Analisis Sistem Tataniaga Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus Petani di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat)
Abstract
Salah satu komoditas hortikultura yang memiliki potensi usaha yang baik adalah komoditas jamur konsumsi. Produk jamur memiliki nilai ekonomis cukup tinggi, kandungan gizi yang tinggi, bercitarasa lezat dan disamping itu berkhasiat pula sebagai obat. Jenis jamur konsumsi yang banyak dibudidayakan adalah jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) atau dikenal pula dengan nama Shimeji White. Desa Kertawangi yang terletak di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat adalah salah satu desa sentra penghasil jamur tiram putih di Propinsi Jawa Barat dengan total produksi mencapai sekitar tiga ton jamur tiram putih per hari. Jamur tiram putih merupakan produk hortikultura yang dijual dalam bentuk segar, bersifat mudah rusak (perishable) dan tidak tahan lama, sehingga diperlukan penanganan pascapanen yang tepat dan cepat, termasuk proses tataniaganya agar produk tidak rusak hingga sampai ke tangan konsumen. Oleh karena itu, diperlukan peran lembaga tataniaga yang berfungsi memasarkan jamur tiram putih dari produsen hingga ke tangan konsumen akhir. Kurangnya informasi dan akses pasar menjadi kendala petani dalam memasarkan produknya. Petani pun tidak memiliki posisi tawar yang kuat terhada lembaga tataniaga, sehingga petani hanya menjadi price taker. Terdapat perbedaan harga jual antara harga yang diterima petani dengan harga jamur tiram putih di tingkat konsumen akhir. Harga di tingkat petani sekitar Rp 7.000 per kilogram, sedangkan harga jamur tiram putih di tingkat konsumen akhir mencapai Rp 12.000 per kilogram. Dengan adanya marjin tataniaga yang mencapai Rp 5.000 tanpa ada pengolahan produk, mengindikasikan bahwa marjin tataniaga tersebut terbentuk dari rantai tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi yang cukup panjang dan saluran tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi kurang efisien. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2012 di Desa Kertawangi yang dijadikan sebagai studi kasus. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Mengidentifikasi dan menganalisis sistem tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, 2) Menganalisis bagian pendapatan yang diperoleh petani jamur tiram putih (farmer’s share), dan 3) Menganalisis efisiensi saluran tataniaga jamur tiram putih melalui besarnya marjin tataniaga dan nilai rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga di setiap lembaga tataniaga yang terkait dalam proses tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan para petani dan lembaga tataniaga responden, sedangkan data sekunder diperoleh melalui literatur ataupun studi pustaka yang mendukung penelitian. Data sekunder bersumber dari iii data laporan desa, majalah, internet, Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Hortikultura, buku teks tataniaga, perpustakaan IPB, dan data-data dari beberapa instansi terkait lainnya. Penelitian ini melibatkan delapan petani responden yang dipilih secara sengaja (purposive) menurut arahan narasumber dan sepuluh lembaga tataniaga responden yang dipilih menggunakan teknik snowball sampling dari petani responden. Proses tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi dimulai dari petani sebagai produsen hingga konsumen akhir, melibatkan beberapa lembaga tataniaga. Petani responden dibagi ke dalam tiga kelompok menurut skala usahanya. Petani skala kecil dengan kepemilikan bag log kurang dari 20.000 buah. Petani skala usaha sedang/menengah memiliki jumlah bag log antara 20.000 hingga 100.000 buah. Petani skala besar memiliki bag log lebih dari 100.000. Lembaga tataniaga yang terlibat adalah pedagang pengumpul, bandar, pedagang grosir, dan pedagang pengecer. Terdapat empat pola saluran tataniaga jamur tiram putih yang terbentuk dengan total volume penjualan 1.145 kilogram per hari. Pola saluran I: Petani-Pedagang pengumpul-Pedagang grosir-Pedagang pengecer-Konsumen akhir. Pola saluran II: Petani–Bandar-Pedagang grosir-Pedagang pengecer-Konsumen akhir. Pola saluran III: Petani-Pedagang pengumpul–Bandar-Pedagang grosir- Pedagang pengecer-Konsumen akhir. Pola saluran IV: Petani-Pedagang grosir-Pedagang pengecer-Konsumen akhir. Saluran yang paling banyak digunakan oleh petani responden adalah saluran I dengan jumlah petani responden sebanyak tiga orang dan total volume penjualan sebanyak 105 kg per hari. Saluran III merupakan saluran yang paling sedikit digunakan oleh petani responden dengan jumlah petani responden sebanyak satu orang dan total volume penjualannya pun paling sedikit yaitu hanya 40 kg per hari. Saluran IV merupakan saluran dengan volume penjualan tertinggi, yaitu mencapai 850 kilogram per hari, namun hanya dua petani responden yang menggunakan saluran ini. Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Struktur pasar yang dihadapi cenderung mengarah pada pasar persaingan sempurna. Berdasarkan perilaku pasar yang dihadapi dalam praktek penjualan dan pembelian, telah terjalin kerjasama yang cukup baik antar lembaga tataniaga. Pembentukan harga ditentukan oleh supply dan demand jamur tiram putih di Pasar Induk Kramat Jati. Hasil analisis tataniaga menunjukkan bahwa masing-masing lembaga tataniaga mengeluarkan biaya tataniaga dan memperoleh keuntungan tataniaga. Berdasarkan hasil analisis marjin pemasaran, farmer’s share, rasio keuntungan atas biaya dan volume jamur tiram yang terjual, diketahui bahwa saluran tataniaga IV merupakan saluran yang paling efisien karena memiliki nilai marjin tataniaga terendah (37,5 persen), farmer’s share tertinggi (62,5 persen), volume penjualan per hari tertinggi (850 kilogram) dengan harga jual jamur tiram tertinggi diantara keempat saluran tataniaga, yaitu Rp 7.500 per kilogram. Saluran tiga merupakan saluran tataniaga yang paling tidak efisien karena pada saluran tiga petani mendapatkan harga jual terendah dibanding saluran tataniaga lainnya dan memiliki nilai marjin tataniaga terbesar (43,34 persen), farmer’s share terendah (56,67 persen) dan volume penjualan terendah (40 kilogram).
Collections
- UT - Agribusiness [4248]