barat. Efisiensi teknis usaha ternak domba sangat juga ditentukan oleh berbagai faktor manajerial atau faktor sosial ekonomi peternak. Berbagai variabel tersebut yang digunakan dalam penelitian ini memberikan pengaruh yang beragam pada inefisiensi teknis di masing-masing kabupaten. Variabel pengalaman beternak memberikan pengaruh negatif pada nilai inefisiensi usaha ternak domba di sebagian besar wilayah kabupaten. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin lama pengalaman beternak maka usaha ternak domba semakin efisien. Peternak domba di Kabupaten Cirebon dan Purwakarta mempunyai rata-rata nilai efisiensi teknis sekitar 50 persen atau belum efisien. Peternak di kedua kabupaten tersebut disarankan untuk mengoptimalkan input produksi di daerah tersebut yang pengaruhnya positif (pakan hijauan, pakan konsentrat, jumlah ternak dan input pemeliharaan kesehatan hewan) agar mencapai tingkat produksi maksimum (frontier). Nilai rata-rata efisiensi teknis peternak domba di Kabupaten Sukabumi, Garut, Kuningan, Sumedang dan Subang di atas 80 persen atau sudah efisien. Peternak di kabupaten-kabupaten tersebut sudah mampu menggunakan input-input produksi yang ada untuk mencapai produksi maksimum (frontier). Oleh karena itu perlu dikenalkan penggunaan input-input produksi yang lebih inovatif dan mutakhir seperti penggunaan pakan konsentrat dengan kandungan gizi berimbang, feed supplement, feed additive, dan input produksi mutakhir lainnya yang belum tersedia di Kabupaten tersebut.

West Java Province has a strategic location, in addition to being a buffer zone of the State Capital which is the center of consumption, as well as a production base for agricultural and livestock products. Sheep are one of the main commodities in the livestock sub-sector in West Java. It plays an important role in regional development, among others: increasing population and production of sheep, as well as adding value for farmers. Some of the obstacles faced by sheep farming in West Java include the provision of foraging fields, traditional sheep farming systems, and limited access to capital. This study aims to analyze the characteristics of sheep farming in West Java Province with a descriptive approach. In particular, the study seeks to identify districts that have a comparative advantage in sheep farming in western Java. In addition, this study analyzes the factors that influence the production of sheep farming and analyzes the level of technical efficiency of sheep farming in West Java. Data is collected secondarily, which is livestock population data in West Java in 2018 obtained from the Directorate General of Livestock and Animal Health Services and data from the result of Cost Stucture of Livestock Household Survey 2017 conducted by the Indonesian Central Bureau of Statistic. The analysis used in this research is descriptive, location quotient analysis (LQ), and stochastic frontier analysis (SFA). The results of this study show that as many as 87,7% of sheep farmers in West Java are of productive age with an education level of elementary school graduation of 59.71%, experience of raising sheep 1-4 years of 50,38%, only 3.43% of farmers who join livestock farmer groups, 69,49% of sheep farming practices were used to keep sheep and 67,77% of farmers produced manure. This study shows that the base areas of sheep farming in West Java Province are Garut, Purwakarta, Majalengka, and Cirebon Regencies. In the meantime, there are four potential areas for sheep- farming: Sukabumi, Indramayu, Karawang, and West Bandung. Purwakarta Regency has the highest average LQ score of 1,37. The district area with the lowest average LQ is Pangandaran Regency at 0,29. Sheep farming in the province of West Java is not concentrated in a single regency, and no district area is specialized or specialized in sheep farming. The estimation results prove that the production value of sheep farming is largely determined by the production factors. In this study, the variable number of livestock kept having the most dominant influence on sheep production compared to other input variables (forage feed, concentrate feed, and animal health maintenance) in all districts. The technical efficiency of sheep farming is also determined by various managerial or socio-economic factors of the farmer. The various variables used in this study have different effects on technical inefficiency in each district. The variability of farming practices harms the inefficiency of sheep farming in most districts. This shows that the longer farmer's experience of raising sheep, the more efficient the sheep farming business. Sheep farmers in Cirebon and Purwakarta regencies have an average technical efficiency value of around 50 percent which is not efficient. Farmers in the two districts are advised to optimize production inputs in the area that have a positive effect (forage feed, concentrate feed, number of livestock, and animal health maintenance inputs) to achieve the maximum production level (frontier). The average value of the technical efficiency of sheep farmers in the districts of Sukabumi, Garut, Kuningan, Sumedang, and Subang is above 80 percent or efficient. Farmers in these districts are able to use the existing production inputs to achieve maximum production (frontier). Therefore, it is necessary to introduce the use of more innovative and up-to-date production inputs such as the use of concentrate feed with balanced nutritional content, feed supplements, feed additives, and other advanced production inputs that are not yet available in the district.