Karakteristik Perubahan Mutu Ikan Selama Penanganan oleh Nelayan Tradisional dengan Jaring Rampus (Studi Kasus di Kaliadem, Muara Angke, DKI Jakarta).
Abstract
Sebagian besar produksi ikan tangkap di Indonesia dihasilkan oleh usaha perikanan rakyat berskala kecil yang masih terbatas baik fasilitas, teknologi penangkapan, penanganan maupun sanitasi. Sementara itu nelayan tradisional setempat, banyak yang melakukan penangkapan tanpa menggunakan persiapan peralatan dan bahan untuk menyimpan hasil tangkapan dengan baik. Oleh karena itu, diperlukan studi untuk mempelajari karakteristik perubahan mutu ikan selama penanganan oleh nelayan tradisional dan untuk mengetahui sejauh mana upaya penanganan (handling) di kapal, pembongkaran yang dilakukan di darat (penanganan di darat) dan penanganan pada saat dilakukan pelelangan oleh nelayan tradisional. Pada penelitian ini, terlebih dahulu dilakukan pengkajian jenis perahu, jenis ikan dominan yang tertangkap, peralatan handling dan jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan tradisional setempat. Kemudian dilakukan pengkajian langsung di lapangan, terhadap aspek kesegaran mutu hasil tangkapan pada setiap titik pengamatan, dengan cara organoleptik. Untuk analisis proksimat, kandungan nilai TVB (Total Volatile Base), nilai pH (derajat keasaman) dan kandungan total bakteri (Total Plate Count) dilakukan di laboratorium. Sebagian besar alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Muara Angke adalah sejenis jaring insang (gillnet), disebut jaring rampus. Jaring rampus adalah jaring insang yang dioperasikan di dasar perairan dengan cara menghadang arah gerak ikan. Namun dalam prakteknya, ikan yang tertangkap jaring rampus oleh nelayan Muara Angke, adalah jenis ikan-ikan pelagis. Ukuran jaring rampus, yaitu memiliki panjang kurang lebih 104 meter dan lebar jaring adalah dua meter. Ada dua ukuran mata jaring yaitu 1,5 inchi untuk jenis-jenis ikan tepi yang rata-rata kecil dan 2,5 inchi untuk jenis-jenis ikan tengah dengan ukuran ikan agak besar. Kondisi musim penangkapan (musim paceklik atau musim panen) dan faktor cuaca (hujan), juga mempengaruhi nelayan tradisional Muara Angke untuk memilih ukuran mata jaring yang akan digunakan. Sehingga metode dan ukuran mata jaring yang digunakan oleh nelayan disesuaikan dengan situasi dan kondisi tersebut. Rata-rata nelayan tradisional Muara Angke melakukan penangkapan one day fishing dengan kapal-kapal yang berkapasitas 5 GT. Berangkat rata-rata berkisar pada pukul 03.00 dini hari sampai dengan pukul 06.00 pagi. Daerah penangkapan pertama fishing ground I) dicapai dalam waktu kurang lebih 60 menit. Sarana fisik yang digunakan selama proses penanganan ikan adalah ember, keranjang plastik dan box styrofoam. Kebersihan peralatan tersebut kurang diperhatikan, karena setelah digunakan hanya dicuci dengan air laut, disikat tanpa sabun dan tanpa penyemprotan. Ikan yang baru saja ditangkap, dikumpulkan di geladak kapal smpai seluruh jaring terangkat. Untuk mencegah terjadinya kemunduran mutu yang cepat, ikan dicuci dengan air laut, setelah itu dilakukan penyortiran. Penyortiran hanya berdasarkan nilai jual ikan. Ikan yang bemilai jual tinggi seperti bandeng dimasukkan kedalam palkah atau box styrofoam berukuran 90x40~35c m yang berisi es. Sedangkan ikan yang bernilai jual rendah seperti kapas dimasukkan ke dalam wadah atau ember berisi air laut tanpa diberi es. Es yang dibeli dari pedagang, dalam bentuk balok berukuran 60x25~25 dengan berat sekitar 20 kg. Higiene para nelayan dapat dilihat dari pakaian dan kebiasaan nelayan ketika sedang bekerja. Kemunduran mutu ikan selama penanganan oleh nelayan tradisional diduga karena peralatan dan pengetahuan tentang tata cara handling yang dimiliki masih belum memadai. Dari basil penelitian diperoleh tingkat penurunan mutu sampai pada saat ikan di bakul tengkulak, untuk ikan bandeng sebesar 14,37 % dan ikan kapas sebesar 29,68. Nilai rata-rata organoleptik ikan bandeng dan ikan kapas pada setiap titik pengamatan mengalami penurunan, namun masih memiliki tingkat kesegaran yang baik. Untuk ikan bandeng T1 (9,74); T2 (8,91); T3 (8,51) dan T4 (8,34). Untuk ikan kapas TI (9,80); T2 (8,63); T3 (7,23) dan T4 (6,89). Hal ini ditunjang dengan adanya sistem tengkulak, sehingga menyebabkan rendahnya nilai jual komoditas perikanan tangkap. Dengan tingkat kesegaran pasca panen ikan kurang baik, kerusakan atau kehilangan (losses) selama penanganan dan pengolahan tidak dapat dihindari. Dari hasil analisis proksimat; untuk ikan bandeng diperoleh nilai rata-rata kadar air (73,20 %), abu (1,66 %), protein (22,51 %) dan lemak (1,94 %); sedangkan ikan kapas diperoleh nilai rata-rata kadar air (75,17 %), abu (3,89 %), protein (14,66 %) dan lemak (4,08 %). Ikan bandeng termasuk ikan berkadar protein tinggi dan berlemak rendah. Sedangkan ikan kapas termasuk ikan berkadar protein rendah dan berlemak rendah. Nilai pH untuk ikan bandeng pada saat TI (6,69); T2 (6,63); T3 (6,53) dan T4 (6,49). Sedangkan untuk ikan kapas nilai pH pada saat T1 (6,81); T2 (5,90); T3 (5,84) dan T4 (5,87). Nilai TVB (Total Volatile Base) sampai pada titik pengamatan terakhir (T4) masih dalam kondisi segar dengan nilai mutu baik, dimana untuk ikan bandeng pada saat T1 (8,21 mgNt100g); T2 (1 0,39 mgNt100g); T3 (1 1,97 mgN/100g) dan T4 (12,lO mgNt100g). Sedangkan untuk ikan kapas pada saat TI (9,83 mgNt100g); T2 (12,05 mgNt100g); T3 (19,66 mgN1100g) dan T4 (20,42 mgN1100g). Kandungan jumlah bakteri (Total Plate Count) baik pada ikan bandeng maupun ikan kapas terus mengalami peningkatan dari awal penangkapan (TI) sampai ikan di tengkulak (T4), namun masih dapat dikatakan ikan segar, karena masih dalam jumlah batas maksimum yaitu lo5 dimana untuk ikan bandeng TI (5,3x103 kolonitgram); T2 (2,2xlo4 kolonitgram); T3 (6,7x104 kolonitgram) dan T4 (1,3x105 koloni/gram). Sedangkan untuk ikan kapas TI (3,lxl o4 koloni/gram); T2 (4,2x104 koloni/gram); T3 (3,9x105 koloni/gram) dan T4 (4,4x105 koloni/gram).