Indonesia’s International Competitiveness of Cacao and Cacao Products in USA and EU Market, Analyzed by Revealed Comparative Advantage, Relative Import Advantage, and Export Product Dynamic
Abstract
Walaupun Indonesia hanya dapat menyuplai 11% dari pemintaan kakao
dunia, potensi peran kakao untuk perdagangan internasional Indonesia relatif
tinggi dan memiliki kecenderungan untuk meningkat karena tingkat permintaan
kakao yang terus naik tidak dibarengi dengan tingkat produksi kakao dunia. Lahan
perkebunan kakao di Indonesia pada tahun 2004-2013 mengalami peningkatan
hingga 5% per tahun sedangkan produksi hanya mengalami peningkatan hingga
0.7% per tahun (Kementan 2015 dalam Hanafi 2016). Perbedaan laju
pertumbuhan lahan dan produksi ini mengindikasikan potensi Indonesia untuk
meningkatkan produksi kakao di masa mendatang. Laju pertumbuhan permintaan
kakao dunia pun terus mengalami peningkatan hingga 9.19% per tahun, sementara
laju ekspor kakao Indonesia meningkat hingga 10.02% (Trademap.org 2016) per
tahun yang mengindikasikan potensi pengembangan pasar. Karena itu, terdapat
kemungkinan untuk meningkatkan laju ekspor kakao dan turunan kakao untuk
pasar internasional.
Tujuan utama pasar kakao Indonesia pada tahun 2001-2015 adalah
Malaysia, USA, dan EU dengan persentase ekspor Indonesia masing-masing 30%,
22%, dan 14% (Trademap.org 2016); dengan mayoritas ekspor berupa biji kakao
sebanyak 85% ke Malaysia dan 47% ke USA, walau pasar EU lebih memilih
produk turunan kakao (Hanafi 2016) berupa lemak kakao yang mencapai 59%
bagian ekpsor. Total ekspor kakao Indonesia ke Malaysia, USA, dan EU
mencapai 66% dari total ekspor kakao Indonesia. Hal ini menunjukkan
pentingnya ketiga pasar utama tersebut dalam perdagangan internasional kakao
Indonesia. Walau begitu, potensi daya saing kakao Indonesia diasumsikan akan
tertinggi secara relatif di pasar Malaysia karena minimnya persaingan di wilayah
dagang ASEAN dan adanya perjanjian kerja sama AFTA.
USA merupakan pasar kakao Indonesia terbesar sekaligus tujuan eksor
kakao dunia terbesar dengan daya serap kakao mencapai 24% dari permintaan
dunia, 20% dari total ekspor kakao Indonesia, dengan 47% dalam bentuk biji dan
43% dalam bentuk lemak kakao. Pada 2001-2015, Indonesia menguasai 6.4%
pasar kakao USA.
Permintaan kakao dari pasar EU merupakan permintaan terbesar di dunia
yang mencapai 40-50% permintaan kakao dunia. Indonesia memenuhi 2.5%
permintaan kakao EU. Terdapat kompetitor dari beberapa negara pengekspor
kakao yang memiliki keuntungan berupa bebas impor tariff. Pantai Gading
memiliki pangsa pasar di EU sebanyak 41%, Ghana 19.5%, Nigeria 9.2%, dan
Kamerun 5.2%. Negara-negara pengekspor tersebut merupakan bagian dari skema
General System Preferences (GSP) dan Everything But Arms (EBA) yang bebas
tariff. Swiss memiliki pangsa pasar di EU sebesar 7.3% dengan kerja sama pasar
bebas. Selain tergabung dalam skema General System Preferences (GSP),
Everything But Arms (EBA), dan perjanjian pasar bebas, negara-negara tersebut
vi
juga mendapat keuntungan berupa negara preferensi ekspor. Indonesia sebagai
negara erkembang juga mendapat keuntungan tergabung dalam skema GSP
dengan pengurangan tariff hingga 3.5% dari tariff impor berlaku.
Untuk menjamin kualitas kakao yang diekspor, pemerintah memberlakukan
program Gernas Pro Kakao yang mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas biji
kakao (Hasibuan 2002; Horne dan E 2009) agar lebih kompetitif di pasar
internasional. Tujuan utama program Gernas Pro Kakao ini adalah untuk menjaga
keberlanjutan industry kakao nasional (ACIAR 2008). Pemerintah Indonesia juga
mengeluarkan peraturan Permenkeu No. 67/PMK.011/2010 mengenai Penetapan
Barang Expor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar yang
menyebabkan tariff ekspor biji kakao Indonesia mengaami peningkatan hingga
15% (Kemenkeu 2010).
Menindaklanjuti usaha pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kualitas
kakao Indonesia, mendorong ekspor produk turunan kakao, dengan USA dan EU
sebagai pasar tujuan kakao dunia, termasuk Indonesia, pertanyaan yang ingin
dijawab dari penelitian ini adalah, “Bagaimana daya saing kakao dan produk
turunan kakao Indonesia di pasar USA dan EU?”.
Kakao biji, pasta, bubuk, dan lemak Indonesia memiliki daya saing di
pasar internasional. Daya saing internasional tertinggi dimiliki oleh biji kakao
dengan skor RCA dan RTA tertinggi di antara kakao ekspor Indonesia lain,
sementara di antara produk turunan kakao, lemak kakao memiliki daya saing
tertinggi. Walau begitu, kakao pasta Indonesia relative tidak memiliki daya saing
di pasar Internasional. Hal ini dapat terjadi bila terdapat negara pengolah kakao
lain yang mampu menghasilkan kakao pasta dengan kualitas dan yang lebih
diinginkan. Berdasarkan hasil dari diagram EPD, posisi kakao biji, pasta, bubuk,
dan lemak Indonesia di pasar Internasional termasuk dalam posisi rising star.
Posisi ini mengindikasikan bahwa kakao biji, pasta, bubuk, dan lemak Indonesia
pada perdagangan internasional di pasar USA dan EU dinamis dan kompetitif.
Secara keseluruhan, daya saing kakao Indonesia di pasar Internasional,
USA, dan EU tertinggi dimiliki oleh kakao biji. Hal ini dimungkinkan karena
produksi nasional kakao Indonesia menempati urutan ketiga dunia setelah Pantai
Gading dan Ghana. Namun sebagai negara pengolah kakao, daya saing kakao
pasta, bubuk, dan lemak Indonesia masih tergolong relative kecil. Terjadi
pergeseran tingkat daya saing produk kakao turunan Indonesia menjadi lebih
tinggi setelah adanya aturan Permenkeu No. 67/PMK.011/2010 mengenai
Penetapan Barang Expor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Hal
ini turut mengindikasikan kemampuan dan potensi produk turunan kakao
Indonesia di pasar internasional.
Daya saing kakao Indoensia dapat terus ditingkatkan dengan menjaga
kualitas barang yang paling kompetitif seperti biji dan lemak kakao. Daya saing
keseluruhan juga dapat ditingkatkan dengan meningkatkan produktfitas lahan
kakao, mencari bibit unggul, dan menjaga kualitas lahan tanam. Hal ini dapat
menjaga kualitas kakao yang karakteristiknya tergantung pada bibit dan daerah
asal kakao. Intervensi pemerintah untuk mendukung perkembangan industri
produk turunan kakao berupa penyuluhan, pendanaan, dan aturan tambahan yang
meningkatkan ketertarikan terhadap industri kakao Indonesia juga diperlukan.
Collections
- MT - Economic and Management [2970]