Kapital Budaya Petani dalam Pelestarian Hutan: Studi Fenomenologis Orang Semende di Dataran Tinggi Sumatera Selatan
View/ Open
Date
2016Author
Martin, Edwin
Suharjito, Didik
Darusman, Dudung
Sunito, Satyawan
Metadata
Show full item recordAbstract
Belajar dari pengalaman masa lalu, keraguan dan ketidakpahaman terhadap praktik-praktik yang terjadi di masyarakat dapat membuat kebijakan kehutanan masyarakat mandek di lapangan atau dijalankan setengah hati. Petani lebih sering dipandang sebagai agen perusak, lapar lahan dan tidak memiliki kemampuan mengelola hutan. Karenanya, penting untuk memahami proses-proses yang terjadi di masyarakat, guna memastikan implementasi kebijakan berada dalam jalur yang semestinya. Riset-riset mengenai relasi petani kecil dan deforestasi/konservasi hutan lebih banyak memberikan saran bahwa insentif ekonomi dan perbaikan teknik pertanian adalah jalan untuk menyeimbangkan kepentingan ekologi dan sosial. Namun demikian, riset-riset lainnya juga menunjukkan bahwa solusi ekonomi dan teknis justru memicu deforestasi oleh petani.
Orang Semende yang tinggal di dataran tinggi Sumatera Selatan terstigma sebagai agen deforestasi. Dari tanah asal di Muara Enim Sumatera Selatan, mereka menyebar dan membentuk komunitas baru di berbagai lokasi sepanjang Bukit Barisan. Mereka seringkali menjadi objek dari kebijakan pemerintah, seperti pengusiran, konflik, “pemaksaan” program penanaman pohon dalam rangka reforestasi/rehabilitasi lahan kebun kopi. Namun demikian, hutan alam tersisa di dataran tinggi Sumatera Selatan justru masih mudah ditemui di tanah asal mereka, Muara Enim. Hutan-hutan ini secara umum merupakan hulu irigasi sawah mereka. Penelitian ini mengajukan pertanyaan “mengapa dan bagaimana hutan alam tertentu di Semende dapat lestari?
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menjelaskan peran kapital budaya orang Semende dalam hubungannya dengan tindakan sosial pelestarian hutan. Pemahaman tersebut menjadi bekal untuk mendapatkan strategi konservasi hutan tersisa dan rehabilitasi lahan dataran tinggi berbasis tanaman kopi.
Penelitian tidak dimaksudkan untuk menguji teori, namun menggunakannya untuk mendapatkan taraf analisis dan menjelaskan temuan-temuan penelitian. Alur pikir penelitian ini berlandaskan konsep utama kapital budaya dari Berkes dan Folke. Penelitian ini memilih fenomenologi deskriptif sebagai pendekatan untuk memahami budaya petani Semende. Penelitian ini dilaksanakan di 3 kecamatan (32 desa) yang didiami oleh orang Semende di Muara Enim, Sumatera Selatan. Pengambilan data lapangan di mulai sejak bulan Desember 2013 hingga Agustus 2015. Analisis data dalam metode fenomenologis deskriptif mengikuti logika induktif untuk membangun struktur makna atau esensi dari pengalaman. Penelitian ini secara umum mengikuti langkah-langkah Colaizzi dalam menganalisis data fenomenologis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa relasi sawah-hutan dapat lestari karena memiliki mekanisme sosial lokal, yaitu sebuah sistem tidak terpisahkan dalam wujud hutan-sawah-tunggu tubang, yang digerakkan oleh nilai-nilai budaya. Relasi sawah-hutan membentuk dan dibentuk oleh pengetahuan ekologis tradisional (PET), dilindungi oleh institusi ulu ayek dan tunggu tubang, dan
v
digerakkan oleh nilai-nilai saling menghormati dan prinsip kedaulatan pangan. Mekanisme ini memperlihatkan keterpaduan antara kelola hutan-kelola sawah-kelola sosial yang dilingkupi oleh prinsip tata kelola (governance) saling menghormati kerja keras untuk penghidupan dan kedaulatan pangan. Ini menunjukkan bahwa pelestarian hutan tidak cukup hanya dihubungkan dengan aktivitas ekonomi semata, tetapi harus melibatkan institusi sosial dan nilai-nilai budaya yang menjadikan aktivitas ekonomi seperti sawah, dapat bertahan lama dan membatasi perilaku serakah manusia. Ini juga menjelaskan mengapa beberapa kasus program kehutanan masyarakat, dengan perhatian hanya terhadap sumberdaya hutan dan ekonomi, gagal bertahan lama.
Program pelestarian hutan dalam bentuk penanaman pohon di kebun kopi petani kurang berhasil karena tidak sesuai dengan etika subsistensi petani. Meskipun usaha tani kopi digerakkan oleh rasionalitas ekonomi, namun dibatasi oleh prinsip mengutamakan kemandirian, kesetaraan dan stabilitas Tanaman kopi adalah komoditas utama untuk mendapatkan uang tunai bagi kebutuhan hidup sehari-hari. Kebutuhan keluarga adalah mendesak, terukur, dan terencana sehingga petani “enggan resiko” jika kebun kopi ditambahi tanaman baru. Meskipun dianggap pemerintah bernilai ekonomi namun di luar nalar dan rencana mereka. Karenanya, program penanaman pohon bagi petani kopi tidak bisa hanya sekedar aktivitas menanam pohon yang ‘dianggap’ memiliki nilai ekonomi atau ditujukan bagi perbaikan lingkungan dan rehabilitas lahan saja, tetapi harus masuk dalam sistem pengetahuan petani tentang budidaya kopi dan menjadi bagian strategi kehidupan mereka untuk menuju kemandirian.
Collections
- DT - Forestry [343]