Akses dan Kontrol Sumberdaya Hutan Gunung Ciremai
Abstract
Studi tentang akses dan kontrol dalam perspektive ekologi politik berupaya menerangkan proses-proses ―kemampuan‖ seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Dibalik dari ―kemampuan‖ seseorang dalam memanfaatkan sumber daya alam, terjadi serangkaian berbagai bentuk jaringan kerja yang terjalin dari berbagai kepentingan dan kekuasaan. Akses sebagai ―kemampuan‖ selain dipengaruhi oleh sumber kekuasaan (network) juga dipengaruhi dimensi wacana yang menyelimuti para aktor. Jejaring kerja para aktor berkontestasi memperebutkan hak pada pengelolaan sumberdaya hutan yang mempengaruhi aspek penggunaan hutan serta aspek penghidupan seseorang. Meskipun akses dan kontrol dapat dibatasi dalam hukum formal namun pada berbagai studi yang telah dilakukan oleh peneliti ekologi politik mengungkapkan sebuah kenyataan bahwa ―kemampuan‖ dalam memanfaatkan sumberdaya tidak dibatasi oleh hukum formal sehingga meskipun hukum formal membentuk sebuah aturan pembatasan penggunaan sumberdaya namun di tingkat tapak dapat saja terjadi bentuk-bentuk pemanfaatan sumberdaya oleh para aktor. Gunung Ciremai sebagai objek studi menarik untuk diungkap terutama pada aspek akses dan kontrol sumberdaya hutan terutama karena Gunung Ciremai telah mengalami perubahan berbagai bentuk hukum formal dalam pengaturan dan pengelolaannya dari sejak era Kolonial sampai dengan era hutan konservasi. Sumber-sumber jaringan kekuasaan yang mempengaruhi kebijakan formal pengaturan hutan Gunung Ciremai dan yang mempengaruhi bentuk-bentuk ―kemampuan‖ seorang petani perlu diungkap terutama untuk melihat fenomena ekologi politik. Tujuan dari penelitian ini adalah, pertama, untuk memahami sejarah akses dan kontrol sumber daya hutan Gunung Ciremai. Kedua, untuk memahami fitur relasi kekuasaan dan jaringan kekuasaan yang dimobilisasi, dibingkai dan dibentuk oleh pelaku karena perubahan kebijakan pemanfaatan sumberdaya hutan Gunung Ciremai. Ketiga, menganalisis dampak perubahan kebijakan hutan Gunung Ciremai pada petani. Penelitian ini mengambil studi kasus di kawasan hutan Gunung Ciremai namun hanya dibatasi daerah administrasi Kabupaten Kuningan Penelaahan kasus lokal tersebut akan ditelusuri dari desa-desa yang berada di sekitar kawasan hutan Gunung Ciremai. Namun, dalam pengambilan data hanya dilakukan di empat desa yang berada pada status pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai. Paradigma konstruktivisme dan pendekatan kualitatif diterapkan dalam penelitian ini. Wawancara mendalam dilakukan dengan teknik snowball . Data sekunder juga dikumpulkan. Gunung Ciremai telah mengalami serangkaian perubahan kebijakan yang mempengaruhi bentuk-bentuk pengelolaan termasuk akses hutan yang dapat diberikan untuk masyarakat lokal. Bentuk-bentuk pengelolaan hutan Gunung Ciremai 8 telah dimulai sejak Era Pemerintahan Kolonial Belanda (pemberlakuan perlindungan hutan), Era Pemerintahan Orde Baru (penetapan sebagai kaasan hutan produksi Perhutani), Era Reformasi (pemberlakuan PHBM serta penetapan sebagai kawasan Taman Nasional). Setiap kebijakan pengelolaan ini memiliki implikasi pada bentuk-bentuk akses dan kontrolnya. Perubahan kebijakan pada pengelolaan Gunung Ciremai merupakan hasil konstruksi relasi aktor dan kekuasaan berbagai dimensi baik lokal, nasional bahkan internasional. Jaringan relasi dengan proporsi kekuasaan yang ada pada tiap relasi kekuasaan dapat membentuk dominasi kontruksi kebijakan. Hasil studi mengungkapkan bentuk-bentuk pemanfaatan sumberdaya alam sebagai bentuk akses yang berbeda di 2 desa pembanding (Desa Pajambon dan Desa Seda). Saat ini petani Desa Pajambon masih dapat memanen hasil tanaman eks PHBM meskipun tindakan tersebut diketahui oleh petugas TNGC sedangkan petani Desa Seda memiliki perlakuan represif dari petugas TNGC. Masyarakat petani Desa Pajambon telah membanguan jejaring kuasa dengan LSM lokal (KANOPI) serta telah menggunakan laporan administrasi pengelolaan kawasan wisata Lembah Cilengkrang sebagai alat posisi tawar agar mereka tetap memiliki akses pada lahan hutan eks PHBM. Disamping itu, setoran PNBP dari masyarakat petani pengelola wisata Lembah Cilengkrang telah membangun hubungan saling ketergantungan antara Petani Pajambon dengan TNGC. Sedangkan petani Desa Seda memiliki perlakuan yang berbeda dengan tindakan represif ketika petani Seda mengolah dan memanen tanaman eks PHBM di taman nasional. Fenomena akses dan kontrol dalam kedua kasus ini dipengaruhi oleh bundle of power yang melekat pada aktor sehingga pada kenyataannya bagi mereka yang memiliki jejaring kuasa tetap dapat memiliki akses pada sumberdaya hutan Gunung Ciremai meskipun secara hukum formal tidak, sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki bundle of power maka mereka tidak dapat mengakses. Kasus ini terjadi pada petani Desa Pajambon dan Desa Seda. Fakta di lapangan untuk studi kasus 4 desa ini menemukan adanya keragaman aspek sosial ekonomi pada anggota petani eks PHBM Gunung Ciremai. Keragaman aspek sosial ekonomi ini terutama sekali disebabkan oleh keragaman jumlah kepemilikan lahan milik (pribadi). Sejak diberlakukannya status kawasan menjadi taman nasional, para petani Gunung Ciremai tidak lagi dapat menggarap lahan hutan eks PHBM secara optimal. Secara peraturan formal, mereka dilarang untuk mengolah lahan eks PHBM tersebut. Namun beberapa petani masih melakukannya baik dengan cara terbuka maupun tersembunyi. Berdasarkan hasil survey pendapatan rumah tangga petani eks PHBM, pendapatan dari sektor buruh tani saat ini berkurang menjadi rata-rata Rp 2.000.066,- dari semula (ketika program PHBM masih berjalan) memiliki rata-rata Rp. 6.951.662,- untuk pendapatan tahunan. Saat ini, jam kerja sektor pertanian hanya diandalkan dari pertanian lahan milik. Secara umum dapat disimpulkan perbedaan penghidupan petani pasca diberlakukannya perubahan status menjadi taman nasional yaitu : 1) petani kehilangan pendapatan tambahan dari komoditas yang mereka tanam di lahan PHBM terlebih jika mereka tidak memiliki lahan pertanian milik sendiri; 2) tidak tersedianya jam kerja tambahan (upah buruh) yang semula PHBM menyediakan lapangan kerja buruh baik untuk buruh tanam, buruh ngolah, buruh ―ngoyos‖, serta buruh angkut. Pendapatan petani dari sektor 9 wisata alam yang merupakan bentuk “conservation alternative livelihood” belum memberikan hasil yang siginifikan untuk membantu ekonomi rumah tangga petani pengelola wisata. Hasil studi mengungkapkan bahwa tambahan pendapatan rumah tangga petani sebagai pengelola hanya sebesar Rp 1.351.725,- (tahun 2011) per rumah tangga per tahun sedangkan aset wisat tersebut memiliki nilai dari penjualan tiket sebesar Rp. 72.090.000,- (tahun 2011). Perbedaan antara nilai kawasan wisata dengan pendapatan rumah tangga petani pengelola yang besar ini dikarenakan adanya iuran-iuran wajib yang perlu dikeluarkan oleh petani pengelola wisata sebagai bentuk sharing hasil seperti (setoran PNBP, dana konservasi, iuran desa serta iuran kelompok PHBM dan potongan biaya operasional pengelola). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa, pertama, akses dan kontrol atas sumber daya hutan Gunung Ciremai secara dinamis berubah sejak era Kolonial berikut aktor yang memegang kekuasaan politik untuk mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya hutan. Kedua, kebijakan hutan Gunung Ciremai yang mengubah hutan produksi perusahaan Negara (Perhutani) ke Taman Nasional tercipta dari hubungan kekuasaan yang tidak setara antara universitas lokal dan pemerintah (pemerintah pusat dan daerah) di satu sisi, dan LSM lokal dan petani di sisi lain. Pemerintah dan universitas lokal pendukung untuk inisiatif Taman Nasional, sedangkan petani dan LSM lokal sangat menentang inisiatif. Ketiga, kebijakan kehutanan yang menunjuk hutan Gunung Ciremai sebagai Taman Nasional, telah mengeluarkan pola tenurial yang sebelumnya didirikan antara perusahaan hutan negara (Perhutani) dan petani yang kemudian memberikan pengaruh signifikan terhadap pendapatan petani. Penelitian ini memberikan implikasi dan rekomendasi diantaranya : 1) Ketika kekuatan relasi aktor menjadi kunci penting dalam mempengaruhi penerapan pemberian akses kepada masyarakat kecil maka jejaring kuasa dan relasi aktor untuk kepentingan masyarakat kecil perlu diperkuat; 2) Perubahan kebijakan yang dapat mendorong pemberian akses petani hutan untuk dapat memanfaatkan hutan Gunung Ciremai pasca statusnya sebagai Taman Nasional perlu didukung melalui jaringan kerja aktor populis. Kekuatan aktor populis perlu ditingkatkan dengan rasionalisasi yang dapat diterima oleh aktor pro lingkungan. Besarnya jaringan aktor pro lingkungan menyebabkan sulitnya kebijakan pemberian akses pemanfaatan lahan hutan di Taman Nasional Gunung Ciremai. Aktor akademisi sebagai pemroduksi kebenaran perlu mengungkapkan hasil-hasil penelitian kemiskinan petani hutan serta keamanan ekologi pemanfaatan lahan hutan. Peran aktor akademisi sebagai aktor populis menjadi kontribusi penting dalam membentuk rasionalisasi pemanfaatan dan pemberian akses lahan hutan di kawasan Taman Nasional; 3) Penting untuk melihat pengaruh wacana (diskursus) dalam kontestasi kebijakan kehutanan sehingga perlu dilakukan studi diskursus untuk melihat seberapa besar wacana mempengaruhi aktor dan mempengaruhi relasi kekuasaan.
Collections
- MT - Human Ecology [2247]