Perkembangan Kemandirian Pelaku Brain Gain Sebagai Alternatif Inovasi Regenerasi Pelaku Agribisnis Di Dataran Tinggi Jawa Barat.
View/ Open
Date
2015Author
Setiawan, Iwan
Sumardjo
Satria, Arif
Tjitropranoto, Prabowo
Metadata
Show full item recordAbstract
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk merancang bangun model pendekatan regenerasi pelaku-pelaku di sektor pertanian melalui pendekatan brain gain berdasarkan kasus perkembangan kemandirian pelaku muda agribisnis di dataran tinggi Jawa Barat. Sedangkan tujuan khusnya adalah: (1) menganalisis secara deskriptif ekosistem, sosiosistem dan geosistem agribisnis dataran tinggi; (2) memetakan proses brain gain yang dilakukan oleh pelaku muda agribisnis, termasuk motivasi, orientasi dan proses adaptasinya; (2) menganalisis secara deskriptif karakteristik sosial ekonomi pelaku muda agribisnis, faktor-faktor yang menjadi penarik dan pendorong pelaku untuk kembali ke pedesaan dan beragribisnis di pedesaan; (3) menganalisis faktor-faktor dominan yang menarik dan mendorong pelaku muda kembali ke dan beragribisnis di pedesaan; (4) menganalisis kesiapan pelaku muda dalam beragribisnis dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, budaya, ekonomi, fisik-teknik dan kelembagaan pertanian; (5) menganalisis tingkat kemandirian pelaku muda agribisnis dalam menjalankan perannya sebagai generasi pertanian yang modern, berkualitas dan berdaya saing; (6) merumuskan strategi pengembangan kemandirian pelaku muda agribisnis (brain gain actors); dan (7) mengembangkan model-model brain gain yang efektif, efisien dan efikatif bagi regenerasi pelaku di sektor pertanian dan pedesaan. Penelitian berparadigma positivistik ini didesain secara terpadu (mixed method) dengan menempatkan desain kuantitatif secara dominant dan desain kualitatif secara less dominant. Penelitian dilaksanakan di dataran tinggi Provinsi Jawa Barat, dengan lokasi sampel Kabupaten Cianjur (Priangan Barat), Kabupaten Bandung (Priangan Tengah) dan Kabupaten Garut (PrianganTimur). Penelitian, pengolahan data, penulisan hingga pelaporan dilaksanakan dari bulan Juli 2014 sampai September 2015. Pelaku agribisnis yang berusia muda (15-40 tahun), berpendidikan relatif tinggi dan berkeahlian, yang berjumlah 7.728 orang (dari tiga lokasi terpilih) ditetapkan sebagai populasi penelitian. Dari populasi tersebut kemudian diambil sampel secara acak sebanyak 280 orang. Data primer dikumpulkan melalui teknik wawancara dengan kuesioner yang teruji, FGD dengan panduan, indepth interview dan obersvasi. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait melalui studi literatur (desk study). Data-data yang terkumpul kemudian ditabulasi dan dianalisis secara statistikal (deskriptif, korelasional, uji beda dan structure Equotion Model/SEM dengan alat bantu Lisrel 8.8) dan emik-etik (deskriptif, komparatif, interpretatif dan soft system methodology/SSM dengan pendekatan CATWOE). Hasil penelitian menunjukkan: Pertama, separuh pelaku muda agribisnis (PMA) berpendidikan sarjana, berpendidikan non formal, berpengalaman kerja bidang non pertanian dan usaha bidang pertanian (on-farm, off-farm). PMA dikategorikan menjadi pelaku primer, pelaku sekunder dan pelaku tersier. Perantauan PMA dominan di kota-kota besar dalam provinsi, lainnya menyebar hingga ke luar negeri. Proses adaptasi PMA terbagi dalam tiga tipe perilaku, lamanya berkisar antara 1-3 tahun dan melalui empat tahapan evolusi. Orientasi pelaku primer cenderung pada better farming, pelaku sekunder better business dan pelaku tersier better environment. Kedua, karakteristik PMA sudah tergolong tinggi (41,76%), namun PMA yang benar-benar mapan baru sekitar 17,59 persen. Pribadinya unggul, tetapi lemah dalam karakteristik usaha dan kelembagaan. Pengalaman kerja dan usahanya tinggi, tetapi usaha agribisnisnya bias usahatani dan komoditas sayuran. PMA lemah dalam kemampuan praktis agribisnis, kewirausahaan, kepemimpinan dan keinovatifan. Ketiga, PMA berani kembali dan beragribisnis di pedesaan dominan terjadi karena faktor penarik, terutama keluarga, komoditas, perkembangan pasar, inovasi agribisnis dan potensi lingkungan. Keempat, kesiapan beragribisnis PMA tergolong tinggi, terutama dalam aspek sosial, lingkungan dan pemasaran. Mental merupakan inti dari seluruh kesiapan. PMA masih lemah dalam kesiapan personal, manajemen dan jejaring. Kelima, secara umum, hanya 40,28 persen PMA yang tingkat kemandiriannya tergolong tinggi. PMA sudah modern dalam beragribisnis, namun sebagian besar (62,09%) belum berkualitas dan belum berdaya saing. Keenam, terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik pelaku muda agribisnis, faktor penarik dan faktor pendorong dengan kesiapan pelaku muda untuk beragribisnis, serta antara kesiapan dengan tingkat kemandiriannya. Faktor penarik dan karakteristik personal lebih berkorelasi dengan kesiapan pelaku muda dalam beragribisnis, sedangkan faktor pendorong lebih berkorelasi dengan tingkat kemandiriannya. Ketujuh, berdasarkan hasil analisis SEM dan SSM diperoleh sembilan rumusan strategi pengembangan PMA, diantaranya kolaborasikan brain gain swadaya dengan brain gain formal, terapkan kebijakan brain gain internal maupun internasional, tumbuhkan komunitas kreatif pedesaan, ciptakan creative ecosystem, kembangkan pendekatan penyuluhan plural (pluralistic method) dan multidisiplin, kembangkan agribisnis ekologis dan terapkan reinovasi partisipatif. Kedelapan, terdapat lima model alternatif yang dapat diterapan dalam pengembangan kemandirian PMA, yakni model struktural, model matematis, model evolutif, model dinamis dan model multi helix. Semua model adaptif diterapkan dalam komunitas kreatif pedesaan dan akomodatif terhadap metode pluralistik. Berdasarkan hasil penelitian, maka direkomendasikan inovasi wirausaha, kualitas, kepemimpinan, proses dan lingkungan kreatif (creative ecosystem) di pedesaan, baik melalui integrasi ekosistem, sosiosistem dan geosistem maupun kolaborasi institusi. Kebijakan pembangunan pertanian, strategi agribisnis dan penyuluhan/pemberdayaan harus lebih ditujukan kepada penciptaan usaha-usaha dan pekerjaan alternatif yang adaptif dan inovatif. Penguatan kelembagaan PMA, dapat dilakukan melalui kebijakan brain gain; magang agribisnis, sekolah lapang wirausaha pedesaan (SLWP) dan penguatan kepemimpinan pemuda pedesaan (rural community leader). Metode pendidikan formal dan non fomal harus bersifat pluralistic dan multidisiplin, seperti SLA (Sekolah Lapang Agribisnis), PLRA (Participatory Learning and Rural Appraisal), MRA (Mitigation and Research Action), PGIS (Participatory Geografic Information System), CCES (Cyber and Collaborative Extension System) dan ECLES (Entrepreneur and Community Leader Extension System).
Collections
- DT - Human Ecology [537]