, Kesesuaian Dan Parasitisme Anagyrus Lopezi (De Santis) (Hymenoptera: Encyrtidae) Pada Berbagai Instar Kutu Putih Singkong, Phenacoccus Manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae).
Abstract
Singkong (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu komoditas yang sangat populer di Indonesia, karena dapat dijadikan sebagai bahan pangan, pakan, dan bahan baku industri. Indonesia merupakan negara penghasil singkong terbesar keempat di dunia, dengan produksi mencapai 24.2 juta ton pada tahun 2012. Pada beberapa tahun belakangan ini, salah satu kendala dalam budidaya singkong adalah adanya serangan hama baru yaitu kutu putih Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae). Hama yang berasal dari Amerika Selatan ini masuk ke Afrika tahun 1973, kemudian Thailand 2008, dan Indonesia tahun 2010. Tanaman yang terserang berat memperlihatkan gejala bunchy top, distorsi batang, dan daun meranggas. Serangan berat dapat menyebabkan kehilangan hasil 30-50%. Untuk mengendalikan hama ini, pada bulan Maret 2014 Indonesia telah mendatangkan musuh alaminya yaitu parasitoid Anagyrus lopezi (De Santis) (Hymenoptera: Encyrtidae) dari Thailand. Penelitian bertujuan menentukan tingkat: (1) preferensi peletakan telur parasitoid pada berbagai instar kutu putih; (2) kesesuaian parasitoid pada berbagai instar kutu putih; dan (3) parasitisme, superparasitisme dan enkapsulasi parasitoid pada berbagai instar kutu putih. Penelitian dilakukan dengan uji tanpa pilihan dan uji pilihan berpasangan. Pengujian dilakukan dengan cara memasukkan instar kutu putih yang sesuai bersama potongan daun singkong ke dalam kurungan mika berbentuk silinder (t=7 cm, d=10 cm). Ke dalam kurungan kemudian dimasukkan imago parasitoid dan dibiarkan selama 24 jam. Pengaruh instar inang terhadap berbagai parameter biologi dan kebugaran parasitoid diperiksa dengan analisis ragam dan uji t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada uji tanpa pilihan, tingkat parasitisasi pada nimfa-2, nimfa-3, dan imago berkisar 7-8 ekor, berbeda sangat nyata dengan pada nimfa-1 (3.25 ekor). Pada inang nimfa-1, rataan banyaknya telur parasitoid yang diletakkan yaitu 3.70 butir, jauh lebih sedikit dibandingkan pada instar lainnya yang berkisar 9-10 butir. Pada uji pilihan berpasangan, parasitoid A. lopezi lebih memilih nimfa-2, -3, dan imago dibandingkan nimfa-1. Rataan banyaknya inang yang terparasit yaitu 0.90 hingga 2.30 ekor pada nimfa-1, jauh lebih rendah dibandingkan pada nimfa-2 (7.55 ekor), nimfa-3 (8.05 ekor), dan imago (7.40 ekor). Begitu pula banyaknya telur parasitoid yang diletakkan per inang pada nimfa-1 (0.75-0.99 butir) lebih rendah dibandingkan pada instar lainnya (1.20-1.39 butir). Terdapat perbedaan nyata antara rataan banyaknya inang terparasit pada nimfa-2 (4.85 ekor) dengan nimfa-3 (7.45 ekor), serta banyaknya telur parasitoid yang diletakkan per inang yaitu 1.05 butir pada nimfa-2 dan 1.21 butir pada nimfa-3. Banyaknya inang yang terparasit dan banyaknya telur parasitoid yang diletakkan tidak berbeda pada pasangan perlakuan inang imago dengan nimfa-2 dan nimfa-3.
Perbedaan instar inang berpengaruh sangat nyata terhadap masa perkembangan pradewasa parasitoid. Masa perkembangan pradewasa parasitoid
pada inang nimfa-1 yaitu 24.5 hari untuk jantan dan 32.0 hari untuk betina. Masa perkembangan pradewasa parasitoid yang paling singkat terjadi pada inang imago P. manihoti, yaitu berkisar 15-16 hari. Perbedaan instar inang juga berpengaruh nyata terhadap rataan banyaknya keturunan parasitoid yang muncul dan terhadap nisbah kelamin. Pada inang nimfa-1, banyaknya imago parasitoid yang muncul 4.00 ekor, sedangkan pada instar lainnya berkisar 11-13 ekor. Nisbah kelamin (proporsi jantan terhadap total keturunan) parasitoid yang muncul dari inang nimfa-1 lebih banyak jantan yaitu 0.87, sedangkan yang muncul dari inang imago lebih banyak betina yaitu 0.28. Tingkat parasitisme A. lopezi pada imago, nimfa-2, dan nimfa-3 kutu putih berturut-turut 82, 72, dan 71%, lebih tinggi dibandingkan pada nimfa-1 (33%). Tingkat superparasitisme juga lebih tinggi pada imago (36%) dan nimfa-2 (31%) dibandingkan pada nimfa-3 (27%), dan paling rendah terjadi pada nimfa-1 (18%). Begitu pula rataan banyaknya telur yang diletakkan per inang terparasit pada nimfa-3 dan imago sekitar 1.6 butir lebih tinggi dibandingkan pada nimfa-1 (1.1 butir).Superparasitisme lebih sering dijumpai pada kutu putih yang berukuran besar (imago, nimfa-3, nimfa-2) dibandingkan pada inang yang berukuran kecil (nimfa-1). Dari 55 ekor kutu putih nimfa-1 yang terparasit, sebanyak 90.9% berisi 1 butir, dan sisanya berisi 2 butir (7.3%) dan 3 butir (1.8%) telur parasitoid. Dari total 446 ekor nimfa-2, -3, dan imago yang terparasit, proporsi yang mengandung satu butir telur parasitoid berkisar 60-70%, sisanya berisi 2 butir (17-25%), 3 butir (5-12%), dan ≥ 4 butir (1-4%). Tingkat enkapsulasi agregat paling tinggi terdapat pada imago (8.40%), berbeda sangat nyata dengan pada nimfa-1 (1.10%), namun tidak berbeda nyata dengan nimfa-2 (3.10%) dan nimfa-3 (5.80%). Dari total 257 butir telur parasitoid yang diletakkan di dalam tubuh imago kutu putih, sebanyak 25 butir mengalami enkapsulasi. Sementara dari 212, 199, dan 74 butir telur di dalam tubuh nimfa-3, -2, dan -1 yang mengalami enkapsulasi berturut-turut 13, 8, dan 1 butir. Tingkat enkapsulasi efektif tidak berbeda nyata antara berbagai instar inang, dengan nilai berkisar antara 1-2%. Dari 163 ekor imago kutu putih yang terparasit, hanya 3 ekor yang terenkapsulasi secara efektif. Begitu pula dari 141 ekor nimfa-3, 143 ekor nimfa-2, dan 65 ekor nimfa-1 yang terparasit, masing-masing tidak lebih dari 2 ekor yang terenkapsulasi secara efektif.
Collections
- MT - Agriculture [3683]