Karakteristik dan Desain Produksi Lebah Propolis (Stingless Bee) Berbasis Kawasan Tanaman Pakan Lokal di Halmahera Barat

Abstract

Lebah propolis adalah lebah sosial sejati yang perilakunya sama dengan lebah madu, yaitu mengumpulkan nektar dan serbuk sari dari tanaman, sekaligus berfungsi sebagai penyerbuk. Pengembangan lebah propolis menjadi solusi dalam kegiatan perlebahan di Indonesia, karena tersebar luas di seluruh kepulauan, mampu beradaptasi dan berkembang pada lingkungan dengan sumber daya alam yang terbatas, jarang melarikan diri, biaya budidayanya rendah, tidak bersengat, dan menghasilkan produk utama propolis dan madu yang bernilai ekonomi tinggi. Kabupaten Halmahera Barat merupakan salah satu wilayah di Provinsi Maluku Utara, yang berpotensi untuk pengembangan lebah propolis. Belum tersedia data dan informasi yang cukup tentang kapasitas produksi lebah propolis di Halmahera, sehingga analisis terhadap potensi, karakteristik, dan desain produksi berbasis kawasan perlu dilakukan agar dapat diaplikasikan oleh masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelestarian lingkungan. Tujuan utama penelitian adalah merancang desain produksi lebah propolis berbasis kawasan di Kabupaten Halmahera Barat. Tujuan khusus penelitian adalah: (1) Mengidentifikasi spesies lebah propolis dan habitatnya, serta pencatatan spesies tanaman pakan lokal dan tanaman penghasil resin di Kabupaten Halmahera Barat; (2) Mendelineasi potensi lahan berdasarkan kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk pengembangan lebah propolis; (3) Menganalisis persepsi masyarakat dan kelayakan ekonomi terhadap pengembangan usaha lebah propolis; (4) Merumuskan desain produksi lebah propolis yang efisien. Metode yang digunakan untuk tujuan pertama adalah survey, dilanjutkan dengan identifikasi karakteristik morfologi dan analisis komponen utama (PCA) untuk pengukuran morfologi tubuh. Pencatatan lokasi bersarang dan tanaman pakan dan penghasil resin juga dilakukan, dan dibuatkan kalender pembungaan. Tujuan kedua menggunakan analisis potensi lahan berbasis kesesuaian dan ketersediaan lahan. Tujuan ketiga menggunakan metode wawancara untuk memperoleh informasi karakteristik petani dan persepsi pengembangan lebah propolis dan kelayakan ekonomi. Tujuan keempat menggunakan metode analisis kesesuaian lahan untuk budidaya. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa lebah propolis ditemukan tersebar di Kabupaten Halmahera Barat. Masyarakat mengenalnya dengan sebutan caka ngau, dadaaka, dan ofu gula. Ditemukan tiga spesies lebah propolis, yaitu Tetragonula clypearis, T. sapiens, dan T. biroi, yang merupakan catatan baru di Provinsi Maluku Utara dan Pulau Halmahera. Berdasarkan hasil survei di lapangan, lebah propolis lebih banyak hidup pada wilayah pemukiman sebesar 85,07% (114 koloni) diikuti pada wilayah perkebunan sebanyak 11,19% (15 koloni) dan hutan sebanyak 3,73% (lima koloni). Lebah pekerja dari ketiga spesies memiliki karakteristik morfologi yang berbeda. Karakter pembeda utama pada T. clypearis, adalah thorax berwarna hitam dan berambut, terdapat enam hair band pada mesoscutum, tibia berwarna cokelat tua, dan metasoma memiliki warna yang bervariasi (bicolour). Tetragonula sapiens memiliki thorax berwarna hitam dan berambut, mesoscutum berambut dan memiliki pola, bagian samping dari mesoscutum memiliki rambut berwarna putih namun tidak tersebar secara merata. Metasoma berwarna coklat gelap dan terdapat warna keemasan pada bagian posterior. Thorax pada T. biroi berwarna hitam, bagian samping mesoscutum memiliki rambut berwarna putih seperti T. sapiens namun tersebar merata. Tetragonula clypearis merupakan spesies yang memiliki ukuran tubuh paling kecil dibandingkan T. sapiens dan T. biroi. Hasil analisis PCA menunjukkan, keragaman variabel ukuran tubuh pada Tetragonula yang ditemukan di Kabupaten Halmahera Barat sebesar 84,3%, yaitu 76,2% pada PC1 dan 8,1% pada PC2. Pemilihan lokasi bersarang dari lebah propolis di alam merupakan informasi penting untuk konservasi dan pengembangannya. Tetragonula clypearis ditemukan bersarang pada rongga-rongga bambu, log, bagian dari rumah, rekahan dinding, batang pohon, pondasi rumah, kotak kayu, perabot rumah, meteran listrik, dan pipa besi. Tetragonula sapiens bersarang pada log kayu, batang pohon, pondasi rumah, akar pohon dan atas tanah, sedangkan T. biroi hanya bersarang pada batang pohon dan kotak kayu. Pakan merupakan faktor utama dalam pelestarian dan pengembangan lebah propolis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 77 spesies tanaman pakan yang menghasilkan nektar, polen, dan resin, yang terdiri dari sembilan spesies tanaman kehutanan, empat spesies tanaman perkebunan, 23 spesies tanaman buah-buahan, enam spesies tanaman pangan, 22 spesies tanaman hias serta 13 spesies tumbuhan liar dan semak. Kesesuaian habitat merupakan hal yang harus dipertimbangkan dalam kegiatan budidaya lebah berdasarkan lingkungan ekologis serta kesesuaian lahan untuk sumber pakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 99,37% wilayah Kabupaten Halmahera Barat berpotensi untuk dilakukan pengembangan lebah propolis, dan sebesar 159.044,1 ha (73,53%) adalah Sesuai (S2). Kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk pengembangan meliponiculture perlu diperhatikan berdasarkan aspek status kawasan hutan dan aspek legal (Pola Ruang). Hasil analisis menunjukkan ternyata hanya 55,4% (119.608,5 ha) wilayah Halmahera Barat sesuai dan tersedia untuk dilakukan pengembangan lebah propolis. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Halmahera Barat berpotensi untuk dilakukan pengembangan lebah propolis. Berdasarkan hasil analisis persepsi, masyarakat sangat mendukung kegiatan budidaya setelah mengetahui bahwa lebah propolis dapat membantu meningkatkan produksi dari tanaman dan memiliki nilai ekonomi sebagai tambahan pendapatan keluarga. Hasil analisis ekonomi budidaya lebah propolis menunjukkan bahwa, usaha ini sangat menguntungkan karena memiliki nilai Break Event Point (BEP) Harga < harga jual, Revenue/Cost (R/C) ratio > 1 dan Return On Investment (ROI) sebesar 215%. Hal ini disebabkan usaha ini akan mendapatkan keuntungan dengan menghasilkan 0,33 liter per periode panen. Hasil uji coba kegiatan budidaya menunjukkan, bahwa lebah propolis dapat dibudidaya di lokasi yang memiliki ketersediaan pakan untuk memenuhi kebutuhan hidup koloninya. Ketersediaan pakan dan musim pembungaan, sangat penting diperhatikan untuk keberlanjutan hidup koloni dan produksi dapat berjalan dengan baik.

Stingless bee is a social bee with the same behavior as honey bee, i.e. collecting nectar and pollen from plants, also as a pollinator. The development of stingless bee becomes solution for beekeeping in Indonesia, because it’s widely spread all over the islands, having ability to survive and grow in the limited natural resources of environment, do not slip off, a low budget management, stingless, and producing honey and propolis as primary product with the high economic value products. West Halmahera Regency is one of the areas in North Moluccas Province, Indonesia which has potential growth of stingless bee. The data and information about production capacity of stingless bee in Halmahera was not properly available, so the analysis of potency, characteristic, and production design based on the area need to be done in order to be applied by the community to increase the public welfare and environmental conservation. The main aim of this research was design the production model of stingless bee based on area in West Halmahera. The specific aims of this research were: (1) to identify the species of stingless bee, the habitat, and recording of local species of bee forage and resin plants in West Halmahera; (2) Delineating land potential based on the suitability and availability of land for stingless bee growth; (3) to analyze community perception and financial of bee propolis growth; (4) Efficient design production of stingless bee. The methods used for the first aims are survey, then continue by identification and principal component analysis for morphometry. Recording of nesting preference and bee forage, also the flowering season. The second aim used landscape potential analysis based on suitability and availability. The third aim used interview to have the information about farmers characteristic and perception for meliponiculture development, also economic analysis. The fourth aim used suitability analysis for meliponiculture and producing honey, pollen and propolis. The results showed that stingless bees spreadly lived in West Halmahera Regency. People called it “caka ngau”, “dadaaka” or, ofu gula”. There are three species found in West Halmahera Regency, namely Tetragonula clypearis, T. sapiens, and T. biroi. These three species are newly recorded in North Moluccas Province and Halmahera island. Based on survey, stingless bees were found in residential areas were 85,07% (114 colonies, followed by plantation areas 1,19% (15 colonies), and forests area 3,73% (five colonies). The worker bees of the three species have different morphology characteristics. The morphology characters showed by T. clypearis i.e, thorax is black and hairy, has six hair band on the mesoscutum and tibia are dark brown. Metasoma has variety of colours (bicolour). Tetragonula sapiens has black thorax and hairy, mesoscutum were hairy and has a pattern, the side of the mesoscutum has black hair but not fully spread. The metasoma is dark brown and has a golden colour at the posterior. Thorax in T. biroi is black, the side of mesoscutum has white hair like T. sapiens but spread evenly. Tetragonula clypearis is the smallest one, compared to T. sapiens and T. biroi. The result of PCA analysis showed that the variance in body measurement variable of Tetragonula in West Halmahera were 84,3%, 76,2% (PC1) and 8,1% (PC2), respectively. Nesting preference of stingless bees in nature is important information for conservation and development. Tetragonula clypearis are found in bamboo, logs, parts of house, cavity walls, tree trunks, house foundations, wooden boxes, home furniture, electric meters, and iron pipes. Tetragonula sapiens are found in logs, tree trunks, house foundations, tree roots, and above gound, while T. biroi only found in tree trunks and wooden boxes. Feed is the main factor in the sustainability of stingless bees. There are 77 species of plants that produce nectar, pollen, and also resin consisting of: nine species of forest plants, four species of crops plantation, 23 species of fruits, six species of crops, 22 species of ornamental flower, and 13 species of wild herbs and shrubs. Habitat suitability must be involved in meliponiculture according to the ecological environment as well as land suitability feed sources. The results showed that 99% of the area of West Halmahera Regency is potential to develop meliponiculre, that 159.044,1 ha (73,63%) is moderately suitable (S2). Land suitability and availability for meliponiculture growth need to analyze based on the regulation on forest area status and legal aspect (Spatial Plan). It shows only 55,4% (119.608,5 ha) of West Halmahera Regency was suitable and available to stingless bee. It shows that West Halmahera Regency is potential to stingless bee growth. The development of meliponiculture also need a response from the farmers. The response indicated by perception analysis, showed that farmers support meliponiculture after they know that stingless bees will increase plants production and economically, provide additional income for farmers family. Economic analysis showed that meliponiculture is profitable because Break Event Point Price < Cost. Revenue/Cost ratio > 1 and Retrun On Investment was 215%. It’s because this business will get the profit while they produce 0,33 liter/harvest period. The treatment of meliponiculture showed that the stingless bee can be reared at location with feeds availability to support by their feeds to support their life. Feed sustainability and flowering season is the important thing for stingless bee’s life and their production.