Model Partispatif Perhutanan Sosial Menuju Pengelolaan Berkelanjutan (Kasus Pembangunan Hutan Kemasyarakatan Pada Kawasan Hutan Lindung Di Pulau Lombok)
View/ Open
Date
2011Author
Dipokusumo, Bambang
Kartodihardjo, Hariadi
Darusman, Dudung
Dharmawan, Arya Hadi
Metadata
Show full item recordAbstract
Kasus kehancuran sumberdaya hutan di Indonesia telah lama terjadi yaitu laju kerusakan hutan lima tahun terakhir ini yang mengalami peningkatan sebesar 3,8 juta hektar pertahun dari angka semula yang kurang 2 juta hektar pertahun. Dari 130 juta hektar luas tutupan hutan Indonesia, sekitar 72 % hutan asli Indonesia hilang dan dari sisa 28 % dari hutan asli tersebut ternyata 25 % atau sekitar 30 juta hektar dalam kondisi rusak parah. Pembangunan hutan melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan dan Hutan (GN-RHL) hanya mampu menyelamatkan 1,5 juta hektar, sementara itu kerusakan hutan dalam 5 tahun seluas 12 juta hektar sehingga 10,5 juta hektar akan terabaikan.
Dari beberapa hasil penelitian di Pulau Lombok memberikan bukti bahwa terjadi kerusakan bio-fisik kawasan dan pelanggaran aturan main (Awik-awik) yang telah dibangun bersama. Kerusakan bio-fisik kawasan terlihat dari rendahnya usaha konservasi lahan dan rendahnya tutupan lahan yang bersumber dari tanaman kayu-kayuan. Kawasan didominasi oleh tanaman pangan dan buah-buahan (Amiruddin et al. 2001; Kusumo et al. 2004). Sementara itu, Muktasam et al. (2003) menemukan bahwa kelembagaan yang terbangun tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Humaidi (2006) menemukan bahwa lemahnya kohesifitas antara masyarakat sebagai akibat dari punahnya kearipan lokal yang ada sebagai faktor penyebab kehancuran tersebut
Bila dihubungkan kondisi hutan lindung di Pulau Lombok yang sempit, namun memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakat Pulau Lombok terutama sebagai pensuplai air, maka dapat dianggap bahwa kehancuran hutan lindung merupakan ancaman yang cukup serius terhadap kehidupan penduduk. Luas hutan lindung di Pulau Lombok yaitu sekitar 162.749,14 hektar atau 15,16 % dari luas kawasan hutan di Propinsi Nusa Tenggara Barat (1.098.044,08 hektar) dan sekitar 22,68 % telah menjadi lahan kritis (Anonim 2002; Anonim 2006). Kondisi hutan lindung tersebut kedepan nampaknya sangat memprihatin. Kebijakan yang berhubungan dengan perhutanan sosial atau HKm belum mampu dijadikan contoh model untuk mencapai pembangunan kehutanan yang berkelanjutan.
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan sebagai berikut (1) mempelajari dinamika isi dan implementasi kebijakan pemerintah tentang HKm, (2) mempelajari tingkat partisipasi masyarakat dan faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap pasrtisipasi masyarakat serta hubungannya dengan kondisi ekologi kawasan hutan dan (3) menyusun rancangan model berkelanjutan perhutanan sosial pada kasus pembangunan Hutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok.
Penelitian ini menggunakan metode gabungan antara penelitian deskriptif, ekploratif dan partisipatif dengan teknik pengumpulan data penelusuran dokumen, observasi, survei dan Participatory Rural Appraisal (PAR). Lokasi penelitian
v
merupakan kawasan HKm hutan lindung di Pulau Lombok dengan sebaran daerah kawasan HKm Sesaot, Batukliang Utara dan Sekaroh. Responden dalam penelitian ini adalah pengelola HKm dan pakar. Cara pengambilan responden adalah kuota sampling dengan jumlah 107 responden pengelola HKm. Kemudian penentuan responden pakar melalui penelusuran pada kelompok pakar dari perguruan tinggi, dinas kehutanan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Variabel yang diukur dalam penelitian ini meliputi (1) perubahan isi dan implementasi kebijakan tentang HKm, (2) kebutuhan dan kepentingan stakeholders (3) Karakteristik kelembagaan HKm, (4) Faktor sosial ekonomi pengelola HKm dan (5) Tingkat partisipasi masyarakat dalam program pembangunan masyarakat. Sedangkan analisis data menggunakan analisis isi, statistik munltinominal logit, korelasi Spearman’s dan ISM (Interpretative Structural Modelling).
Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan sebagai berikut (1) Kebijakan tentang pembangunan Hutan Kemasyarakatan (HKm) mengalami perkembangan dalam beberapa komponen adalah konsep HKm dan hak serta kewajiban dari masyarakat dalam pengelolaan HKm. (2) Kebijakan HKm tingkat nasional berdampak terhadap terbangunnya kebijakan HKm pada tingkat provinsi dan kabupaten. Perjalanan kebijakan HKm diikuti dengan berbagai konflik kebijakan dan kepentingan. 3) Bentuk Partisipasi masyarakat dalam pembangunan HKm sebagian besar tidak aktif dalam program perencanaan dan monitoring/evaluasi, tetapi aktif dalam program implementasi. Namun tipe partisipasi masyarakat sebagian besar bersifat kolaboratif, baik dalam program perencanaan, implementasi dan monitoring dan evaluasi. Kemudian tingkat partisipasi masyarakat sebagian besar berada pada tingkatan sedang dan berdasarkan tangga partisipasi Arnstein termasuk pada tingkatan tokenism. (4) Faktor sosial ekonomi dan kelembagaan mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan HKm. yaitu Tingkat Usia, Tingkat Pendidikan , Ukuran Rumahtangga, Persepsi, Kepengurusan Kelompok, Pendapatan HKm , Luas Lahan Dikelola, Jarak Rumah dengan Kawasan HKm dan Sejarah Aktivitas Ekonomi pengelola. Kemudian tingkat partisipasi masyarakat pengelola memiliki hubungan positif dengan kondisi ekologi kawasan HKm. (5) Model pengelolaan berkelanjutan dalam kawasan perhutanan sosial di Pulau Lombok adalah Model Agroforestri Basis Gaharu Terintegrasi. Kemudian strategi dalam implementasinya melalui pengembangan prioritas pada elemen kunci dalam orientasi hutan lestari, dukungan kebijakan, pengembangan modal usaha dan mendorong kinerja dari Dinas Kehutanan Kabupaten dan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS).
Untuk dapat mengimplementasikan model tersebut, maka disarankan beberapa hal yaitu (1) dibangunnya kelembagaan informasi atau Forum HKm pada setiap desa dalam kawasan HKm, (2) untuk mengimplementasikan model tersebut sebaiknya organisasi HKm dilengkapi dengan seksi perencanaan, seksi penyuluhan dan komunikasi dan seksi pendanaan dan (3) masyarakat sebaiknya dilibatkan aktif dalam program perencanaan, implementasi dan monitoring/ evaluasi serta mendapat pemberdayaan ekonomi sebagai bentuk upaya meningkatkan ekonomi masyarakat dari luar kawasan serta (4) untuk dapat mengkonservasi kawasan masih diperlukan intervensi pemerintah dalam pembiayaan dan penataan kelembagaan.