Jaminan Kehalalan Berdasarkan Kelompok Bisnis Pangan di Indonesia dan Perbandingan dengan Beberapa Negara
View/ Open
Date
2014Author
Rahayu, Elvina Agustin
Ssyah, Dahrul
Hermanianto, Joko
Metadata
Show full item recordAbstract
Jaminan kehalalan bagi penduduk muslim Indonesia merupakan kewajiban yang harus disediakan pemerintah. Indonesia memiliki populasi muslim terbesar saat ini yaitu 88 % dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 239 juta penduduk. Kegiatan sertifikasi halal semata, belum cukup menjadi cara untuk menjamin kehalalan produk bagi konsumen muslim Indonesia. Penelitian LP POM tahun 2010 menunjukkan bahwa dari 113.515 produk yang beredar sesuai dengan izin BPOM hanya 36,73 persen yang telah memiliki sertifikat halal. Dengan kata lain, 63,27 persen produk sisanya tidak ada jaminan kehalalannya, jika ditinjau dari pola pikir sertifikasi Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan regulasi halal di Indonesia, melalui 4 kelompok bisnis pangan yang ada. Berdasarkan PP No.28/2004 ada 4 kelompok bisnis yaitu kelompok bisnis pangan segar, industri rumah tangga ,industri pangan dan pangan siap saji. Selain poin diatas, dilakukan juga identifikasi terhadap penerapan system Jaminan kehalalan di beberapa Negara yaitu : (1) Negara Negara Teluk (dalam penelitian ini Arab Saudi dan Uni Arab Emirat), (2) Singapura, (3) Uni Eropa (Jerman dan Belanda), (4) Australia. Identifikasi terhadap penerapan system Jaminan kehalalan didasarkan pada model kerangka infrastruktur sistem jaminan keamanan pangan yaitu ; (1) legislasi/regulasi, (2) Pengendalian, (3) Jasa Laboratorium, (4) Inspeksi dan (5) Pelatihan, publikasi dan sosialisasi. Identifikasi regulasi secara detail dilakukan hanya untuk Indonesia, sementara untuk 4 negara lain yang ada dalam penelitian ini, identifikasi dilakukan berdasarkan data yang tersedia dari media public. Keberadaan regulasi halal di Indonesia di identifikasi dengan menelaah 98 regulasi dalam bentuk undang undang termasuk UU Pangan no 18/2012, peraturan pemerintah dan peraturan mentri atau kepala badan di setiap 4 kelompok bisnis yang ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan regulasi halal di Indonesia yang paling lengkap ada pada kelompok bisnis pangan segar sedangkan yang paling tidak lengkap ada pada bisnis pangan siap saji. Selain kesenjangan, penelitian ini juga menunjukkan adanya inkonsistensi dalam aturan. Regulasi terkait dengan peredaran atau masuknya daging ke Indonesia secara implisit menunjukkan bahwa daging halal yang bersertifikat dan yang tidak bersertifikat dapat masuk ke Indonesia. Hal ini terdapat pada PP No.95/2010 pasal 31 dan Permentan No.50 /2011 pasal 19. Dua (2) pasal tersebut pada hakekatnya bertolak belakang dengan aturan yang lebih tinggi yaitu Undang-undang Kesehatan Masyarakat Veteriner No.8/2009 pasal 56 ayat 4 yang menyatakan bahwa semua daging hewan yang masuk ke Indonesia harus disertai dengan sertifikat veteriner dan halal. Ada 5 model sistem jaminan kehalalan yang tertangkap dari hasil penelitian ini. Model pertama jaminan kehalalan hanya berdasarkan proses sertifikasi halal yang sifatnya sukarela (voluntary). Indonesia merupakan negara dengan model sistem jaminan tersebut. Model kedua , negara yang menerapkan hukum Islam sebagai dasar hukum Negara. Jaminan kehalalan menjadi bagian dari tanggungjawab pemerintah, terutama untuk produk impor. Arab Saudi dan Uni Emirat Arab masuk dalam model kedua dari sistem jaminan kehalalan yang tertangkap dalam penelitian ini. Model ketiga diwakilkan oleh negara Singapura. Jumlah populasi muslim di negara ini memang minoritas yaitu 15 %, tetapi pemerintah menjamin kebutuhan muslim dengan adanya aturan yang tertuang pada AMLA (the Administration of Moslem Law Act). Jaminan kehalalan dilakukan melalui kegiatan sertifikasi halal yang dilakukan oleh Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) yang merupakan bagian dari pemerintah. Model keempat adalah model yang diwakili oleh negara-negara Uni Eropa. Jaminan kehalalan merupakan upaya mandiri dari organisasi muslim atau komunitas muslim setempat. Awalnya pemerintah tidak ikut campur dalam pengelolaan halal di Uni Eropa ini. Sejak Januari 2013 negara sudah ikut menetapkan standar penyembelihan berdasarkan aturan agama (religious) untuk penduduk muslim dan yahudi. Model kelima adalah negara yang diwakili oleh Australia. Pemerintah bersama dengan organisasi muslim di negara tersebut bekerjasama untuk menyediakan daging halal dalam rangka kebutuhan ekspor ke negara muslim. Sertifikat halal menjadi bagian dari dokumen negara. Pemerintah yang berperan aktif melakukan komunikasi ditingkat negara untuk kemudian di komunikasikan ke lembaga sertifikasi halal yang ada di Australia. Dari penelitian ini, arsitektur jaminan kehalalan di Indonesia yang diajukan adalah menjadikan UU Pangan No.18/2012 sebagai payung dari pelaksanaan halal di Indonesia, sementara 4 kelompok bisnis pangan yang ada menjadi pilar dari bangunan dan regulasi terkait halal menjadi landasannya. Untuk itu harus terdapat pernyataan eksplisit yang menekankan jaminan kehalalan bagi konsumen muslim disetiap aturan turunan Undang Undang Pangan. Dengan demikian jaminan kehalalan dilakukan dengan mengadopsi model sistem jaminan kehalalan negara negara Teluk (Gulf Cooperation Council). Pada masa transisi prinsip voluntary (jaminan kehalalan melalui sertifikasi) dapat dilakukan untuk membiasakan pola kerja produksi halal. Sertifikat halal sebagai hasil dari proses sertifikasi halal harus menjadi bagian dari dokumen Negara sebagaimana yang diterapkan di Negara Australia.
Collections
- MT - Professional Master [887]