Efisiensi teknis dan produktivitas bawang putih pada berbagai level adopsi standar operasional prosedur (SOP) di Kabupaten Temanggung
Abstract
Kebutuhan bawang putih semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, berkembangnya usaha hotel, restoran dan katering (horeka), serta pertumbuhan industri pengolahan makanan dan obat tradisional yang cukup pesat. Peningkatan konsumsi bawang putih dari waktu ke waktu jika tidak diimbangi dengan peningkatan produksi dalam negeri akan menyebabkan semakin tingginya ketergantungan terhadap impor. Produksi dalam negeri mengalami permasalahan yaitu: (1) produktivitas yang masih rendah; (2) belum terbangunnya industri perbenihan yang kuat; (3) penguasaan teknologi budidaya yang masih rendah; (4) skala usahatani yang kecil dan terpencar-pencar; (5) tingginya harga input produksi; dan (6) lemahnya posisi tawar petani terhadap produk yang dihasilkan.
Kabupaten Temanggung sebagai sentra produksi bawang putih terbesar di Indonesia memiliki produktivitas yang masih rendah dibanding produktivitas nasional dan dunia. Oleh karena itu, permasalahan rendahnya produksi dan produktivitas tersebut perlu dikaji secara komprehensif akar permasalahannya. Produksi dan produktivitas berkaitan erat dengan permasalahan risiko produksi, efisiensi usahatani, preferensi risiko petani, dan penerapan teknologi. Analisis keempat variabel tersebut perlu dilakukan untuk menghindari bias penyebab masalah produksi dan produktivitas yang rendah. Penelitian bertujuan untuk menganalisis: (1) faktor input yang memengaruhi produksi, risiko produksi, dan inefisiensi bawang putih; (2) preferensi risiko petani bawang putih dalam menghadapi risiko produksi; (3) tingkat efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomi usahatani bawang putih serta sumber-sumber terjadinya inefisiensi teknis; (4) pengaruh preferensi risiko petani dan faktor sosial ekonomi lainnya terhadap tingkat penerapan SOP bawang putih; dan (5) persepsi petani terhadap tingkat kekritisan faktor-faktor risiko usahatani bawang putih dan manajemen risikonya.
Penelitian dilakukan di Kabupaten Temanggung sebagai sentra produksi bawang putih yang menyumbang 27,5% produksi nasional. Pemilihan sampel kecamatan, desa, dan kelompok tani dilakukan secara purposive yaitu wilayah atau kelompok yang merupakan sentra produksi di kabupaten Temanggung. Data primer diperoleh melalui survei terhadap 226 petani yang menjalankan usahatani bawang putih pada tahun 2022. Model Kumbhakar digunakan untuk menganalisis tujuan pertama, kedua, dan ketiga secara simultan dengan menggunakan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE) dengan aplikasi R Studio. Tujuan keempat dianalisis menggunakan Ordinary Least Square (OLS) dengan aplikasi SPSS 25 sedangkan tujuan kelima dianalisis dengan metode Failure Modes and Effects Analysis (FMEA).
Berdasarkan hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh signifikan dalam meningkatkan produksi bawang putih ialah luas
iii
lahan, benih, urea, NPK, tenaga kerja dalam keluarga, penggunaaan mulsa, dan keikutsertaan petani pada program yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun importir. Faktor input yang berpengaruh signifikan sebagai risk inducing factors ialah ZA, insektisida, herbisida, dan tenaga kerja dalam keluarga. Faktor input yang berpengaruh signifikan sebagai risk reducing factors ialah penggunaan mulsa dan keikutsertaan dalam program pemerintah atau importir. Faktor input yang berpengaruh signifikan menurunkan inefisiensi teknis ialah NPK dan keikutsertaan dalam program pemerintah atau importir. Preferensi risiko petani bawang putih terhadap keseluruhan penggunaan input produksi ialah risk averse. Rata-rata efisiensi teknis petani bawang putih mencapai 0,85, rata-rata efisiensi alokatifnya sebesar 0,68, dan rata-rata efisiensi ekonominya mencapai 0,57.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat penerapan SOP usahatani bawang putih dipengaruhi oleh predisposing factors berupa tingkat pendidikan petani, pengalaman usahatani, pengetahuan petani tentang SOP, sikap petani terhadap SOP, preferensi risiko petani, dan jenis kelamin petani. Reinforcing factors yang memengaruhi penerapan SOP ialah peran penyuluhan dan partisipasi petani dalam program pemerintah atau importir. Hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat 13 faktor risiko yang dipersepsikan paling kritis oleh petani yaitu :
(1) kondisi iklim dan cuaca tidak menentu; (2) curah hujan yang cukup tinggi; (3) harga jual bawang putih terlalu murah; (4) rantai pemasaran yang panjang; (5) petani tidak menerapkan SOP dengan baik; (6) harga input produksi mahal; (7) serangan kera; (8) benih bersertifikat tidak tersedia; (9) serangan ulat bawang; (10) serangan penyakit busuk akar; (11) keterbatasan modal; (12) kelangkaan pupuk bersubsidi; (13) dan kelompok tani yang kurang berperan dalam pemasaran.
Implikasi kebijakan yang dapat dilakukan ialah: (1) pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan pencabutan beberapa jenis pupuk non Urea dan NPK dalam Permentan No 1 Tahun 2024 karena masih dibutuhkan petani bawang putih berskala kecil untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas; (2) memberikan prioritas subsidi input bagi usahatani bawang putih sebagai insentif agar petani termotivasi menanam bawang putih sehingga produksi meningkat dan ketergantungan impor dapat dikurangi; (3) perluasan areal penanaman perlu dilakukan dengan optimalisasi lahan, pengawasan pelaksanaan wajib tanam bagi importir, dan peningkatan indeks penanaman dengan stimulasi bantuan irigasi sprinkler agar petani dapat menanam bawang putih di luar musim hujan; (4) diseminasi SOP perlu dilakukan menggunakan media yang lebih bervariasi dan modern. SLI, SLPTT, dan SLPHT perlu diperbanyak agar penerapan SOP dan kemampuan mitigasi risiko petani meningkat; (5) perlu penelitian lebih lanjut mengenai preferensi risiko petani terhadap risiko harga untuk mengetahui penyebab rendahnya efisiensi alokatif.
Kata kunci: efisiensi, preferensi risiko, standar operasional prosedur, usahatani bawang putih The need for garlic is increasing along with population growth, the development of hotels, restaurants, and catering, and the rapid growth of the food processing and traditional medicine industries. If not balanced by an increase in domestic production, the increase in garlic consumption over time will lead to increased dependence on imports. Domestic production experiences problems such as: (1) low productivity; (2) a seed industry has not been well developed; (3) mastery of cultivation technology is still low; (4) small and scattered farming scale;
(5) high prices of production inputs; and (6) the weak bargaining position of farmers.
Temanggung Regency, Indonesia's largest garlic production center, has low productivity compared to national and world productivity. Therefore, the problem of low production and productivity needs to be analyzed comprehensively. Production and productivity are closely related to issues of production risk, farming efficiency, farmers' risk preferences, and the application of technology. These four variables need to be analyzed to avoid bias that causes production problems and low productivity. The research aims to analyze: (1) input factors that influence garlic production, production risks, and technical inefficiencies; (2) risk preferences of garlic farmers in facing production risks; (3) the level of technical, allocative, and economic efficiency of garlic farming and the sources of technical inefficiency;
(4) the influence of farmers' risk preferences and other socio-economic factors on the level of implementation of garlic SOPs; and (5) Farmers' perceptions of the criticality level of garlic farming risk factors and risk management strategies.
The research was conducted in Temanggung Regency, the largest garlic production center, contributing 27,5% of national production. The sample of sub- districts, villages, and farmer groups was selected as purposeful as areas or groups that are production centers. Primary data was meticulously obtained through a comprehensive survey of 226 farmers cultivating garlic in 2022. The Kumbhakar model is used to analyze the first, second, and third objectives simultaneously using the Maximum Likelihood Estimation (MLE) method with the R Studio application. The fourth objective was analyzed using Ordinary Least Squares (OLS) with the SPSS 25 application, while the fifth objective was analyzed using the Failure Modes and Effects Analysis (FMEA) method.
Based on the results of the study, it was concluded that the factors that significantly influenced garlic production were land area, seeds, urea, NPK, labor in the family, use of mulch, and farmer participation in programs implemented by the government and importers. Input factors that have a significant influence as risk- inducing factors are ZA, insecticides, herbicides, and labor in the family. Input
v
factors that significantly influence risk-reducing factors are the use of mulch and participation in government or importer programs. Input factors that significantly reduce technical inefficiency are NPK and participation in government or importer programs. Garlic farmers' risk preferences regarding the overall use of production inputs are risk-averse. The average technical efficiency of garlic farmers is 0,85, the average allocative efficiency is 0,68, and the average economic efficiency is 0,57, mulch and participation in government or importer programs. Input factors that significantly reduce technical inefficiency are NPK and participation in government or importer programs. Garlic farmers' risk preferences regarding the overall use of production inputs are risk-averse. The average technical efficiency of garlic farmers is 0,85, the average allocative efficiency is 0.68, and the average economic efficiency is 0,57.
The results of the research show that predisposing factors that influence the level of implementation of SOPs are farmers' education level, farming experience, farmers' knowledge of SOPs, farmers' attitudes towards SOPs, farmers' risk preferences, and farmers's gender. Reinforcing factors that influence the implementation of SOPs are the role of extension and farmer participation in government or importer programs. The research results stated that 13 risk factors were perceived as the most critical by farmers: (1) uncertain climate and weather conditions; (2) reasonably high rainfall; (3) the selling price of garlic is too low; (4) long marketing chain; (5) farmers do not implement SOPs properly; (6) expensive production input prices; (7) monkey attack; (8) certified seeds are not available; (9) onion caterpillar attack; (10) root rot disease attacks; (11) capital limitations; (12) scarcity of subsidized fertilizer; (13) and farmer groups that play less role in marketing.
The policy implications that can be implemented are: (1) Evaluating Minister of Agriculture Regulation No. 1 of 2024 that eliminates several types of fertilizer subsidies. Small-scale garlic farmers still require these fertilizers to increase efficiency and production; (2) Prioritizing input subsidies for garlic farming as a step to increase efficiency and production, thereby reducing import dependence; (3) expanding the planting area by optimizing land use, monitoring the implementation of mandatory planting for importers, and increasing the planting index through sprinkler irrigation assistance. This allows farmers to plant garlic outside the rainy season; (4) advancing SOP dissemination by using more variation and modern methods to ensure effective implementation of policies and programs. Increasing number of SLI, SLPTT, and SLPHT will help farmers to better manage risks and increase their adoption of SOPs, ultimately enhancing the overall efficiency and productivity; (5) conducting further research on farmers' risk preferences regarding price risk to determine the causes of low allocative efficiency and to develop targeted interventions.
Keywords: efficiency, garlic farming, risk preferences, standard operating procedures