Pemeliharaan Larva Tuna Sirip Kuning Thunnus Albacares Dengan Posisi Titik Aerasi Berbeda Dan Studi Awal Perkembangan Morfologi, Organ Dalam Serta Tingkah Laku Larva
Abstract
Ikan tuna sirip kuning merupakan salah satu komoditas perikanan yang
memiliki permintaan dan nilai ekonomis yang tinggi. Indonesia menjadi negara
penghasil tuna terbesar kedua di dunia dengan memasok lebih dari 16% total
produksi tuna. Pembenihan tuna sirip kuning telah berhasil dilakukan tetapi
teknologi budidaya untuk pemeliharaan larva membutuhkan perbaikan dan
kemajuan guna peningkatan kelangsungan hidup larva. Masalah utama adalah
tingginya mortalitas larva dengan kelangsungan hidup kurang dari 0,05% pada 10
hari setelah penetasan hingga mencapai juvenil.
Pola kematian larva hingga hari ke 10 setelah menetas (D10) yaitu surfacing
death (larva terjebak oleh tegangan permukaan) dan sinking death (larva dan
dinding dasar bak berbenturan). Hal ini diduga akibat faktor pergerakan atau
perputaran air. Pola kematian sinking death pada larva dapat diminimalkan
dengan mengurangi dan mencegah kecepatan tenggelam larva. Pengurangan dan
pencegahan kecepatan tenggelam larva dapat dilakukan dengan beberapa cara,
antara lain dengan mengatur posisi titik aerasi, peningkatan sirkulasi dan medan
arus yang terbentuk dalam bak pemeliharaan. Distribusi aerasi, bentuk sirkulasi
dan arus yang ideal pada bak dapat mencegah dan mengurangi terjadinya sinking
death.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektifitas pemeliharaan larva
tuna sirip kuning dengan posisi titik aerasi yang berbeda terhadap derajat
kelangsungan hidup larva, apakah penentuan titik aerasi yang berbeda berdampak
pada perkembangan embriologi, kemampuan penyerapan kuning telur dan jumlah
pakan yang dimakan. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi
perkembangan morfologi, organ dalam dan tingkah laku larva ikan tuna sirip
kuning. Hasil penelitian diharapkan dapat diterapkan dalam kegiatan budidaya
dan dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga Oktober 2015, bertempat
di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut (BBPPBL) Gondol,
Bali. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL)
dengan tiga perlakuan posisi titik aerasi yang berbeda dan tiga ulangan. Perlakuan
pertama sebagai kontrol yaitu titik aerasi diletakkan pada keempat sisi bak dan
dengan posisi menggantung yaitu 30 cm dari dasar bak pemeliharaan (A).
Perlakuan kedua yaitu empat titik aerasi diletakkan pada dasar bak dengan posisi
berada di tengah bak (B). Perlakuan ketiga merupakan kombinasi perlakuan
pertama dan kedua, yaitu dua titik aerasi diletakkan di dasar bak dan dua titik
aerasi lainnya menggantung (C).
Larva tuna sirip kuning yang digunakan adalah yang baru menetas atau D0,
larva dipelihara dalam bak fiber berukuran 1 m3, kedalaman 1 m, kapasitas
volume air 700 liter.bak-1, dengan padat tebar 10.000 ekor larva.bak-1,
pemeliharaan dilakukan selama 13 hari setelah menetas. Pakan yang diberikan
berupa pakan alami Nannochloropsis sp., rotifer dan artemia. Pergantian air
dilakukan saat larva berumur 8 hari yaitu sebanyak 5% dan saat larva berumur 12
hari 10%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan B dan C, yaitu posisi titik
aerasi di dasar dan kombinasi memberikan nilai terbaik terhadap kelangsungan
hidup larva tuna sirip kuning (0,31±0,04% dan 0,30±0,06%). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap laju penyerapan
kuning telur, bukaan mulut, laju pertumbuhan panjang harian, koefisien
keragaman dan jumlah rata–rata isi pakan dalam lambung. Perlakuan A, B dan C
memberikan nilai laju penyerapan kuning telur sebesar 0,70%, 0,51% dan 0,57 %
hari-1, laju pertumbuhan panjang sebesar 6,00%, 5,69% dan 5,62% dengan
koefisien keragaman 4,66%, 4,34% dan 4,79%. Pada umur tiga hari setelah
menetas, mulut mulai terbuka dengan ukuran bukaan mulut 0,19–0,23 mm pada
bukaan 90o dan 0,10–0,12 mm pada bukaan 45o. Ukuran bukaan mulut larva pada
hari ke 13 setelah menetas adalah 0,59–0,71 mm pada bukaan 90o dan 0,32–0,39
mm pada bukaan 45o. Jumlah rata–rata isi lambung larva menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan jumlah rata–rata isi lambung larva pada saat pertama kali
diberi pakan dan pada akhir pemeliharan. Jumlah rotifer yang dikonsumsi larva
tuna sirip kuning umur 5 dan 10 hari yaitu 10,80 dan 28,70 ind.larva-1. Kualitas air
selama penelitian masih tergolong dalam kisaran optimum kualitas air
pemeliharaan larva ikan tuna, yaitu suhu 29–30,7 oC, pH 8,13–8,3, NH3 0,0028–
0,01 mg.L-1, DO 6,86–7,02, kecepatan arus 3,5 cm.s-1 dan kecepatan aerasi 500
mL.min-1. Pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa larva tuna sirip kuning
menyerap habis kuning telur, mulai mengambil makanan dari luar tubuh dan
retina mata sudah terlihat jelas pada umur tiga hari. Umur tiga hari bakal calon
gelembung renang pada larva sudah mulai terlihat dan tampak jelas setelah larva
berumur lima hari setelah menetas.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan perlakuan terbaik pada
penelitian adalah pemeliharaan larva tuna sirip kuning dengan posisi titik aerasi di
dasar (B) dan kombinasi (C). Pengamatan laju penyerapan kuning telur, laju
pertumbuhan panjang harian, koefisien keragaman panjang, bukaan mulut larva
dan sisa pakan dalam bak menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan.
Terdapat perbedaan yang nyata terhadap isi pakan dalam lambung pada saat
pertama kali diberikan pakan (hari ke tiga) dan pada akhir pemeliharaan (hari ke
13).
Collections
- MT - Fisheries [3016]