Uji bioaktivitas zat ekstraktif kayu beunying (Ficus fistulosa Reinw) dan hamerang (Ficus fulva Reinw) menggunakan brine shrimp lethality test
Abstract
Di hutan alam kawasan Gunung Salak, Jawa Barat ditemukan 112 jenis yang diduga mempunyai potensi tumbuhan obat (Sugiana 2003). Beunying (F. fistulosa) dan Hamerang (F. fulva) termasuk didalamnya karena mengandung senyawa alkaloid, triterpenoid dan flavonoid yang merupakan kelompok senyawa bioaktif. Perlu dilakukan penelitian mengenai bioaktivitas dari kedua jenis tersebut, agar ditemukan senyawa kimia berkhasiat obat, khususnya anti kanker. Diperkirakan setiap tahunnya terjadi penambahan 7 juta orang penderita kanker di dunia dan 2/3 dari jumlah tersebut ada di negara berkembang termasuk Indonesia Metode bioassay yang dapat digunakan untuk menguji aktivitas anti kanker ekstrak suatu tumbuhan adalah Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dengan menggunakan hewan uji Artemia salina Leach, metode ini dipilih karena peka terhadap bahan uji, waktu siklus yang lebih cepat, mudah dibiakkan, dan harganya murah dan hasilnya berkorelasi positif dengan sifat anti kanker senyawa kimia yang dikandung oleh bahan uji (Meyer 1982). Penelitian ini dilakukan untuk mengukur kandungan zat ekstrakif kulit dalam (inner bark) dan bagian teras cabang Beunying (F. fistulosa) dan Hamerang (F. fitlva) yang larut dalam pelarut aseton dan hasil fraksinasinya dengan pelarut n-heksan, etil-asetat serta residu dari ekstrak aseton tersebut, serta menguji bioaktivitas zat ekstraktif tersebut terhadap A. salina. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu ekstraksi dan fraksinasi serbuk (60-40 mesh) dari kulit bagian dalam dan bagian teras cabang Beunying dan Hamerang dengan menggunakan pelarut aseton yang kemudian dilakukan fraksinasi dengan pelarut n-heksan dan etil-asetat. Kemudian ekstrak dan fraksinya diujikan terhadap larva udang A. salina, dan data mortalitas diolah dengan menggunakan analisis probit untuk mendapatkan nilai LC5o. Apabila LC5o kurang dari 1000 ppm maka ekstrak digolongkan toksik. Hasil ekstraksi dan fraksinasi menunjukkan bahwa kulit dalam Beunying mengandung 4.27% ekstrak aseton yang terdiri dari 41.67% fraksi n-heksan, 11.90% fraksi etil-asetat dan 38.10% fraksi residu. Sedangkan bagian teras cabangnya mengandung 1.12% ekstrak aseton dengan 18.13% fraksi n-heksan, 26.13% fraksi etil-asetat dan 45.87% fraksi residu. Untuk jenis Hamerang, pada bagian kulit dalamnya mengandung 3.88 % ekstrak aseton dengan fraksi n-heksan 18.13%, fraksi etil-asetat 26.13% dan fraksi residu 45.87%. Kemudian untuk bagian teras cabang Hamerang diperoleh nilai ekstrak aseton sebesar 1.02% yang terkandung dalam fraksi n-heksan adalah 15.14%, dalam fraksi etil-asetat adalah 15.83% dan fraksi residu sebesar 56.650/0. Hasil uji BSLT terbaik adalah pada fraksi n-heksan kulit Hamerang (LC5o 5.74 ppm). Semua fraksi pada ekstrak aseton bagian teras cabang Hamerang bersifat toksik (LC5o berturut-turut n-heksan, etil-asetat dan residu adalah 64.58, 68.32, 287.98 ppm). Ekstrak aseton bagian teras cabang Beunying fraksi n-heksan (LC5o 112.09 ppm) dan fraksi etil asetat (LC5o 197.56 ppm) tergolong toksik. Perlu dilakukan isolasi dan identifikasi senyawa bioaktif dari ekstrak yang bersifat toksik dan sangat toksik.
Collections
- UT - Forestry Products [2391]