Evaluasi Perilaku Orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii, Tiedmann 1808) Jantan Di Pusat Rehabilitasi dan Habitatnya.
View/ Open
Date
2015Author
Sujoko, Heri
Purwantara, Bambang
Supriatna, Iman
Agil, Muhammad
Metadata
Show full item recordAbstract
Laju penurunan populasi orangutan Kalimantan di habitat alam berada pada taraf yang mengkawatirkan. Program konservasi orangutan di Kalimantan Tengah untuk menyelamatkan orangutan di habitat aslinya, maka dilaksanakan Program Konservasi Kawasan Mawas, Tuanan dan untuk menyelamatkan orangutan hasil tangkapan atau sitaan dibangun Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Tengah Nyaru Menteng. Untuk keberlangsungan konservasi orangutan maka program di kawasan Mawas Tuanan dan program reintroduksi orangutan Nyaru Menteng perlu terus pertahankan dan dikembangkan. Konservasi orangutan yang efektif sangat memerlukan data dan informasi tentang ukuran populasi orangutan di alam dan perilakunya. Tujuan penelitian ini adalah: (1) melakukan pendugaan jumlah dan kepadatan populasi, dan identifikasi demografi orangutan di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan (SPOT); (2) mengetahui pola interaksi sosial dan strategi reproduksi jantan; (3) menentukan tingkat agresifitas orangutan jantan berdasarkan asal-usul hewan selama proses rehabilitasi di kandang; dan (4) melakukan identifikasi perilaku abnormal orangutan jantan selama proses rehabilitasi. Berdasarkan hasil sensus di wilayah SPOT seluas 11.84 km² selama 15 bulan menggunakan metode perjumpaan langsung di 55 transek ditemukan orangutan sebanyak 49 individu, terdiri dari: 12 bayi, 2 anak-anak, 10 betina dewasa, 15 jantan berpipi (jantan flanged), dan 10 jantan tidak berpipi (jantan unflanged); dan kepadatannya 4.13 atau berkisar 4-5 individu/km². Berdasarkan frekwensi kehadiran dan lama individu orangutan berada di lokasi sensus, maka terdapat tiga status demografi jantan dewasa, yaitu: jantan penetap sebanyak 32%, jantan penglaju sebanyak 44% dan jantan pengembara sebanyak 24%. Kondisi hutan sekunder yang telah terdegradasi di wilayah SPOT berdampak negatif terhadap kehidupan orangutan jantan, yakni: terbatasnya sumber makanan yang berkualitas, seringnya orangutan berada di tanah untuk mencari sumber pakan baru dan sedikitnya jumlah pohon berukuran besar yang mampu menopang tubuhnya. Berkurangnya luas habitat berdampak terhadap aktivitas orangutan seperti berkurangnya area jelajah yang mengakibatkan peluang perjumpaan antar individu semakin besar, padahal orangutan memiliki sistem sosial soliter. Kondisi lingkungan seperti itu, mengakibatkan orangutan hidup dalam cekaman yang lebih berat dibandingkan hidup di hutan primer. Pengamatan menunjukkan bahwa, jantan dewasa tidak bersikap toleran terhadap jantan dewasa lainnya. Setiap perjumpaan antara dua jantan dewasa diakhiri dengan perkelahian. Strategi reproduksi jantan flanged adalah bersuara panjang (long call) dan menunggu kedatangan betina dewasa, sedangkan jantan unflanged aktif mencari betina tanpa bersuara. Jantan flanged dominan melakukan perkawinan dengan memilih pasangan yang cocok, sedangkan jantan unflanged dengan cara paksa dan kurang kooperatif. Di satu sisi, betina dewasa lebih 87 memilih mendampingi jantan flanged dominan dari pada jantan unflanged ataupun jantan flanged subordinat, sehingga untuk keberhasilan reproduksi jantan unflanged dan flanged subordinat harus memanfaatkan sisa waktu atau kesempatan yang diperoleh dari jantan flanged dominan. Berdasarkan asal-usulnya, orangutan asal sitaan atau hasil penyerahan masyarakat (captive) pada umumnya memiliki tingkat agresifitas rendah (+), sehingga belum bisa dilakukan reintroduksi. Orangutan asal penyelamatan di alam (rescue) pada umumnya memiliki tingkat agresifitas tinggi (+++), sehingga berpotensi lebih cepat dilakukan reintroduksi. Tingginya tingkat agresifitas ini disebabkan mereka dilahirkan dan dibesarkan di habitat alam, sehingga telah memiliki keterampilan hidup. Sedangkan, orangutan asal kebun binatang sebagian bersifat ramah terhadap kehadiran pengamat dan sebagian lainnya memiliki tingkat agresifitas sedang (++), sehingga belum bisa dilakukan reintroduksi karena masih berpotensi menyerang manusia. Orangutan yang sedang dalam proses rehabilitasi menunjukkan perilaku abnormal, meskipun jenis dan frekuensi antar individu bervariasi. Terdapat sembilan jenis perilaku stereotype (meliputi: perilaku tepuk tangan, memintaminta, meludah, menjilat-jilat jemari/lengan, minum air kencing sendiri, mengintip, mondar-mandir (pacing), menari, dan memegang kepala sendiri); dan empat jenis perilaku seksual abnormal (meliputi: masturbasi, homoseksual, dan stimulasi kelamin. Perilaku abnormal lebih dominan dilakukan oleh orangutan yang berasal dari captive dan zoo. Perilaku abnormal akan muncul pada orangutan yang dipelihara di Pusat Rehabilitasi lebih dari 5 tahun. Kesimpulan, (1) jumlah orangutan di wilayah SPOT sebanyak 49 individu dengan kepadatan 4.13 atau berkisar 4-5 individu/km², terdiri dari: jantan penetap sebanyak 32%, jantan penglaju 44% dan jantan pengembara 24%; (2) kondisi wilayah SPOT yang telah terdegradasi mengakibatkan orangutan hidup dalam cekaman. Frekwensi interaksi menjadi meningkat akibat wilayah jelajah terjadi tumpang tindih. Untuk keberhasilan reproduksi, maka jantan unflanged dan flanged subordinat harus memanfaatkan sisa waktu atau kesempatan yang diperoleh dari jantan flanged dominan; (3) berdasarkan asal-usulnya orangutan asal rescue memiliki tingkat agresifitas tertinggi; (4) orangutan yang sedang dalam proses rehabilitasi menunjukkan perilaku abnormal, diketahui ada sembilan jenis stereotype dan empat jenis perilaku seksual abnormal. Saran program konservasi habitat di wilayah SPOT Tuanan perlu meningkatkan perbaikan habitat dan lingkungannya; dan penempatan orangutan secara sosial di pusat rehabilitasi dengan ruangan yang lebih luas; serta pemberian pengkayaan lingkungan di kandang merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah terjadinya atau meningkatnya perilaku abnormal; proses rehabilitasi tidak lebih lama dari 5 tahun untuk mencegah munculnya perilaku abnormal.
Collections
- DT - Veterinary Science [285]