Studi pengaturan hasil dalam pengelolaan hutan rakyat di kabupaten Jepara
Abstract
Kebutuhan bahan baku kayu untuk industri kehutanan saat ini telah melampaui kemampuan sumberdaya hutan alam dalam memproduksi kayu secara lestari. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menanggulangi masalah kelangkaan kayu, yakni dengan melakukan pengembangan hutan rakyat. Namun disayangkan, karakteristik pengelolaan hutan rakyat di Indonesia saat ini masih bersifat individual dan belum mempunyai manajemen formal. Oleh karena itu diperlukan pengarahan mengenai pengelolaan hutan rakyat secara intensif agar petani mendapatkan manfaat yang optimal dalam pengembangan usaha hutan rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor pendorong dan penghambat bagi petani dalam rangka pengembangan usaha hutan rakyat, menentukan daur optimal sebagai basis pengaturan hasil pengganti daur butuh dan mengidentifikasi perspektif petani di dalam pembentukan kesatuan unit pengelolaan hutan rakyat. Penelitian ini dilakukan di Desa Damarwulan, Clering dan Suwawal, Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Penelitian ini dilakukan dengan sistem wawancara dan observasi lapang menggunakan teknik purposive sampling terhadap rumah tangga yang memiliki usaha hutan rakyat. Penentuan daur optimal jenis sengon dan jati yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan perhitungan Net Present Value (NPV) pada setiap daur. Perhitungan NPV untuk jenis Sengon mulai daur 3 tahun sampai 10 tahun dan jenis Jati mulai daur 10 tahun sampai 25 tahun. Alasan pengembangan usaha hutan rakyat yang dilakukan oleh petani di lokasi penelitian sebagian besar dikarenakan usaha hutan rakyat ini dapat dijadikan sebagai tabungan untuk masa depan. Hambatan dalam pengembangan usaha hutan rakyat di lokasi penelitian yakni kurangnya pengetahuan petani dalam rangka peningkatan hasil dari hutan rakyat. Penentuan daur optimal untuk jenis jati dan sengon berbeda-beda tiap desanya. Daur optimal untuk jenis Sengon di Damarwulan yakni 8 tahun dengan NPV Rp 2.651.734/ha , Clering yakni 8 tahun dengan NPV sebesar Rp 1.683.570/ha, dan Suwawal yakni 9 tahun dengan NPV sebesar Rp 14.077.134/ha. Daur optimal untuk jenis Jati di Damarwulan yakni 14 tahun dengan NPV sebesar Rp 848.500/ha, Clering yakni 19 tahun dengan NPV sebesar Rp 3.596.256/ha, dan Suwawal yakni 19 tahun dengan NPV sebesar Rp 9.912.060/ha. Sebanyak 67 orang responden (74,44%) setuju untuk membentuk kelembagaan hutan rakyat di tingkat desa dengan alasan agar harga kayu yang dijual tidak jatuh dan mempermudah pemasaran. Oleh karena itu untuk mengembangkan usaha hutan rakyat secara intensif di lokasi penelitian perlu dibentuk suatu kelembagaan kelompok tani hutan rakyat. Dengan adanya kelembagaan tersebut, petani akan dibina untuk meningkatkan motivasi dalam membangun dan memanfaatkan hutan rakyat secara optimal. Selain itu pula, adanya kelembagaan tersebut dapat menciptakan suatu bentuk hubungan kerjasama antar petani hutan rakyat sehingga nantinya dapat memunculkan budaya pengelolaan hutan rakyat yang berorientasikan bisnis.
Collections
- UT - Forest Management [2835]