Proses Resolusi Konflik Pembangunan Irigasi Persawahan (Studi Kasus di Tiga Desa Kecamatan Ibu Kabupaten Halmahera Barat).
Abstract
Konflik pembangunan irigasi persawahan dibagi menjadi dua posisi konflik, yakni konflik vertikal dan konflik horizontal. Pihak yang menempati posisi vertikal diantaranya; 1) nelayan tangkap, dibo-dibo (penjual ikan asap) versus pemerintah, 2) pemilik lahan/petani kelapa versus pemerintah, 3) masyarakat Tahafo versus pemerintah, 4) gabungan pihak kontra versus pemerintah. Keempat pihak tersebut merupakan pihak yang menolak pembangunan, dimulai dari pembuatan bendung, saluran irigasi, dan pembebasan lahan (konversi lahan sagu menjadi lahan sawah). Keempat pihak ini memiliki cara pandang yang sama yaitu menolak adanya pembangunan bendung dan saluran irigasi persawahan, yang ada di kawasan desa mereka, baik itu lahan yang berstatus pribadi maupun komunal. Mereka kemudian bergabung dalam satu kelompok yang mengatasnamakan kelompok peduli lingkungan dibawah gerakan mahasiswa HIPMAFO (Himpunan Pelajar Mahasiswa Tahafo). Gabungan ini dengan tujuan menghentikan pembangunan bendung, pengusuran lahan kelapa dan lahan sagu.
Sementara posisi pihak horizontal ditempati oleh masyarakat tiga desa (Tahafo, Togola Sangir, dan Togola Wayoli). Masyarakat Tahafo dan Togola Sangir adalah pihak yang menolak pembangunan, sementara masyarakat Togola Wayoli adalah masyarakat yang mengambil posisi sebagai pihak menerima (pro) terhadap pembangunan. Perbedaan posisi kedua belah pihak disebabkan karena cara memanfaatkan sumber agraria dengan cara yang berbeda. Pihak kontra memanfaatkan/menjadikan sungai sebagai pasar (tempat transaksi antara nelayan tangkap dengan dibo-dibo dan masyarakat setempat), begitupun lahan sagu, selain lahannya yang dikatakan sebagai lahan adat, tanaman sagu pun dijadikan sebagai makanan lokal masyarakat setempat, dan memiliki fungsi dan manfaat yang beragam. Keinginan dari pihak kontra yaitu memanfaatkan sumber agraria tanpa merubah bentuknya. Sedangkan pihak pro pembangunan berkeinginan merubah status lahan sagu menjadi lahan sawah dan menjadikan sungai sebagai sumber mata air untuk disalurkan ke areal persawahan. Keinginan pihak pro yaitu merubah status pekerjaan mereka dari petani kelapa menjadi petani padi sawah. Hal ini sangat bertolak belakang dengan masyarakat Tahafo dan Togola Sangir, yang masih kuat akan kultur dan tradisi.
Penelitian ini bertujuan mengungkap dan memahami penyebab konflik dan menganalisis proses resolusi konflik pembangunan bendung dan saluran irigasi persawahan tahun 2013. Penelitian dilakukan dari bulan Maret sampai April 2016 yang berlokasi di Desa Tahafo, Togola Sangir, dan Togola Wayoli, Kecamatan Ibu Kabupaten Halmahera Barat. Penelitian juga dilakukan di DPRD Halmahera Barat dan PU Propinsi Maluku Utara. Metode pengumpulan data dan analisis data dilakukan secara kualitatif yang berlandas pada paradigma konstruktivis.
Hasil penelitian menunjukan bahwa telah terjadi eskalasi konflik antara pihak dalam pembangunan bendung dan saluran irigasi persawahan. Mulanya konflik sumber agraria tidak tampak di permukaan seperti konflik kepemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan sumber agraria, di antara masyarakat tiga desa
sebelumnya. Konflik sumber agraria tersebut muncul/pesat ketika pemerintah menghadirkan pembangunan bendung dan saluran irigasi persawahan di tiga desa pada tahun 2013. Dari kehadiran pembangunan tersebut muncul klaim atas sumber agraria di berbagai pihak, dimulai dari masalah kepemilikan hingga pada masalah penguasaan, ditambah lagi dengan adanya protes masyarakat Tahafo dan Togola Sangir kepada pihak pemerintah (PU Propinsi Maluku Utara). Bentuk pembelaan masyarakat Togola Wayoli kepada pemerintah menambah eskalasi konflik semakin tinggi. Pihak yang melakukan protes ditantang pihak pro pembangunan (masyarakat Togola Wayoli).
Eskalasi konflik antara pihak itu menurun setelah pihak dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) Halmahera Barat memutuskan untuk menghentikan pengusuran lahan di tiga desa. Keputusan tersebut disampaikan secara terbuka pada tanggal 12 juli 2013 yang melibatkan/menghadirkan berbagai pihak yang terlibat dalam konflik pembangunan bendung dan saluran irigasi.
Konflik antarpihak dalam pembangunan bendung dan saluran irigasi persawahan tidak mencapai hingga pada puncak konflik (konflik kekerasan). Masing-masing pihak lebih condong pada gaya berkonflik kompetisi, kolaborasi, dan kompromi. Masyarakat Tahafo dan Togola Sangir yang terdiri dari petani kelapa, nelayan tangkap, dibo-dibo, petani sagu, dan mahasiswa yang tergabung di dalamnya cenderung gaya berkonfliknya kompetisi dan kompromi, sedangkan pihak yang berasal dari Togola Wayoli dan pemerintah (pihak pelaksana pembangung) cenderung memperlihatkan gaya kolaborasi. Jalur penyelesaian konflik yang ditempuh pada saat itu adalah negosiasi, mediasi dan fasilitasi.
Collections
- MT - Human Ecology [2190]