Strategi Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Pada Rumah Tangga Petani Di Dataran Dieng.
View/ Open
Date
2016Author
Turasih
Kolopaking, Lala M.
Wahyuni, Ekawati Sri
Metadata
Show full item recordAbstract
Pertanian sebagai sumber nafkah utama di Dataran Tinggi Dieng, masih menjadi primadona dalam berbagai musim walaupun dengan pendapatan yang fluktuatif. Turasih dan Adiwibowo (2012) menyebutkan bahwa usaha tani di Dataran Tinggi Dieng memiliki resiko yang harus siap ditanggung oleh petani termasuk resiko karena faktor cuaca yang semakin tidak menentu. Dalam penelitian ini aktivitas petani yang berhadapan dengan kondisi alam sehingga membuat petani berhadapan dengan resiko pertanian dipahami secara spesifik sebagai bagian dari bersinggungannya aktivitas manusia dengan perubahan iklim. Resiko yang dihadapi terutama berhadapan dengan kondisi keragaman iklim yang semakin sulit diprediksi dan berpengaruh dengan sistem penghidupan petani.
Terdapat dua pertanyaan dalam penelitian ini yaitu: 1) Bagaimana petani dataran tinggi melakukan strategi adaptasi untuk menghadapi perubahan iklim?; 2) Bagaimana strategi adaptasi terhadap perubahan iklim petani menjadi strategi penghidupan yang berkelanjutan? Berdasarkan pertanyaan penelitian tersebut, tujuan penelitian ini meliputi: 1) Menjelaskan dan memahami bagaimana petani dataran tinggi melakukan strategi adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim; 2) Menjelaskan dan memahami bagaimana strategi adaptasi perubahan iklim menjadi strategi penghidupan yang berkelanjutan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dikuatkan dengan data kuantitatif. Penelitian dilakukan di wilayah Dataran Tinggi Dieng, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara pada bulan November-Desember 2014.
Berdasarkan temuan dari penelitian ini diketahui bahwa telah terjadi perubahan iklim di Dataran Tinggi Dieng. Selama kurun waktu tahun 1990 hingga 2000, jumlah hari hujan di Dataran Tinggi Dieng meningkat di bulan basah dan berkurang pada saat bulan kering serta diikuti jumlah curah hujan yang semakin menurun. Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan resiko kejadian longsor di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Hal tersebut menunjukkan indikasi terjadinya perubahan iklim mikro di tingkat wilayah. Hal yang paling dapat ditandai adalah kejadian iklim ekstrem yang lebih sering terjadi sejak tahun 2007 yaitu hujan yang lebih deras dan musim kemarau yang lebih kering. Kondisi tersebut diperburuk dengan minimnya luas tutupan lahan yang tersisa di wilayah Dataran Tinggi Dieng sebagai area tangkapan air.
Perubahan iklim di Dataran Tinggi Dieng dipahami oleh masyarakat berdasarkan fenomena lokal yang terjadi. Diakui bahwa situasi saat ini di Dataran Tinggi Dieng relatif lebih hangat dibanding ketika tahun 1990-an. Petani memaknai perubahan iklim sebagai sebuah kondisi iklim yang sangat mengancam aktivitas pertanian. Petani mengidentifikasi lima fenomena iklim utama yang terjadi dan berkait dengan pertanian mereka yaitu: (1)
curah hujan yang semakin ekstrem pada musimnya, (2) situasi kekeringan yang melanda pertanian, (3) musim angin ribut, (4) kondisi suhu ekstrem pada Bulan Juli atau Agustus ketika muncul embun upas atau titik salju yang menjadikan tanaman muda menjadi layu dan mati, serta yang paling meresahkan adalah (5) kondisi iklim yang semakin sukar diprediksi.
Kerentanan petani terhadap perubahan iklim dalam penelitian ini terkait erat dengan kondisi penguasaan lahan di tingkat rumah tangga. Petani terkategori menjadi petani yang tidak menguasai lahan, petani dengan penguasaan lahan antara 0,1 ha ≤ x < 0,3 ha, petani dengan penguasaan lahan antara 0,3 ha ≤ x < 0,5 ha, petani dengan penguasaan lahan antara 0,5 ha ≤ x <1 ha, dan petani dengan penguasaan lahan ≥ 1 ha. Semakin luas lahan yang dikuasai oleh rumah tangga petani maka nilai akses terhadap modal relatif lebih tinggi. Petani dengan penguasaan lahan ≥ 1 ha memiliki akses yang lebih leluasa terhadap modal manusia, modal sosial, modal fisik, modal finansial, dan modal sumberdaya alam. Sebaliknya bagi yang tidak menguasai lahan, modal yang dapat diandalkan adalah modal sosial dan modal manusia. Kekhawatiran atas kerentanan terhadap perubahan iklim lebih tinggi bagi rumah tangga petani yang tidak memiliki lahan dan juga petani dengan lahan sempit. Kerentanan terhadap perubahan iklim lebih tinggi pada rumah tangga dengan penguasaan lahan yang semakin sempit (dibawah 0,3 ha hingga non-penguasa lahan).
Upaya adaptasi di tingkat rumah tangga dilakukan di berbagai aspek terutama terkait dengan kebutuhan dasar yakni berhubungan dengan mata pencaharian, pangan, dan kesehatan. Adaptasi mata pencaharian lebih mengarah pada upaya adaptasi yang dilakukan untuk kegiatan pertanian dan pengalihannya terhadap kegiatan lain apabila pertanian tidak dapat lagi diandalkan. Aspek pangan terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan pangan yang sifatnya fluktuatif terutama pada rumah tangga petani dengan aset rendah termasuk buruh tani. Pada aspek kesehatan, adaptasi berhubungan dengan kondisi sanitasi baik di lingkungan rumah tangga maupun komunitas. Ciri penting adaptasi terhadap perubahan iklim yang dilakukan oleh petani di Dataran Tinggi Dieng adalah upaya adaptasi yang dilakukan oleh petani di tingkat rumah tangga. Hal ini terjadi karena jenis sumberdaya alam yang ada (lahan pertanian) bersifat sumber daya dengan status penguasaan individu atau rumah tangga. Strategi adaptasi perubahan iklim pada rumah tangga petani di Dataran Tinggi Dieng dapat disebut sebagai strategi adaptasi integratif dimana adaptasi tidak hanya melibatkan satu entitas rumah tangga saja tetapi juga melibatkan entitas sosial lain mulai dari tingkat komunitas, desa, regional, nasional, dan internasional terutama karena posisi kawasan Dataran Tinggi Dieng sebagai kawasan sumber daya alam yang istimewa yaitu sebagai catchment area, sumber energi, cagar budaya, dan pemukiman penduduk.
Collections
- MT - Human Ecology [2236]