Analisis Usaha Tani dan Tataniaga Kumis Kucing di Kampung Ciwaluh dan Kampung Lengkong, Kabupaten Bogor
Abstract
Kekayaan hayati tanaman berkhasiat obat (biofarmaka) di Indonesia dapat menjadi peluang untuk pendapatan negara karena Indonesia menyimpan cadangan tanaman obat dunia. Keadaan yang terjadi pada petani produsen biofarmaka kumis kucing adalah tidak dapat mengandalkan budidaya tanaman ini sebagai penghasilan utama. Penelitian bertujuan (1) mengetahui mata rantai pemasaran kumis kucing sejak dari perkebunan di Kampung Ciwaluh dan Kampung Lengkong Kabupaten Bogor sampai ke rantai pemasaran terakhir dan proses pembentukan harga yang terjadi; (2) memperoleh gambaran usaha tani kumis kucing dan prospeknya.
Metodologi penelitian yang digunakan adalah kuesioner deskriptif, analisis biaya usaha tani dan pendekatan rantai pemasaran. Responden dalam penelitian ini merupakan para pelaku yang terlibat dalam tataniaga kumis kucing. Sampel dari petani dipilih sebanyak 30 orang dari kedua kampung. Tengkulak yang diwawancara sebanyak 3 orang.
Hasil penelitian diperoleh rantai tata niaga kumis kucing di Kampung Ciwaluh dan Kampung Lengkong masing-masing memiliki satu saluran. Lembaga perantara yang terlibat hanya berbeda satu mata rantai. Konsumen akhir dari komoditas ini adalah eksportir dan industri farmasi.
Hasil analisis biaya usaha tani per 1.000 m2 menunjukkan bahwa petani di Kampung Lengkong di tahun pertama belum mendapatkan keuntungan. Petani baru mendapatkannya di tahun ke 2 hingga ke 5 sebesar Rp. 294.000,- untuk terna basah dan Rp. 774.000,- untuk terna kering. Sedangkan petani Kampung Ciwaluh pada tahun pertama sudah mendapat keuntungan jika menjual dalam bentuk kering sebesar Rp. 399,000,-. Di tahun ke 2 hingga ke 5 petani mendapat keuntungan Rp. 294.000,- untuk penjualan terna basah dan Rp. 1.494.000,- untuk penjualan terna kering. R/C ratio lebih besar dari 1 sehingga usahatani kumis kucing layak dilakukan. Berdasarkan pendekatan margin rantai pemasaran menunjukkan bahwa perbedaan harga di tingkat produsen dan konsumen tidak terlalu jauh. Margin pemasaran di Kampung Ciwaluh sebesar 50,36% dan Kampung Lengkong sebesar 58,36%. Margin keuntungan petani sekitar 80%, tertinggi diantara semua pelaku tataniaga kumis kucing di wilayah ini.
Hasil analisis ini menunjukkan saluran pemasaran sudah efisien namun tidak menguntungkan petani. Kedudukan petani tidak memiliki kekuatan dalam menentukan harga jual dan tidak ada pilihan pasar. Frekuensi panen sulit ditingkatkan sehingga pendapatan petani tidak bertambah. Untuk itu harus ada bantuan kepada petani kumis kucing untuk memperbaiki pemasaran.
Collections
- MT - Professional Master [887]