Dinamika Sasi di Kaimana: Perubahan Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Laut Tradisional
View/ Open
Date
2017Author
Setyaningsih, Ratna
Rusmana, Iman
Setyanto, Prihasto
Suwanto, Antonius
Metadata
Show full item recordAbstract
Sasi merupakan suatu bentuk praktek pengelolaan sumberdaya komunal
yang telah dilakukan secara turun-temurun di berbagai lokasi di Maluku dan
sebagian wilayah Papua Barat. Praktek ini telah lama dipercaya sebagai salah satu
kearifan tradisional yang efisien dalam memelihara kelestarian sumberdaya di
wilayah laut. Namun demikian, praktek Sasi ini sangat dipengaruhi oleh adat yang
didirikan oleh sistem feodal, suatu sistem yang kini telah digantikan oleh
pemerintahan modern.
Terdapat tiga pertanyaan dalam penelitian ini, yaitu: 1) Bagaimana situasi
ekonomi-politik berbeda mempengaruhi proses-proses dikontrol, dikelola dan
diperolehnya akses oleh aktor serta bagaimana dampaknya pada praktek Sasi?; 2)
Bagaimana akses terhadap sumberdaya pesisir yang dikelola oleh Sasi membentuk
relasi dan diferensiasi sosial pada masyarakat?; 3) Bagaimana dinamika
kelembagaan dan struktur sosial yang berkaitan dengan Sasi mempengaruhi
aktivitas ekonomi perempuan dalam perikanan? Penelitian dilakukan pada bulan
November-Desember 2015 di Pulau Adi, Distrik Buruway, Kabupaten Kaimana.
Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan strategi progressive
contextualization dan didukung oleh data kuantitatif yang berasal dari literatur
dan survey.
Di Kaimana, Papua Barat, Sasi di wilayah laut yang dikenal sebagai Sasi
Nggama, dilakukan untuk melindungi tiga biota laut yang bernilai ekonomi tinggi,
yaitu teripang, kerang lola dan batulaga. Sasi dilakukan dengan meletakkan sinara
(sesaji sirih pinang) dan anyaman janur kelapa sebagai tanda ditutupnya wilayah
perairan dari kegiatan penangkapan ketiga biota tersebut sampai batas waktu yang
ditentukan oleh pemilik petuanan. Petuanan adalah wilayah laut yang dikelola
secara komunal oleh keluarga atau marga-marga yang terdapat di dalam
masyarakat. Berdasarkan temuan di lapangan, terdapat empat marga yang
menguasai wilayah petuanan laut di Pulau Adi, yaitu marga Samay, Laturauw,
Seninggirauw dan Sawoka.
Berdasarkan analisis teori akses (Ribot dan Peluso 2003) kepenguasaan
petuanan oleh marga menunjukkan bahwa akses terhadap identitas sosial (access
to social identity) menjadi faktor utama yang mempengaruhi seseorang untuk
meraih keuntungan dari sumberdaya yang dilindungi melalui Sasi Nggama di
Pulau Adi. Bundle of power dikuasai oleh aktor-aktor memungkinkan mereka,
bukan hanya untuk mengambil keuntungan dari sumberdaya, namun juga untuk
mengelola dan mengontrol akses yang dimilikinya. Hasil penelitian menunjukkan
adanya disparitas kekuasaan yang disebabkan oleh ketimpangan bundle of power
antara yang dimiliki oleh elit petuanan dengan non-elit petuanan. Hal ini
memungkinkan terjadinya internalisasi dan modifikasi berbagai komponen
kelembagaan sejalan dengan kepentingan aktor dengan kekuasaan yang lebih
besar. Komponen kelembagaan yang telah diinternalisasi yaitu sistem lelang Sasi,
sedangkan komponen kelembagaan yang dimodifikasi di antaranya adalah
penerapan sanksi, sistem bagi hasil kepada elit petuanan, serta teknologi
penangkapan yang diizinkan ketika buka Sasi.
Konsekuensi dari perubahan teknologi alat tangkap ini di antaranya adalah
terjadinya pergeseran dominasi dalam perikanan yang berkaitan dengan
pemanenan hasil Sasi, yang mana pada awalnya didominasi oleh perempuan, kini
menjadi dominasi laki-laki. Sementara penerapan sistem lelang, pembagian hasil
yang memberatkan serta sanksi yang dimoneterisasi berujung pada komersialisasi
Sasi, terkikisnya legitimasi otoritas adat hingga pelemahan Sasi sebagai institusi
pengelola sumberdaya komunal. Selain itu, peran Sasi sebagai mekanisme
jaminan sosial (social security mechanism) menjadi terancam oleh karena
hilangnya inklusifitas pengelolaan sumberdaya alam yang disebabkan oleh upaya
elit lokal untuk memaksimalkan keuntungan.
Upaya elit petuanan untuk menaikkan sanksi bagi kegiatan pencurian
merupakan suatu bentuk reinforcement atau penegakkan aturan yang dilakukan
dengan tujuan untuk menimbulkan ketakutan dari pihak subordinat sekaligus
merupakan respon dari kegiatan pencurian yang berlangsung. Namun ironisnya,
dengan penerapan sanksi yang semakin berat, kontrol sosial bagi penegakan Sasi
justru semakin melemah. Hal ini sekaligus menjadi indikasi bagi apa yang disebut
oleh Scott (1985) sebagai weapons of the weak: everyday forms of resistance.
Alih-alih konfrontasi secara terang-terangan, penolakan yang terjadi melainkan
berada di level individual dan terselubung, mewujud melalui gerutu-gerutu di
kalangan kelas sub-ordinat dan upaya untuk menjustifikasi kegiatan pelanggaran
yang dilakukan. Diskursus tersembunyi ini disebut juga sebagai the hidden
transcript. Oleh karenanya, dominasi yang terjadi di kalangan petuanan ini
bukanlah suatu bentuk hegemoni, melainkan telah terjadi suatu kesadaran
(conciousness) yang menimbulkan berbagai perlawanan yang dilakukan secara
individual dan tidak terorganisir. Bentuk perlawanan yang teridentifikasi di
antaranya adalah mencuri sedikit-sedikit (pilfering), kepatuhan palsu (false
compliance), pura-pura tidak tahu (feign ignorance) dan menyembunyikan
identitas marga.