Karakteristik Beberapa Tanah Montmorillonitik Di Jawa Barat.
Abstract
Tanah-tanah montmorillonitik dengan kuantitas mineral klei montmorillonit
lebih dominan dari mineral lainnya tersebar luas di dataran rendah mulai dari
iklim subtropik sampai iklim dingin dengan intensitas pencucian rendah, dan
hanya sebagian kecil terdapat di zona tropik. Di Indonesia, khususnya di bagian
barat pulau Jawa dengan intensitas curah hujan tinggi, periode musim kering
singkat, dan potensi pencucian tinggi, juga berkembang tanah-tanah
montmorillonitik. Akan tetapi, informasi mengenai karakteristik tanah-tanah
tersebut masih terbatas. Disamping itu, jerapan kalium pada kelompok tanah ini
menjadi salah satu persoalan penting karena dikhawatirkan jerapan K+ justru
berdampak terhadap defisiensi K+ bagi tanaman. Penelitian ini memiliki tiga
tujuan utama, yaitu (1) mengkaji karakteristik morfopedogenetik dan distribusi
mineralogi klei tanah-tanah montmorillonitik, (2) mengamati dinamika jerapan
dan pertukaran K+ pada berbagai subfraksi klei dan fraksi tanah, (3) mengkaji
faktor ukuran fraksi, kelimpahan montmorillonit, dan ionic strength terhadap
jerapan dan pertukaran K+.
Sebanyak empat pedon diinvestigasi untuk mendukung penelitian ini, yaitu
di Lebak (MS1), Karawang (MS2), Cianjur (MS3), dan Cirebon (MS4). Kajian
morfopedogenetik berdasarkan pada pengamatan tanah di lapangan dan hasil
karakterisasi tanah dan klei di laboratorium. Klei difraksionasi dengan
menggunakan metode sentrifugasi untuk mendapatkan klei kasar (2-0.2 μm), klei
medium (0.2-0.08 μm), dan klei halus (<0.08 μm). Eksperimen jerapan dan
pertukaran K+ menggunakan metode batch equilibrium.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah-tanah montmorillonitik di Jawa
Barat memiliki sifat vertik (retak, slickenside, struktur baji) dan gilgai, dan dalam
kondisi akuik. Kadar klei yang tinggi (>50 %) dan kelimpahan montmorillonit
yang signifikan, serta vegetasi rumput, secara signifikan mempengaruhi
terbentuknya sifat vertik dan gilgai. Proses pedoturbation tidak signifikan karena
durasi kejadian retak berlangsung singkat sehingga hanya sedikit mulch dan bahan
organik masuk ke dalam profil. Akibatnya sifat vertik berkembang lemah dan
perbedaan tinggi antara mickroknoll dan mikrobasin pada topografi gilgai menjadi
tipis. Semua subfraksi klei didominasi oleh montmorillonit. Kelimpahan
montmorillonit secara signifikan semakin dominan dengan semakin halusnya
ukuran klei, dan sebaliknya dengan kaolinit dan kelompok tektosilikat (kuarsa dan
kristobalit), sedangkan kelompok oksi-hidroksi Fe (goetit dan hematit) dan
hidroksi-Al (gibbsit) sedikit meningkat dengan semakin halusnya ukuran klei.
Distribusi klei (klei total dan klei halus), nilai KTK, dan kelimpahan
montmorillonit dan jerapan K+ mengikuti urutan pedon MS3 > MS4 > MS2 >
MS1 dan dinamika masing-masing nilai tersebut semakin tinggi dengan semakin
halusnya ukuran klei. Rata-rata 63.51 % dari klei total (<2 μm) merupakan klei
halus dengan nilai KTK 63.05 cmolc.kg-1, kadar klei medium 12.54 % dengan
nilai KTK 49.54 cmolc.kg-1, dan kadar klei kasar 23.95 % dengan nilai KTK 40.46
cmolc.kg-1.
Dinamika jerapan K+ memperlihatkan bahwa sampai pada konsentrasi
maksimum 440 mg.L-1 K+, fraksi tanah, klei total dan semua subfraksi klei masih
memiliki kapasitas menjerap dengan konsentrasi K+ yang lebih tinggi. Jerapan K+
meningkat dengan semakin halusnya ukuran klei, dan jerapan K+ juga meningkat
pada ionic strength yang lebih tinggi dari 0.01 ke 0.1 mol.L-1 NaCl. Peningkatan
jerapan K+ akibat faktor tersebut berdampak pada berkurangnya
pertukaran/pelepasan K+.
Jerapan K+ meningkat sebesar 14.963 mg.g-1 di setiap penurunan satu kelas
ukuran fraksi klei dengan ionic strength 0.1 mol.L-1 NaCl dan 9.473 mg.g-1
dengan ionic strength 0.01 mol.L-1 NaCl. Peningkatan jerapan K+ dengan semakin
halusnya ukuran fraksi klei dipengaruhi oleh meningkatnya kelimpahan
montmorillonit pada fraksi klei yang lebih halus, sedangkan K+ yang tersisa pada
komplek jerapan setelah proses pertukaran merupakan K+ yang terjerap kuat di
bagian interlayer mineral karena K+ memiliki dimensi besar dan radius hidrasi
rendah yang sesuai dengan jarak interlayer montmorillonit. Ionic strength Na+
yang tinggi dapat meningkatkan jerapan K+ karena (1) kation-kation saling
mendekat sehingga double layer menjadi tipis; dengan demikian, K+ yang
berdimensi besar dan radius hidrasi rendah menjadi banyak terjerap, (2) Na+ akan
menekan lebih kuat K+ ke permukaan klei yang bermuatan negatif sehingga K+
terjerap lebih banyak, dan (3) Na+ dapat mereduksi penolakan ikatan elektrostatik
yang telah terjadi antara K+ dengan permukaan mineral klei sehingga K+ yang
terjerap dapat dipertahankan pada komplek jerapan.
Penelitian ini menemukan bahwa pembentukan sifat vertik dan topografi
gilgai yang berkembang lemah pada tanah-tanah montmorillonitik di wilayah
tropik Indonesia, khususnya Jawa Barat, dipengaruhi oleh proses pedoturbation
yang tidak signifikan. Jerapan K+ yang tinggi dan kuat pada tanah-tanah
montmorillonitik dapat menyebabkan berkurangnya ketersediaan K+ untuk
tanaman.
Collections
- MT - Agriculture [3682]