Gejala deurbanisasi Jakarta dan lahirnya megapolitan
Abstract
Meningkatnya pembangunan di DKI Jakarta tidak menyebabkan meningkatnya pertumbuhan migrasi masuk Jakarta. Tingkat pertumbuhan migrasi masuk Jakarta berkurang setiap tahun, bahkan jumlah migrasi masuk Jakarta menurun sangat tajam pada tahun 2005. Disisi lain, tingkat pertumbuhan migrasi masuk di wilayah Bodetabek terus bertambah. Migrasi yang masuk menuju Bodetabek didominasi oleh migran asal Jakarta. Hal ini mengindikasikan terjadinya gejala deurbanisasi Jakarta, yaitu menurunnya migrasi ke pusat kota dan meningkatnya migrasi menuju wilayah pinggiran kota. Proses deurbanisasi ini dipengaruhi oleh meningkatnya pertumbuhan ekonomi Bodetabek, biaya hidup yang lebih murah di Bodetabek, dan harga lahan di Jakarta yang melambung tinggi. Namun, proses trickle down effect yang seharusnya terjadi akibat deurbanisasi belum terlihat dengan jelas dalam pembangunan Bodetabek terutama pada pembangunan wilayah tingkat kabupaten. Hal ini dikarenakan pembangunan di Bodetabek belum merata ke seluruh wilayah. Selain itu, perencanaan pembangunan di wilayah Bodetabek sejak awal pembangunan ditujukan untuk membentuk kawasan Megapolitan Jabodetabek. Hal ini dapat terlihat pada besarnya peranan Bodetabek sebagai penyangga Ibu Kota Jakarta. Kawasan Bodetabek didominasi dengan pembangunan industri, pemukiman dan perdagangan. Namun pada nyatanya, pembangunan kawasan Megapolitan Jabodetabek masih berada pada wilayah-wilayah sekitar Jakarta, sehingga wilayah kabupaten yang terletak agak jauh dari Jakarta belum mengalami perubahan secara signifikan.