Analisis Aliran Permukaan Dan Erosi Das Bila, Sulawesi Selatan.
View/ Open
Date
2015Author
Staddal, Ikrima
Haridjaja, Oteng
Hidayat, Yayat
Metadata
Show full item recordAbstract
Masalah utama kerusakan sumber daya lahan di daerah aliran sungai disebabkan oleh erosi. Erosi menyebabkan kerusakan tanah yang meliputi sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Penggunaan lahan yang tidak menerapkan kaidahkaidah konservasi membuat proses erosi semakin cepat terjadi dan diikuti hasil sedimentasi yang ikut meningkat. Erosi yang besar pada lahan pertanaian di suatu DAS akan terbawa oleh aliran permukaan ke sungai dan akan menimbulkan masalah yang sangat merugikan. Dalam sistem analisis seperti DAS yang sangat rumit diperlukan suatu alat bantu berupa model yang dapat meyederhanakan sistem dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang terkait dalam masalah tersebut. Model yang digunakan adalah model AnnAGNPS dan model SWAT. Model AnnAGNPS (Annualized Agricultural Non Point Source Pollution) adalah model kontinyu yang dapat memprediksi erosi lahan dan erosi skala DAS. Model AnnAGNPS biasanya digunakan untuk membandingkan dampak dari berbagai penggunaan lahan. SWAT (Soil and Water Assessment Tool) merupakan model kejadian kontinyu skala DAS yang beroperasi secara harian dan dirancang untuk memprediksi dampak pengelolaan terhadap air, sedimen, dan bahan kimia dari pertanian. Tujuan penelitian yaitu (1) memprediksi aliran permukaan dan erosi DAS Bila, dan (2) menentukan pengelolaan lahan optimal untuk mengurangi laju erosi DAS Bila dan jumlah sedimen yang masuk ke Danau Tempe. Metode penelitian yang dilakukan yaitu dengan mengumpulkan data primer dan sekunder, mengolah data input, penggunaan model, kalibrasi, validasi dan aplikasi model untuk menentukan pengelolaan lahan optimal. Deliniasi batas DAS menggunakan model AnnAGNPS tidak terbentuk secara sempurna dikarenakan (1) Model AnnAGNPS kurang akurat dalam memprediksi jaringan sungai pada topografi yang relatif datar (2) Pengembangan interface model AnnAGNPS dengan ArcView belum dalam bentuk extention melainkan template, sehingga integrasi data spasial masih lemah. Deliniasi batas DAS menggunakan model SWAT tidak menggambarkan batasan DAS dilapang, sehingga model AnnAGNPS digantikan dengan model SWAT. Pengolahan data DEM menggunakan model SWAT menghasilkan 23 sub DAS dengan jumlah HRU 378. Kalibrasi parameter input model yang digunakan di DAS Bila adalah kurva aliran permukaan (CN_2), faktor evaporasi tanah (ESCO), faktor tanaman (EPCO), faktor alpha aliran dasar (Alfa_BF), lama air bawah tanah (GW_Delay), ketinggian minimum aliran dasar (GWQMN), fraksi perkolasi perairan dalam (RCHRG_DP), nilai Manning pada saluran utama (CH_N2), nilai hantaran hidrolik pada saluran utama (CH_K2) dan koefisien lag aliran permukaan (SURLAG). Hasil kalibrasi dari 10 parameter yang diinput, diperoleh nilai koefisien deterministik sebesar 0.75 (good) dan NSE sebesar 0.70 (satisfactory). Hasil validasi menunjukkan bahwa perbandingan debit observasi dan debit simulasi menghasilkan R2 sebesar 0.86 (very good) dan NSE sebesar 0.62 (satisfactory). Hal ini menunjukkan bahwa model SWAT dapat digunakan untuk memprediksi aliran permukaan dan erosi di DAS Bila. Hasil analisis aliran permukaan dan erosi DAS Bila menunjukkan bahwa pemukiman, pertanian lahan kering, sawah sebagai faktor utama tingginya aliran permukaan, sedangkan hutan sekunder dan pertanian lahan kering menjadi faktor utama besarnya erosi. Kontribusi aliran permukaan dari pemukiman pada sub DAS 15 sebesar 535 atau sebesar 55% dari total aliran permukaan, pertanian lahan kering pada sub DAS 7 sebesar 328 mm atau sebesar 48% dari total aliran permukaan dan sawah pada sub DAS 9 sebesar 489 mm atau 47%. Kontribusi erosi pertanian lahan kering pada sub DAS 2 sebesar 456 ton/ha/tahun dengan erosi yang dapat ditoleransikan hanya 22.9 ton/ha/tahun, sedangkan hutan sekunder pada sub DAS 6 menghasilkan erosi sebesar 247 ton/ha/tahun dengan erosi yang dapat ditoleransikan hanya 24.2 ton/ha/tahun. Skenario pengelolaan lahan optimal berupa pengadaan reboisasi pada lahan kritis, penerapan agroforestri pada lahan pertanian kering dengan kemiringan >40%, penerapan teras bangku dan agroforesti pada lahan pertanian kering dengan kemiringan 0-40%, kawasan hutan sekunder dijadikan hutan lindung dan penerapan teras bangku pada lahan sawah, dapat mengurangi aliran permukaan sebesar 68% dan erosi 70% .
Collections
- MT - Agriculture [3772]