Trematodosis pada Sapi dan Kerbau di Wilayah Endemik Schistosomiasis di Provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia
View/ Open
Date
2018Author
Budiono, Novericko Ginger
Satrija, Fadjar
Ridwan, Yusuf
Metadata
Show full item recordAbstract
Sapi dan kerbau merupakan ternak ruminansia bernilai ekonomi sebagai
sumber protein, pupuk, dan tenaga. Hewan tersebut juga memiliki nilai adat untuk
ritual tradisional dan keagamaan bagi masyarakat Sulawesi. Potensi ekonomi
ternak dapat dihambat oleh infeksi parasit dengan dampak berupa gangguan
kesehatan, reproduksi, pertumbuhan, dan produktivitas, bahkan kematian.
Penyakit parasit ada pula yang dapat berdampak pada manusia atau bersifat
zoonotik. Penyakit oleh infeksi Trematoda pada sapi dan kerbau juga dapat
mengganggu karena menurunkan produktivitas. Data epidemiologi penyakit
Trematoda pada ternak di wilayah endemik Schistosomiasis masih terbatas.
Penelitian ini menggunakan desain lintas-seksional untuk mengukur prevalensi
Trematodosis pada sapi dan kerbau di wilayah endemik Schistosomiasis.
Berdasarkan rumus Thrusfield, sebanyak 261 ekor hewan yang terdiri atas 173
ekor sapi dan 88 ekor kerbau di tujuh desa (Desa Anca, Watumaeta, Wuasa,
Sedoa, Wangga, Bewa, dan Gunung Gintu) dipilih sebagai populasi studi. Titik
lokasi pengambilan contoh tinja diambil menggunakan alat geographic
positioning system Garmin 640. Persetujuan kelayakan etik diperoleh dari Komite
Etik Hewan, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Institut Pertanian
Bogor dengan Nomor 69-2017 IPB.
Tinja sebanyak 50 g dikoleksi dari sapi dan kerbau menggunakan metode
palpasi rektal. Tinja diperiksa keberadaan telur Trematoda dengan teknik Danish
Bilharziasis Laboratory. Trematoda yang ditemukan pada contoh sapi dan kerbau
di area studi yakni Paramphistoma, Fasciola gigantica, dan Schistosoma
japonicum. Telur Schistosoma japonicum nampak berbentuk bulat cenderung
ovoid dengan ada spina berdiameter ± 40 μm x 60 μm. Telur Fasciola gigantica
berbentuk ellipsoidal berwarna aspek kekuningan berukuran ± 140 μm x 85 μm.
Telur Paramphistoma bentuk mirip telur Fasciola gigantica (ellipsoidal) dengan
aspek lebih cerah dan ukuran ± 120 μm x 70 μm. Secara umum, prevalensi
Trematodosis keseluruhan pada ruminansia besar yang ditemukan yakni
85.06%. Prevalensi Trematodosis pada kerbau (88.63%) lebih tinggi
dibandingkan pada sapi (83.24%). Ditemukan adanya infeksi tunggal dan infeksi
campuran oleh dua bahkan tiga jenis Trematoda. Prevalensi tertinggi adalah
Paramphistomiasis (75.48%), diikuti oleh Fascioliasis (67.05%) dan
Schistosomiasis (30.27%). Prevalensi Schistosomiasis pada kerbau secara
signifikan lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan sapi. Prevalensi
Schistosomiasis tertinggi diamati di Desa Wuasa (41.38%), diikuti oleh Desa
Anca (40.00%) dan prevalensi terendah Desa Wangga (14.29%) dan secara
statistik berbeda signifikan (p<0.05). Indeks kontaminasi hewan dari Schistosoma
japonicum lebih tinggi pada kerbau (106 034.48 telur per hari per ekor) daripada
sapi (100 000.00 telur per hari per ekor) dan secara keseluruhan setiap hewannya
sebesar 102 215 telur per hari per ekor. Indeks kontaminasi hewan dari infeksi
Schistosoma japonicum paling tinggi di Desa Bewa (158 250 telur per hari per
ekor) sedangkan paling rendah di Desa Watumaeta (25 000 telur per hari per ekor).
Prevalensi infeksi Fasciola gigantica dilaporkan lebih tinggi pada kerbau
(75.00%) daripada sapi (63.01%) dan signifikan secara statistik (p<0.05).
Prevalensi Fascioliasis keseluruhan adalah sebesar 67.05%. Rerata geometrik telur
Fasciola gigantica tiap gram tinja pada hewan sapi (6.96) sedikit lebih tinggi
dibanding pada kerbau (6.36). Prevalensi Fascioliasis antar desa berbeda secara
signifikan (p<0.05). Rerata telur Fasciola gigantica tertinggi dilaporkan pada
Desa Gunung Gintu (11.43) jika dibandingkan dengan desa lainnya.
Prevalensi Paramphistomiasis pada ternak bervariasi pada lokasi desa yang
berbeda. Prevalensi tertinggi dicatat pada Desa Sedoa (88.00%), diikuti Desa
Wuasa (81.03%). Terdapat perbedaan signifikan prevalensi Paramphistomiasis
antar desa yang berbeda dengan uji chi-square (p<0.05). Rerata geometrik telur
Paramphistoma tiap gram tinja juga berbeda secara signifikan pada desa yang
berbeda (p<0.05).
Secara keseluruhan (100%) sapi dan kerbau yang terinfeksi Schistosoma
japonicum menderita infeksi derajat ringan. Hampir tiga dari empat (70.64%) sapi
yang terinfeksi Fasciola gigantica menderita infeksi dengan derajat ringan dan
hanya 12.84% sapi yang menderita infeksi Fasciola gigantica dengan derajat
berat. Begitu juga kerbau yang hampir tiga perempatnya menderita infeksi
Fasciola gigantica dengan derajat ringan. Infeksi oleh Paramphistoma dengan
derajat berat diderita oleh 42.98% sapi, namun hanya 27.63% kerbau yang
terinfeksi Paramphistoma dengan derajat berat. Penelitian ini melaporkan dua
desa endemik baru Schistosomiasis (Desa Bewa dan Desa Gunung Gintu).
Collections
- MT - Veterinary Science [909]