Pengembangan Institusi Pemulihan Fungsi Hutan Lindung Pulau Tarakan Sebagai Penyangga Ekosistem Pulau Keci
View/ Open
Date
2011Author
Sutrisno, Adi
Kartodihardjo, Hariadi
Nugroho, Bramasto
Darusman, Dudung
Metadata
Show full item recordAbstract
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kerusakan sumberdaya Hutan Lindung Pulau
Tarakan (HLPT) yang merupakan sumberdaya bersama milik negara yang berada pada
sebuah pulau kecil dan memiliki fungsi penting sebagai sistem penyangga kehidupan.
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk merumuskan pengembangan institusi
pemulihan fungsi HLPT sebagai penyangga ekosistem pulau kecil. Tujuan utama
dicapai melalui tujuan antara sebagai berikut: (1) mengetahui kapasitas organisasi dan
menemukan wilayah prioritas perbaikan kapasitas organisasi pengelola HLPT; (2)
menemukan penyebab kegagalan koordinasi antar lembaga pemerintah dalam
pengelolaan HLPT; (3) menemukan penyebab ketidakselarasan perilaku masyarakat
pemanfaat dengan tujuan pengelolaan sumberdaya HLPT berdasarkan persepsi dan
motivasinya; dan (4) menemukan kejelasan batas spasial pemulihan fungsi HLPT,
stakeholders pemulihan fungsi HLPT, otoritas (hak dan kewajiban) stakeholders
pemulihan fungsi HLPT dan kepastian struktur insentif pemulihan fungsi HLPT.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teknik
observasi berpartisipasi, wawancara terstruktur, wawancara mendalam dan studi
dokumentasi. Data yang digunakan terdiri atas data primer dan sekunder, dengan
sumber data responden, informan kunci dan dokumen. Teknik pengambilan sampel
yang diterapkan dalam penelitian terdiri atas teknik pengambilan sampel secara sengaja
(purposive sampling), pengambilan sampel bola salju (snowball sampling) dan
pengambilan sampel quota (quota sampling). Sedangkan variabel yang ditelaah
meliputi: kapasitas organisasi pengelola, koordinasi antar lembaga pemerintah, persepsi
dan motivasi masyarakat pemanfaat, substansi peraturan perundangan tentang
koordinasi, tutupan lahan, stakeholders, kepentingan dan pengaruh stakeholders, hak
dan kewajiban stakeholders, transaksi jasa lingkungan, keinginan membayar dan bentuk
insentif. Metode analisis kapasitas organisasi digunakan untuk menganalisis data yang
berkenaan dengan kapasitas organisasi pengelola HLPT. Guna menemukan penyebab
kegagalan koordinasi antar organisasi pemerintah dalam pengelolaan HLPT digunakan
teknik analisis koordinasi antar lembaga (sektor), sedangkan untuk menemukan sumber
penyebab kegagalan koordinasi berdasarkan peraturan perundangan digunakan teknik
analisis isi kualitatif. Teknik deskriptif persepsi dan motivasi digunakan untuk
menemukan penyebab ketidakselarasan perilaku masyarakat pemanfaat sumberdaya
HLPT dengan tujuan pengelolaan HLPT. Analisis tutupan lahan digunakan untuk
mengetahui kelas tutupan pada HLPT. Analisis stakeholders digunakan untuk
mengidentifikasi stakeholders pemulihan fungsi HLPT, stakeholders berdasarkan
tingkat kepentingan dan pengaruhnya dalam pemulihan fungsi HLPT, sedangkan untuk
mengetahui hak dan kewajiban stakeholders dalam pemulihan fungsi HLPT digunakan
teknik analisis taksonomik dan komponensial. selanjutnya analisis pembayaran jasa
lingkungan digunakan untuk mengetahui struktur insentif pemulihan fungsi HLPT.
v
Akhirnya, sintesis dilakukan menggunakan teknik analisis tema (discovering cultural
themes).Berdasarkan kajian yang dilakukan dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1) Kapasitas UPT-KPHL Model Tarakan sebagai organisasi pengelola HLPT tingkat
tapak adalah rendah (nil-moderate) dengan kelemahan-kelemahan organisasi sebagai
berikut: (1) kerjasama dengan organisasi pemerintah dan non pemerintah; (2)
perencanaan strategis bidang keuangan dan diversifikasi sumber pendanaan
organisasi; (3) pendelegasian wewenang pengambilan keputusan; (4) kepatuhan
terhadap kebijakan dan prosedur (standar operasional); (5) proses rekruitmen,
orientasi dan pengembangan staf, supervisi dan evaluasi; dan (6) penilaian
pencapaian misi organisasi dan penilaian dampak serta relevansi program. Hal ini
berarti UPT-KPHL Model Tarakan memiliki kemampuan yang rendah untuk
mencapai tujuan pengelolaan HLPT.
2) Kapasitas koordinasi antar lembaga pemerintah dalam pengelolaan HLPT rendah
yang disebabkan oleh permasalahan ambigu kewenangan, kekurangan informasi dan
kurang dalam hal konsultasi. Di sisi lain, kebijakan koordinasi cenderung
menggunakan pendekatan mekanisme koordinasi vertikal yang dicirikan oleh
pengkoordinasian yang dilakukan oleh level pimpinan organisasi pemerintah
(menteri, gubenur, bupati/walikota, sekretaris daerah). Akibatnya status koordinasi
antar lembaga pemerintah dalam pengelolaan HLPT gagal karena belum dapat
ditiadakannya pemborosan, inkonsistensi dan tidak tertanganinya isu penting. Hal
ini bermakna tidak adanya koordinasi kebijakan program berbasis spasial lapangan
dan belum dilembagakannya sistem koordinasi antar lembaga pemerintah.
3) Rendahnya tingkat persepsi masyarakat pemanfaat terhadap manfaat fungsional dan
pilihan HLPT, rendahnya tingkat motivasi lingkungan dan tingginya tingkat motivasi
sosial masyarakat pemanfaat dalam pemanfaatan HLPT merupakan faktor
pendorong/stimulus ketidakselarasan perilaku masyarakat pemanfaat dengan tujuan
pengelolaan HLPT. Hal ini berarti persepsi dan motivasi tidak mendukung tujuan
pengelolaan HLPT.
4) Ekosistem HLPT sebagian besar telah berubah menjadi areal dengan tutupan lahan
non hutan, yang dalam upaya pemulihannya dapat melibatkan 13 stakeholders kunci.
Dimana, hak stakeholders subjek mengarah pada hak untuk memanfaatkan/
menggunakan dan memperoleh izin pemanfaatan sumberdaya HLPT dengan
kewajiban berpartisipasi dan berkontribusi terhadap pendanaan dalam pemulihan
fungsi HLPT. Hak stakeholders pemain dan penghubung mengarah pada hak untuk
mengelola, mengawasi, memfasilitasi dan menilai program pemulihan fungsi HLPT
dengan kewajiban mewujudkan program pemulihan fungsi HLPT. Selanjutnya,
teridentifikasi bahwa masyarakat pengguna air bersih merupakan penerima manfaat
yang memiliki kesediaan membayar dengan nilai Rp 300 m-3 yang merupakan
potensi sumber pendanaan rehabilitasi hutan dan lahan, sedangkan UPT-KPHL
Model Tarakan sebagai penyedia jasa layanan lingkungan dan masyarakat pengguna
lahan sebagai pihak yang dapat berperan menggunakan lahan yang dikuasainya
untuk kepentingan konservasi sumber air.
5) Kontribusi hasil penelitian terhadap teori pengelolaan sumberdaya hutan milik
Negara (common pool resources) adalah sebagai berikut: pada kondisi kapasitas
vi
organisasi pengelola rendah, kapasitas koordinasi antar lembaga pemerintah yang
terlibat dalam pengelolaan rendah, kebijakan koordinasi menekankan pada
pendekatan mekanisme koordinasi vertikal dan persepsi serta motivasi masyarakat
pemanfaat mendorong perilaku masyarakat tidak selaras dengan tujuan pengelolaan
HLPT berakibat pada perubahan tutupan lahan hutan, stakeholders yang terlibat,
hak-kewajiban stakeholders dan insentif dalam pemulihan fungsi sumberdaya hutan
milik negara tersebut. Ambigu kewenangan, kekurangan informasi dan kurangnya
konsultasi teridentifikasi menyebabkan rendahnya kapasitas koordinasi antar
lembaga pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya bersama milik negara. Di sisi
lain, dalam pengelolaan sumberdaya bersama milik negara hanya dengan
menggunakan pendekatan mekanisme koordinasi vertikal yang mengandalkan
pengkoordinasian oleh pimpinan organisasi pemerintah. Akibatnya, terjadi kegagalan
koordinasi antar lembaga pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya bersama milik
pemerintah yang dibuktikan oleh tidak dapat diminimalisirnya pemborosan,
inkoherensi dan tidak tertanganinya isu-isu. Hal ini bermakna pengelolaan
sumberdaya bersama milik negara yang penggunanya tidak dapat dipisah-pisahkan
satu dengan lainnya diperlukan koordinasi pada level program berbasis spasial
lapangan dan tidak cukup hanya dengan menerapkan pendekatan mekanisme
koordinasi vertikal.