Penataan Tenurial Dan Peran Para Pihak Dalam Mewujudkan Legalitas Dan Legitimasi Kawasan Hutan Negara.
View/ Open
Date
2015Author
Sinabutar, Pernando
Nugroho, Bramasto
Kartodihardjo, Hariadi
Darusman, Dudung
Metadata
Show full item recordAbstract
Karakteristik hutan negara sebagai common pool resources (CPRs) memerlukan pengaturan yang efektif agar memiliki kepastian hukum kepemilikan dan penguasaan serta memiliki legitimasi. Di Indonesia, kepastian hukum dan legitimasi itu diperoleh melalui proses pengukuhan kawasan hutan yang penyelenggaraannya diserahkan kepada Panitia Tata Batas (PTB). Sampai saat ini, proses itu masih memiliki kinerja rendah dan kurang berkualitas. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan opsi pengukuhan kawasan hutan yang mampu menghasilkan kawasan hutan yang berkualitas, yang dijabarkan menjadi tujuan khusus, yaitu: (1) menganalisis penyebab rendahnya kinerja pengukuhan kawasan hutan dalam mencapai kepastian hukum (legalitas) dan faktor-faktor yang mengakibatkan hasil pengukuhan kawasan hutan belum memiliki legitimasi; (2) menganalisis kontestasi aktor yang terjadi dalam proses pengukuhan kawasan hutan; dan (3) merumuskan opsi peningkatan kinerja pengukuhan kawasan hutan dalam mewujudkan kawasan hutan yang berkualitas. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja BPKH Wilayah XII Tanjungpinang. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam (indepth interview), pengamatan terlibat dan review dokumen. Narasumber penelitian adalah PTB ditambah dengan narasumber lain sebagai informan kunci yang ditentukan secara snowball. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan strategi tipologi menggunakan kerangka kerja IAD Ostrom (2005) yang didukung dengan analisis isi (content analysis) (Bungin 2001), analisis stakeholder (Reed et al 2009) dan analisis tumpang susun (overlay) peta penetapan kawasan hutan dengan peta tutupan lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengukuhan kawasan hutan yang dikerjakan PTB selama ini telah disederhanakan menjadi sekedar persoalan hukum yang dapat diatasi hanya dengan pendekatan legalistik-formal yang dikonstruksi oleh kekuasaan. Kelembagaan pengukuhan kawasan hutan belum mampu menghadirkan kepastian kepemilikan dan penguasaan lahan di tingkat tapak sehingga masyarakat membentuk lembaga sendiri yang justru lebih diakui lembaga lokal (local institution), misalnya jual beli lahan antar masyarakat dan penerbitan surat keterangan kepemilikan tanah oleh kepala desa/lurah. Anggota PTB yang terlibat belum mencerminkan aksi kolektif (collective action). Individu yang terlibat dalam pengukuhan kawasan hutan tidak memiliki interest yang tinggi untuk memastikan keberhasilannya karena hasil tata batas tidak memiliki implikasi dan dampak kepada masing-masing individu. Dengan kata lain, pengambilan keputusan dalam pengukuhan kawasan hutan tidak berdampak pada individu. Organisasi PTB adalah organisasi teknis, namun diberikan mandat (mandatory) untuk menyelesaikan persoalan sosial dan politik kurang relevan. Kegiatan tata batas merupakan urusan pilihan dalam tugas pokok dan fungsi masing-masing pihak yang terlibat, sehingga keberhasilannya tergantung insentif. Beberapa hal tersebut mengakibatkan aksi PTB lebih mengejar penyelesaian teknis dan administrasi. iv Kelembagaan pengukuhan kawasan hutan tidak terfasilitasi dengan baik karena ada dua kekuatan (power) tidak dalam kerangka menghasilkan tata batas yang berkualitas, namun lebih mengedepankan kepentingan. Dua kekuatan tersebut adalah ketua (Bupati) dengan kekuatan legitimate power dan coercive power dan BPKH dengan kekuatan legitimate power, expert power dan akses sumber daya lainnya (pembiayaan, teknologi dan informasi). Sementara unsur anggota lainnya (Dishut provinsi, Dishut kabupaten, unsur Bappeda, unsur BPN, camat dan kepala desa/kepala lurah) hanya berperan sebagai subjects (aktor marjinal) karena perannya telah diambil alih oleh Bupati yang memiliki kekuatan memaksa (power to coerce). Dalam kelembagaan pengukuhan kawasan hutan, kekuatan tersebut telah menyebabkan munculnya Conflict of Interest (CoI). Akibatnya, tata batas tidak linear dengan legalitas, bahkan dengan legitimasi. Arena aksi menunjukkan bahwa telah terjadi situasi aksi yang memperlihatkan partisipan (Bupati dan BPKH) menggunakan sumber daya yang dimiliki (kuasa, anggaran, pengetahuan) secara penuh dan itu melampaui keseimbangan peran organisasi PTB yang dibentuk sehingga melemahkan peran anggota PTB lainnya. Kondisi demikian ini tidak memecahkan persoalan klaim lahan, sebaliknya cenderung berorientasi menyelesaikan masalah-masalah administrasi dan legalitas semata. Aturan main (rule of the game) antara lain P. 47/Menhut-II/2010 belum terbangun norma, nilai dan sanksi sehingga aturan tersebut minim tanggung jawab yang pada akhirnya memunculkan perilaku oportunistik. Aturan tersebut juga belum efektif mengarahkan PTB berinteraksi, sehingga membuka ruang tata batas dilakukan sepihak. Aturan main lainnya yaitu P.44/Menhut-II/2012 jo. P.62/Menhut-II/2013 yang secara tidak langsung mensyaratkan pemenuhan sekumpulan hak (bundle of rights) untuk menyelesaikan persoalan klaim sangat mustahil karena persoalan klaim dan hak-hak masyarakat lokal didominasi oleh bukti hak tidak tertulis berupa historis kultural kepemilikan dan pengakuan oleh institusi lokal (local institution) yaitu siapa yang pertama kali membuka lahan, maka dialah sebagai pemiliknya. Beberapa temuan tersebut, pada akhirnya menyimpulkan bahwa kelembagaan pengukuhan kawasan hutan dengan kebijakan memberikan tugas dan kewenangan kepada PTB menyelesaikan kepastian hukum dan mengurusi legitimasi kawasan hutan diduga tidak akan efektif, bahkan cenderung akan gagal. Oleh karena itu, kelembagaan pengukuhan kawasan hutan memerlukan pembaharuan. Pembaharuan itu meliputi: (1) pemisahan tugas antara legalitas sebagai asas pembuktian hukum dan legitimasi sebagai pengakuan; (2) menghadirkan lembaga pengelola di tingkat tapak untuk mengurusi legitimasi; (3) memfasilitasi kekuatan (power) untuk menghindari munculnya Conflict of Interest (COI); dan (4) memperbaiki kelembagaan pengukuhan kawasan hutan dengan memperbaiki regulasi, nilai dan norma, budaya kognitif dan moral aktor yang terlibat seperti diutarakan oleh Scot (2001). Keberhasilan lembaga pengukuhan kawasan hutan untuk memastikan penguasaan dan kepemilikan hutan negara sebagai CPRs dapat diwujudkan apabila berhasil menata tenurial kawasan hutan yang akan dikukuhkan dan memperbaiki peran para pihak yang menyelenggarakan tata batas kawasan hutan.***
Collections
- DT - Forestry [347]