Kelembagaan Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat: Kasus KPH Wilayah 3 Provinsi Aceh.
View/ Open
Date
2018Author
Syahputra, OK Hasnanda
Nugroho, Bramasto
Kartodihardjo, Hariadi
Santoso, Nyoto
Metadata
Show full item recordAbstract
Hutan mangrove yang berada pada penguasaan negara mempunyai
karakteristik sebagai sumber daya milik bersama (common pool resources/CPRs)
cenderung mengalami kerusakan dari waktu ke waktu, rentan terhadap eksploitasi
sehingga akan mengancam kelestariannya. Karenanya, pengelolaannya
memerlukan kelembagaan yang efektif yang mampu mengatur dan
mengendalikan prilaku individu dalam masyarakat atau organisasi. Oleh sebab itu,
diperlukan suatu lembaga yang hadir ditingkat tapak yang terkait dengan tatanan
aturan main yang menjamin pemanfaatan yang efisien dan lestari dalam upaya
memperbaiki tata kelola kehutanan di Indonesia. Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH) sebagai penyelenggaraan hutan di tingkat tapak, memungkinkan
mengidentifikasi keberadaan, meningkatkan kapasitas, dan penguatan
kelembagaan lokal dalam wilayahnya, serta kebutuhan masyarakat terhadap
manfaat sumber daya hutan, sehingga proses pengakuan hak, ijin maupun
kolaborasi lebih mungkin dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk (1)
memformulasikan kelembagaan pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat
untuk mendapatkan model kelembagaan pengelolaan mangrove yang lestari, dan
dijabarkan menjadi tujuan khusus yang perlu dikembangkan di KPH Wilayah 3,
(2) merumuskan langkah-langkah strategis yang dilakukan oleh KPH untuk
menurunkan eskalasi konflik di dalam area pengelolaannya, (3) mengetahui
kedudukan atau posisi dan peran dari stakehoder dengan berbagai tingkat
kepentingan dan pengaruh mereka dalam pengelolaan mangrove, dan mengetahui
stakeholder yang mempunyai pengaruh besar serta pola interaksi yang terbangun
di dalam jaringan, dan (4) menganalisis interaksi para aktor dalam jaringan
dengan pendekatan kekuasaan yang memberikan kontribusi untuk membangun
hubungan kepercayaan dan kerjasama dalam jaringan.
Penelitian ini dilaksanakan di KPH Wilayah 3 Provinsi Aceh.
Pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara. Wawancara
dilakukan secara semi terstruktur, dengan responden yang terpilih dengan metode
purposive. Narasumber penelitian adalah informan kunci yang ditentukan secara
snowball. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan strategi tipologi
menggunakan kerangka kerja IAD Ostrom (2005), analisis stakeholder (Reed et
al.2009), analisis jaringan (Borgatti et al. 2002) dan analisis kekuasaan (Krott et
al. 2014).
Hasil analisis kelembagaan pengelolaan mangrove berbasis masyarakat di
KPH wilayah 3 Provinsi Aceh menunjukkan bahwa kelembagaan di tingkat lokal
mempunyai aksi kolektif yang besar dan memenuhi karakteristik pengelolaan
CPRs lestari, dibandingkan dengan kelembagaan Hutan Kemasyarakatan (HKm)
skema pemerintah. Kerjasama pengelolaan mangrove yang ditunjukkan KPH dan
masyarakat Desa Pusung Kapal (DPK) merupakan solusi terhadap masalah non
excludability dan substractability. Keberlanjutan kelembagaan akan tercapai
dengan melibatkan aksi kolektif lokal melalui penerapan prinsip-prinsip: adanya
iii
aturan main berlandaskan norma masyarakat setempat; adanya organisasi
pengelola yang berkuasa memberikan penghargaan dan sanksi dan diakui serta
dihormati masyarakat; adanya resolusi konflik melalui musyawarah untuk
mencapai kesepakatan.
Hak kepemilikan yang dimiliki masyarakat Desa Pusung Telaga Tujuh
(DPTT) adalah hak akses dan hak pemanfaatan yang terbatas, kecuali masyarakat
DPK dan masyarakat HKm ditambah hak pengelolaan dan hak membatasi.
Walaupun demikian, dengan aturan tak tertulis yang dimiliki masyarakat DPTT
mempunyai hak membatasi (exclusion right) orang-orang di luar kelompok dalam
pemanfaatan mangrove. KPH telah melakukan langkah maju dengan mengadopsi
pendekatan baru dalam pengelolaan mangrove, yaitu melakukan kerjasama
dengan masyarakat DPK. Di mana secara tak langsung dengan perjanjian tersebut
KPH telah mengakui sekumpulan hak yang dimiliki masyarakat DPK kecuali hak
mengalihkan (alienation rights). Dengan demikian adanya pengakuan ini
(legitimate) merupakan insentif yang kuat bagi masyarakat DPK dalam mengelola
sumber daya mangrove.
Analisis pemangku kepentingan digunakan untuk memahami prospek
reformasi, dan cara-cara di mana kelembagaan tertentu mungkin mempengaruhi
hasil dari proses kebijakan. Dari hasil analisis, KPH sebagai organisasi pengelola
di tingkat tapak belum terlihat perannya dalam upaya meningkatkan kepentingan
dan pengaruhnya. Munculnya beberapa aktor seperti masyarakat DPK,
masyarakat DPTT, masyarakat HKm, Kepala desa, dan Tokoh masyarakat
memberikan indikasi tentang bagaimana mengelola melalui dukungan
mekanisme, dan aspirasi yang tumbuh dari para pemangku kepentingan ketika
merumuskan dan merancang strategi yang lebih kuat. Dari analisis jaringan dapat
diidentifikasi siapa pemangku kepentingan yang mempunyai pengaruh yang besar,
baik sebagai pemimpin opini, yang mempunyai akses yang cepat atau sebagai
perantara di dalam jaringan. Dengan informasi ini KPH dapat membangun dan
memelihara hubungan jangka panjang yang melibatkan pola interaksi terutama
dengan para pemangku kepentingan yang mempunyai pengaruh besar di dalam
jaringan.
Hasil pemetaan pola hubungan para aktor dalam pengelolaan mangrove di
KPH wilayah 3 Provinsi Aceh menggunakan Social Network Analysis (SNA)
menunjukkan hubungan yang lemah. Penilaian kekuasaan aktor Actor Centered
Power (ACP) sebagai kekuatan pendorong di masyarakat yang mempengaruhi
aktor-aktor lain di tiga wilayah studi menempatkan KPH sebagai aktor kuat dan
berpengaruh telah memainkan peran yang besar dalam menjalankan kebijakannya
untuk membangun hubungan, keterhubungan, kolaborasi, aksi kolektif,
kepercayaan, dan kerjasama dengan masyarakat dan elit lokal dalam membangun
jaringan yang bukan hanya untuk tujuan organisasi mereka sendiri tetapi juga
tujuan kolektif.
Collections
- DT - Forestry [343]