Konservasi Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack) ditinjau dari Aspek Kelembagaan Tata Niaga
View/ Open
Date
2014Author
Kartikawati, Siti Masitoh
Zuhud, Ervizal A.M
Hikmat, Agus
Kartodihardjo, Hariadi
Metadata
Show full item recordAbstract
Pasak bumi merupakan salah satu hasil hutan asli di Kalimantan Barat yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Kondisi populasi pasak bumi saat ini sudah dikategorikan sebagai tumbuhan langka dengan status terkikis (Rifai 1992). Pemenuhan pasak bumi selama ini masih bergantung pada hasil pemungutan dari hutan. Tujuan penelitian ini adalah : (1) mengkaji preferensi habitat pasak bumi dan melakukan estimasi stok pasak bumi yang bisa dipungut agar produktivitas pasak bumi tetap lestari, (2) mengkaji kondisi eksisting yang mempengaruhi perilaku para aktor dalam pengelolaan Hutan Lindung Gunung Ambawang- Pemancingan (HLGAP), (3) menganalisis isi peraturan yang terkait dengan hasil hutan bukan kayu (HHBK), (4) menganalisis kinerja kelembagaan tataniaga pasak bumi yang ada. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Kubu Raya dan Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan dengan observasi dan wawancara mendalam. Analisis data menggunakan kerangka analisis pengembangan institusi (institutional analysis and development framework) (Ostrom 2005). Penelitian terdiri atas empat bagian yang mengkaji konservasi pasak bumi mulai dari kondisi preferensi habitat dan kondisi stok pasak bumi di hutan yang layak tebang dalam satuan kg/ha; karakteristik pengelolaan HLGAP; analisis kebijakan pemungutan hasil hutan bukan kayu; dan arena aksi kelembagaan tata niaga pasak bumi. Kerangka berpikir mengikuti kerangka Analisis Pengembangan Institusi (Institution Analysis Development, IAD) melalui penelusuran faktor eksogen (kondisi fisik/material, atribut komunitas dan aturan main yang berlaku (rules in use)), yang mempengaruhi situasi aksi dan aktor pada kegiatan tata niaga pasak bumi Penelitian pertama bertujuan mengkaji preferensi habitat dan estimasi stok pasak bumi sehingga diharapkan bisa untuk menghitung stok pemanenan pasak bumi secara lestari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi stok akar yang dapat dipanen sebesar 0,33 kg/ha. Hal ini disebabkan komposisi struktur tinggi batang didominasi pada rentang 1-3 meter. Kondisi demikian menunjukkan bahwa di areal petak pengamatan lebih banyak ditemukan pada tingkat semai dan pancang, sehingga berpengaruh terhadap banyaknya stok pasak bumi yang baik untuk dipanen. Hasil analisis komponen utama keberadaan jumlah individu pasak bumi dicirikan oleh kelembaban udara. Hal tersebut sesuai dengan sifat pasak bumi yang toleran terhadap cahaya pada tingkat semai. Hal itu ditunjukkan dengan banyaknya dijumpai individu pasak bumi yang tumbuh di sekitar pohon induknya dan berasosiasi dengan pohon yang bertajuk lebar Penelitian kedua bertujuan mengkaji mengkaji kondisi eksisting yang mempengaruhi perilaku para aktor dalam pengelolaan HLGAP. Kajian ini dilakukan untuk mengetahui perilaku para aktor terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan khususnya pasak bumi. Kajian dilakukan dengan pendekatan kelembagaan bahwa institusi mampu mengendalikan karakteristik inheren sumberdaya hutan. Hasil penelitian menunjukkan situasi di lapangan bahwa pengelolaan HLGAP sebagai state property tidak ada aturan formal pada tingkat operasional sehingga penegakan hukum atas hak properti lemah. Kondisi ini menyebabkan HLGAP dalam kondisi open acces yang memicu munculnya perilaku free rider untuk tidak melakukan investasi terhadap kelestarian pasak bumi yang berakibat terjadinya kelangkaan. Situasi ini menggambarkan pemanfaatan HLGAP menimbulkan biaya ekslusi tinggi untuk penegakan hak dan kelestarian hutan. Penelitian ketiga bertujuan untuk menganalisis isi peraturan perundangundangan yang terkait dengan hasil hutan bukan kayu. Analisis dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan analisis substansi berdasarkan indikator yang telah ditetapkan, yaitu : pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pengelolaan hasil hutan bukan kayu, pelibatan masyarakat, dan wewenang pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan HHBK saat ini belum terkoordinasi dengan baik. Pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan HHBK belum bekerjasama secara sinergi dan belum memberikan hasil yang optimal untuk pengelolaan sumber daya hasil hutan bukan kayu. Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan satu di antara upaya mengatasi permasalahan kehutanan Indonesia. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilakukan pada tingkat provinsi, kabupaten/kotan serta pada unit pengelolaan. Penelitian pada bagian keempat bertujuan untuk mengkaji kinerja tata niaga pasak bumi serta memahami karakteristik kelembagaan tata niaga dengan perilaku pemungut dan pedagang. Penelitian dilakukan dengan pendekatan ekonomi kelembagaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik alami pengusahaan pasak bumi, atribut komunitas masyarakat sekitar Gunung Ambawang dan kondisi fisik alam serta pengelolaan state property yang tidak efektif telah melahirkan interaksi saling ketergantungan komunitas tata niaga pasak bumi. Adanya pihak yang berada dalam posisi lebih baik dibanding pihak lain melahirkan bentuk kelembagaan tataniaga pasak bumi dengan sistem patron klien. Berdasarkan hasil analisis kinerja, tata niaga pasak bumi tidak efisien dimana margin share yang diperoleh tiap pelaku pemasaran tidak merata untuk tiap tingkat pemasaran di mana pengumpul memperoleh keuntungan yang paling kecil, namun memiliki nilai pengembalian investasi (return of investment) paling besar. Artinya, dari aspek kelestarian kondisi ini mengancam keberadaan pasak bumi di alam karena akan memacu pemungut untuk mengumpulkan pasak bumi sebanyak-banyaknya. Berdasarkan serangkaian penelitian yang telah dilakukan menghasilkan implikasi kebijakan perlu adanya stimulus kerelaan pasak bumi sebagai aset yang bernilai ekonomis yang didukung dengan prasyarat teknis/inovasi, kelembagaan, kebijakan dan sumber daya manusia. Prasyarat teknis perlu upaya pengembangan budidaya; prasyarat kelembagaan mendorong perubahan kelembagaan dengan pembangunan KPH dan devolusi hutan desa; prasyarat kebijakan mendorong terciptanya regulasi pemerintah satu pintu yang mampu mengkoordinasikan berbagai lembaga terkait dengan pengelolaan HHBK; dan prasyarat sumberdaya manusia : peningkatan kapasitas masyarakt lokal dalam melakukan pengelolaan kawasan HLGAP.
Collections
- DT - Forestry [343]