Analisis Pergerakan Nilai Tukar Rupiah dan Empat Mata Uang Negara ASEAN
Abstract
Sejalan dengan upaya pencapaian integrasi ekonomi menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) lebih dalam, stabilitas nilai tukar intra kawasan perlu mendapatkan perhatian penting. Stabilitas nilai tukar diperlukan untuk menciptakan kepastian usaha dan investasi kawasan yang pada gilirannya akan mempengaruhi arus barang dan jasa lintas batas terutama pada negara – negara yang sangat tergantung pada pasar Internasional. Stabilitas nilai tukar kawasan menjadi tujuan jangka panjang sejalan dengan tujuan peningkatan integrasi ekonomi regional secara substansial. Ketidakpastian nilai tukar di kawasan tidak saja akan menghambat arus barang dan jasa tetapi juga arus modal. Dengan semakin tertintegrasinya pasar keuangan Indonesia dengan pasar keuangan Internasional dan sejalan dengan diterapkan sistem nilai tukar mengambang bebas sejak 14 Agustus 1997, telah menyebabkan pergerakan nilai tukar Rupiah menjadi rentan akibat pengaruh faktor internal dan eksternal. Nilai tukar yang sangat berfluktuasi sangat menganggu proses bekerjanya kehidupan ekonomi banyak negara yang mata uangnya bebas dipertukarkan dengan mata uang negara lain, apalagi bagi negara dengan tingkat keterbukaan ekonomi dan keuangannya tinggi. Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka kecil, sangat rentan terhadap gejolak ekonomi global. Fluktuasi mata uang asing sangat berpengaruh terhadap ekonomi domestik. Sehingga komitmen Indonesia untuk mewujudkan MEA akan menghadapi banyak tantangan apabila tidak berusaha untuk memperbaiki kondisi ekonomi demi mengejar ketertinggalan dengan negara lain. Bila dilihat dari perkembangan nilai tukar riil maupun nominal pada periode Januari 1990 sampai dengan November 2008 Rupiah berfluktuasi paling tajam dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Fluktuasi tertajam terjadi ketika krisis ekonomi tahun 1998 dimana kurs Rupiah sempat terdepresiasi hingga mencapai Rp 15.000/US$ dari sebelumnya yang berada pada nilai Rp 4.650/US$ di bulan Desember 1997. Menurut Setboonsorg dalam Annisa (2004) pada awal Januari 1998 nilai Bath telah jatuh 40% Rupiah 80%, Peso 30%, Ringgit 40% terhadap Dolar dari nilai Juli 1997. Dengan melemahnya nilai tukar mata uang Rupiah menandakan lemahnya kondisi untuk melakukan transaksi luar negeri baik itu untuk ekspor dan impor maupun dalam pembayaran hutang luar negeri. Terdepresiasinya mata uang Indonesia menyebabkan perekonomian Indonesia menjadi goyah dan dilanda krisis ekonomi. Penelitian ini memiliki dua tujuan utama pertama, melakukan analisis pergerakan nilai tukar Rupiah dibandingkan dengan mata uang di empat negara ASEAN lainnya. Menganalisis kemungkinan bersatunya Rupiah dengan mata uang lainnya dengan melihat respon dari guncangan yang dihadapi. Penelitian ini menggunakan data sekunder time series dari bulan Januari 1990 sampai bulan Oktober 2008. Data tersebut dibagi menjadi 2 bagian yakni iii sebelum krisis dan setelah krisis ekonomi. Data diperoleh dari International Financial Statistic (IMF),CEIC. Model penelitian ini dilakukan dengan model koreksi kesalahan Vector Error Correction Model (VECM). Hasil empiris penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan analisa Forecasting Error Decompotision of Variance (FEDV). Pergerakan nilai tukar Rupiah sebelum krisis lebih dominan dipengaruhi oleh kurs Rupiah itu sendiri, Ringgit dan Bath sedangkan Dollar Singapura dan Peso hanya memberikan sedikit pengaruh pada pergerakan Rupiah. Sedangkan pada periode setelah krisis nilai tukar Rupiah masih dominan dipengaruhi oleh Rupiah itu sendiri dan Dollar Singapura, namun pengaruh Bath justru sangat kecil. Untuk nilai tukar mata uang ASEAN lainnya sebelum krisis pergerakannya lebih banyak dipengaruhi oleh nilai tukar mata uang lain, sedangkan pada periode setelah krisis pergerakannya lebih dominan dipengaruhi oleh nilai tukar mata uang itu sendiri. Berdasarkan hasil analisis Impulse Response Function (IRF), pada periode sebelum krisis Rupiah tidak responsif dalam merespon mata uang ASEAN lain, sementara itu setelah krisis Rupiah cukup responsif dalam merespon nilai tukar ASEAN. Hal ini terjadi karena perbedaan rezim nilai tukar yang ditetapkan dimana sebelum krisis digunakan rezim nilai tukar mengambang terkendali (Manage Floating Exchange Rate Regime) sehingga fluktuasi nilai tukar dibiarkan mengambang namun tetap dikendalikan agar tetap stabil. Namun pada periode setelah krisis Rupiah terlihat responsif karena sistem nilai tukar yang digunakan mengambang bebas (Free Floating Exchange Rate). Berdasarkan kondisi tersebut kemungkinan Rupiah bersatu dengan mata uang lainnya cukup besar terutama pada periode setelah krisis, namun pada periode setelah krisis kemungkinanya lebih kecil karena Rupiah kurang responsif. Keterbatasan penelitian ini hanya mencangkup analisis pergerakan nilai tukar Rupiah dengan empat mata uang di ASEAN melalui analisa deret waktu yang merupakan analisa sebagian kecil dari banyak prasyarat dalam penetapan mata uang tunggal. Untuk tahap selanjutnya sebaiknya dilakukan analisis pergerakan seluruh mata uang baik di negara ASEAN maupun Asia Timur dengan menggunakan variabel dummy agar dapat dilihat perbedaannya.