Analisis Kelayakan Usaha Pengolahan Minyak Jelantah (Waste Cooking Oil) Menjadi Biodiesel (Kasus: PT. Bumi Energi Equatorial (BEE) Bogor)
Abstract
Kegiatan-kegiatan di sektor industri, jasa, perhubungan dan rumah tangga salah satunya memerlukan pemanfaatan energi. Berdasarkan Handbook Of Energy & Economics Statistics Of Indonesia (2009) salah satu konsumsi energi nasional terbanyak berasal dari sektor industri, yaitu membutuhkan 360.538 juta Barel Oil Equivalent (BOE). Menurut Siagan, (2003) kebutuhan energi nasional 74 persen tergantung kepada minyak bumi. Pemerintah sendiri telah mengumumkan rencana untuk mengurangi ketergantungan Indonesia dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi. Salah satunya adalah berkembangnya penelitian bahan bakar yang berasal dari nabati, minyak nabati merupakan sumber bahan baku alternatif yang dapat menggantikan penggunaan minyak bumi karena jumlahnya yang dapat diperbarui, misalnya dalam penggunaan bahan baku biodiesel. Bahan baku pembuat biodiesel yang dinilai potensial di Indonesia adalah minyak kelapa sawit. Minyak kelapa sawit dinilai potensial karena berdasarkan kontinyuitas saat ini sudah tersedia banyak perkebunan kelapa sawit dan industri pengolahan buah sawit menjadi CPO, tetapi selain keunggulan yang ada pada kelapa sawit, terdapat pula beberapa hal yang kurang mendukung pemanfaatannya sebagai bahan baku biodiesel. Kebutuhan CPO dalam negeri saat ini sebagaian besar terserap oleh pabrik minyak goreng dengan kebutuhan ratarata 3,5 juta ton per tahun. Bila harga CPO naik maka harga biodiesel yang dihasilkan akan menjadi mahal. Salah satu pemanfaatan bahan dari jenis minyak nabati sebagai pengganti solar adalah limbah minyak goreng atau biasa disebut juga minyak goreng bekas (Jelantah). Biaya yang harus dikeluarkan untuk bahan mentah pembuatan biodiesel kira – kira mencapai 60-70 persen total biaya produksi, sehingga untuk menekan biaya produksi maka dengan alternatif menggunakan minyak goreng bekas (Jelantah), yang secara ekonomis tidak bernilai tinggi. Di Kota Bogor terdapat perusahaan yang mengolah atau memproduksi dengan memanfaatkan minyak jelantah menjadi biodiesel. Perusahaan tersebut adalah PT. Bumi Energi Equatorial (BEE) yang berdiri pada tahun 2006 dan terletak di Curug Mekar No 6 Bogor. PT. Bumi Energi Equatorial (BEE) juga merupakan perusahaan satu-satunya di Kota Bogor yang memproduksi biodiesel dengan memanfaatkan limbah minyak goreng (Jelantah). Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Menganalisis kelayakan bisnis biodiesel dari minyak jelantah di PT. Bumi Energi Equatorial (BEE) dilihat dari aspek non-finansial 2) Menganalisis kelayakan bisnis biodiesel dari minyak jelantah di PT. Bumi Energi Equatorial (BEE) dilihat dari aspek finansial. 3) Menganalisis nilai pengganti (switching value) kelayakan bisnis biodiesel dari minyak jelantah di PT. Bumi Energi Equatorial (BEE). Analisis aspek non finansial yang dilakukan terhadap usaha di PT. BEE yang meliputi aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, aspek sosial ekonomi dan budaya serta aspek lingkungan dapat disimpulkan bahwa usaha tersebut dapat dijalankan dengan baik. Analisis aspek finansial yang dilakukan di usaha PT. BEE ini akan menggunakan dua skenario penerimaan perusahaan. Skenario I (pertama) penerimaan dari penjualan biodiesel dan gliserin, skenario II (kedua) penerimaan dari penjualan biodiesel dan eco wash. Dari aspek finansial didapatkan hasil : skenario pertama mempunyai nilai NPV -1.249.572.217, IRR sebesar 6,16 persen, Net B/C sebesar 0,05 atau kurang dari satu sedangkan Payback Period diperoleh hasil bahwa usaha tersebut tidak akan bisa mengembalikan investasi selama umur proyek 10 tahun karena perusahaan tiap tahunnya mengalami kerugian. Berdasarkan hasil analisis finansial skenario pertama didapatkan hasil bahwa usaha ini tidak layak untuk dijalankan. Skenario kedua mempunyai nilai NPV - 1.115.904.833, IRR sebesar 6,08 persen, Net B/C hanya sebesar 0,07 atau kurang dari satu. Payback Period menunjukkan hasil bahwa usaha tersebut tidak akan bisa mengembalikan investasi selama umur proyek 10 tahun karena perusahaan tiap tahunnya mengalami kerugian, berdasarkan hasil analisis finansial skenario kedua didapatkan hasil usaha ini juga tidak layak untuk dijalankan. Berdasarkan analisis switching value dengan cara menurunkan variabel harga input, baik skenario I maupun skenario II masing-masing menghasilkan NPV kurang dari nol (NPV<0), skenario I NPV yang dihasilkan Rp – 829.888.308 dan pada skenario II NPV yang dihasilkan Rp – 696.220.924. Berdasarkan analisis switching value dengan cara meningkatan variabel harga output (biodiesel) baik skenario I maupun skenario II masing-masing dapat menghasilkan NPV sama dengan nol (NPV=0), pada skenario I perusahaan menaikan harga output sebesar 143,1 persen sehingga mempunyai harga jual sebesar Rp. 15.804,00 dan pada skenario II perusahaan menaikan harga output (biodiesel) sebesar 127,8 persen yang mempunyai harga jual sebesar Rp. 14.809,00. Berdasarkan analisis switching value dengan cara peningkatan variabel jumlah input (minyak jelantah) didapat hasil pada skenario I perusahaan menaikan jumlah input (minyak jelantah) sebesar 381,1 persen menjadi 9.363 liter/bulan sehingga NPV sama dengan 0 (NPV=0) dan pada skenario II perusahaan menaikan jumlah (input) sebesar 182,2 persen menjadi 5.492 liter/bulan sehingga NPV sama dengan nol (NPV=0). Berdasarkan analisis switching value dapat direkomendasikan kepada perusahaan bahwa cara yang memungkinkan untuk digunakan adalah dengan meningkatkan variabel jumlah input (minyak jelantah) baik di skenario I maupun di skenario II.
Collections
- UT - Agribusiness [4618]