Faktor Penunjang Kegagalan Pelaksanaan Inseminasi Buatan Di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (Kpbs) Periode Januari 1999 Sampai Januari 2000
Abstract
Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kesadaran akan pentingnya peranan gizi masyarakat dalam menunjang pembangunan, menyebabkan konsumsi protein khususnya protein hewani semakin meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan upaya peningkatan penyediaan protein dari susu sapi perah. susu merupakan minuman sehat yang mengandung nilai protein sangat tinggi sehingga dapat menunjang pertumbuhan, kecerdasan dan daya tahan tubuh (Burhanudin, 2000). Penyediaan dan produksi susu dalam negeri cukup memprihatinkan karena populasi sapi perah dari tahun ke tahun menurun dan rata-rata konsumsi susu baru mencapai 4,2 kilogram per kapita per tahun, masih jauh dari harapan konsumsi ratarata per kapita per tahun yaitu 6,4 kilogram (Anonimus, 2000). Berdasarkan hal tersebut, pemerintah berusaha mencari jalan keluar untuk memperbaiki sistem manajemen peternakan dengan mengembangkan program Inseminasi Buatan (IB). Dengan IB diharapkan dapat meningkatkan mutu genetik dan percepatan pertambahan populasi sapi perah serta memungkinkan terjadinya proses pembuahan yang dibatasi oleh jarak dan waktu (Andersen, 1980). Keberhasilan IB erat kaitannya dengan seleksi atau pemilihan pejantan, penampungan, penilaian, pengenceran, penyimpanan dan pengangkutan semen, inseminasi, pelaporan, monitoring dan penyuluhan kepada peternak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan pelaksanaan IB di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, kabupaten Bandung pada periode Januari 1999 sampai Januari 2000. Penelitian berdasarkan data primer yang diperoleh melalui pengisian kuesioner 100 peternak responden secara acak di 4 Komda dan wawancara dengan inseminator, dokter hewan serta pengamatan langsung di lapangan. Ditambah data sekunder berupa laporan dari bagian recording IB KPBS Pangalengan, Kabupaten Bandung. Hasil kuesioner menunjukkan profil peternak yang umumnya hanya mengecap pendidikan sampai SD tidak mudah menerima pengetahuan dan teknologi baru walaupun pengalaman mereka cukup lama. Tingkat pengetahuan peternak masalah peternakan terutama manajemen masih kurang. Namun demikian pengetahuan responden mengenai tanda-tanda berahi, lama berahi dan umur sap! pertama dikawinkan sudah cukup baik. Perhitungan nilai S/C dan CR dapat memberikan gambafan terhadap keberhasilan IB tanpa harus menunggu sampai pedet lahir dan nilainya dipengaruhi oleh kesuburan pejantan, betina dan teknik IB. Dari data rekapitulasi kegiatan inseminator KPBS Pangalengan, Kabupaten Bandung periode Januari - Desember 1999 diperoleh nilai SIC sebesar 1.78 dan CR 64.80%. Nilai tersebut telah memenuhi standar SIC dan CR normal. Namun demikian nilai CR responden sangat rendah yaitu 28%. Untuk meningkatkan produksi dan efisiensi reproduksi perlu peningkatan pengetahuan peternak melalui pendidikan non formal penyuluhan dan kursus. Para inseminator supaya lebih sering memantau terhadap kesehatan hewan dan dapat mencapai IB dengan baik dan benar.