Potensi Metabolit Sekunder Cendawan Endofit sebagai Antifungi terhadap Colletotrichum acutatum pada Cabai Merah
Abstract
Colletotrichum acutatum merupakan salah satu spesies patogen antraknosa pada cabai yang dilaporkan paling banyak ditemukan di Pulau Jawa. C. acutatum juga merupakan patogen antraknosa yang bersifat paling agresif dibandingkan dengan spesies lain (C. gloesporioides dan C. capsici). Cendawan endofit dapat melindungi tanaman inangnya dari hama dan penyakit, salah satu mekanismenya yaitu dengan menghasilkan senyawa metabolit sekunder. Metabolit sekunder cendawan endofit yang bersifat antifungi terhadap patogen tanaman telah banyak dilaporkan baik berupa ekstrak kasar maupun senyawa aktif. Namun, pemanfaatan ekstrak metabolit sekunder cendawan endofit untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada cabai yang disebabkan oleh C. acutatum belum dilaporkan.
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi aktivitas antifungi metabolit sekunder cendawan endofit terhadap C. acutatum secara in vitro dan in vivo. Analisis kromatografi lapis tipis (KLT) dan deteksi senyawa yang menunjukkan aktivitas antifungi dengan metode bioautografi juga dilakukan pada penelitian ini. Penelitian dilaksanakan di Laboratoria Pengembangan Teknologi Industri Agro dan Biomedika-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (LAPTIAB-BPPT), Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK), Serpong, dan Kebun Percobaan Departemen Proteksi Tanaman, IPB mulai bulan April 2016 sampai Juli 2018. Bahan yang digunakan meliputi isolat C. acutatum dan isolat cendawan endofit Curvularia sp. yang diperoleh dari Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman IPB, cendawan endofit lainnya diisolasi dari tanaman cabai, dan benih cabai varietas Pilar F1 diperoleh dari toko pertanian.
Seleksi cendawan endofit hasil isolasi dari bagian tanaman cabai yang berasal dari tiga lokasi, yaitu Cianjur, Bogor, dan Subang dilakukan dengan uji antibiosis dan uji patogenisitas. Isolat cendawan endofit yang didapatkan dari ketiga lokasi sebanyak 113 isolat cendawan endofit. Cendawan endofit yang diisolasi dari bagian akar, batang, daun, dan buah selanjutnya diuji potensinya sebagai antifungi dan didapatkan 57 isolat potensial. Namun dari 57 isolat bersifat antifungi yang diuji patogenisitas hanya terdapat satu isolat yang tidak berpotensi sebagai patogen, yaitu isolat CBR1D14.
Pengujian secara in vitro dilakukan dengan menguji aktivitas ekstrak etil asetat (e.a) filtrat kultur dan miselia isolat cendawan endofit CBR1D14 dan Curvularia sp. dalam menghambat perkecambahan konidia dan pertumbuhan radial C. acutatum. Ekstrak etil asetat cendawan endofit yang menunjukkan aktivitas antifungi dipartisi dengan pelarut metanol 90% dan heksana, selanjutnya aktivitas antifungi fraksi ekstrak diuji kembali dengan metode yang sama. Hasil pengujian in vitro menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat filtrat kultur CBR1D14 (e.a FCBR) menunjukkan aktivitas paling tinggi dalam menghambat perkecambahan konidia dan pertumbuhan radial C. acutatum. Hasil partisi e.a. FCBR hanya didapatkan fraksi metanol (f.m. FCBR) dan dari hasil partisi ekstrak etil asetat miselia CBR1D14 (e.a. MCBR) didapatkan fraksi metanol (f.m. MCBR) dan fraksi heksana (f.h. MCBR). Fraksi metanol FCBR dan f.m. MCBR menunjukkan aktivitas
penghambatan perkecambahan konidia C. acutatum. Selain itu, f.m. MCBR juga menunjukkan penghambatan terhadap pertumbuhan radial C. acutatum, sedangkan f.h. MCBR tidak menunjukkan aktivitas antifungi terhadap C. acutatum. Nilai IC50 dan IC95 f.m. FCBR lebih rendah dibandingkan dengan f.m. MCBR dan fungisida benomil dalam menghambat perkecambahan konidia C. acutatum.
Fraksi metanol FCBR dan f.m. MCBR diuji aktivitas antifunginya secara in vivo pada buah cabai dengan metode perendaman buah. Peubah yang diamati pada pengujian ini yaitu insidensi dan diameter bercak penyakit antraknosa pada buah cabai. Fraksi metanol FCBR (IC95 609.90 ppm) dan f.m. MCBR (IC95 1178.27 ppm) dapat menghambat insidensi penyakit antraknosa berturut-turut sebesar 25% dan 21.88%, sedangkan tingkat efikasinya dalam menghambat diameter bercak penyakit antraknosa berturut-turut sebesar 36.72% dan 48.68%.
Untuk mengetahui fitotoksisitas fraksi ekstrak, f.m. FCBR dan f.m. MCBR diuji toksisitasnya terhadap benih cabai. Potensi tumbuh maksimum dan daya berkecambah benih cabai pada perlakuan fraksi ekstrak tidak berbeda nyata dengan kontrol. Panjang akar dan tinggi tajuk kecambah cabai juga tidak berbeda nyata dengan kontrol dan tidak menunjukkan gejala fitotoksik seperti nekrotik atau abnormal pada kecambah.
Uji bioautografi fraksi ekstrak terhadap C. acutatum dilakukan pada pelat kromatografi lapis tipis silika gel. Fraksi metanol FCBR dan f.m. MCBR masing-masing menghasilkan tiga bercak yang menunjukkan zona penghambatan. Bercak-bercak yang menunjukkan zona hambat nampak saat divisualisasikan di bawah sinar UV 254 nm dan menunjukkan reaksi positif terhadap pereaksi vanillin-H2SO4.
Berdasarkan nilai konsentrasi penghambatan (IC) dan kemampuan penekanan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum, filtrat kultur CBR1D14 potensial untuk dikembangkan sebagai bahan aktif antifungi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dan dikembangkan sebagai alternatif pengendalian yang efektif dan ramah lingkungan untuk penyakit antraknosa pada buah cabai yang disebabkan oleh C. acutatum baik di lapangan maupun pascapanen.
Collections
- MT - Agriculture [3682]