Karakteristik Lanskap Kampung Tradisional di Halimun Selatan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Sebuah Studi pada Kampung Kasepuhan di Kesatuan Adat Banten Kidul, Kampung Sirnaresmi, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat)
Abstract
Kawasan Halimun di Jawa Barat memiliki potensi alam dan sosiobudaya yang menarik dan belum banyak dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Dari segi sosiobudaya, di kawasan Halimun bermukim penduduk dalam kelompok kecil dan agak besar yang pola perilakunya menunjukkan karakteristik budaya Sunda abad ke-16, yakni warga kesatuin dan lazim disebut Kasepuhan. Warga kasepuhan yang tergabung dalam masyarakat adat kesatuan Banten Kidul ini masih memegang nilai-nilai tradisi namun tidak sepenuhnya terasing dari pengaruh dan hubungannya dengan dunia luar. Kekhasan dari pola hidup dan bentuk bangunannya membuat masyarakatnya mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan alam di mana mereka menetap. Hal ini diduga mempengaruhi karakter lanskap tempat mereka tinggal yang didasari pada nilai-nilai tradisi yang mereka pegang. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi karakter lanskap kampung tradisional pada masyarakat adat yang ada di kawasan Halimun, Jawa Barat. Penelitian di lapang dilakukan mulai bulan Mei 2003 sampai September 2003. Lokasi studi berada di Kampung Sirnaresmi, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Pemilihan lokasi, pertama, didasarkan pada terdapat tiga kasepuhan di Desa Sirnaresmi yang masih memungkinkan pengamatan lebih banyak dengan polapola kampung yang ada. Ke dua, terdapatnya narasumber berupa tokoh-tokoh adat yang masih tergolong 'baris kolot' (elit adat) yang banyak mengetahui makna filosofis perkembangan kampung dan bangunan. Ke tiga, terbangunnya trust building atau kedekatan hubungan emosional yang terjalin RMI (Rimbawan Muda Indonesia, salah satu LSM yang bergerak di bidang lingkungan dan pemberdayaan rnasyarakat) dengan warga sebelurn penulis rnemulai penelitian di Kampung Sirnaresmi. Ke empat, Kampung Sirnaresmi merupakan salah satu kampung tua yang masih memungkinkan terlacaknya berbagai aspek tradisional. Ke lima, aksesibilitas Kampung Sirnaresmi cukup mudah dicapai dibanding kampung-kampung lainnya. Metode yang digunakan adalah observasi dan penelusuran sejarah. Ada tiga tahap yang dilakukan. Tahap pertama adalah menggali informasi mengenai masyarakat kasepuhan dari sumber pustaka dan nara sumber RMI serta menentukan lokasi penelitian dengan rnelakukan survei awal ke desa. Tahap ke dua adalah penentuan kampung yang akan menjadi sampel kemudian melakukan inventarisasi data meliputi data biofisik, sosial ekonomi, demografi, dan sejarah kampung. Dalam penggalian data digunakan cara "participant observation". ~ahapke tiga adalah analisis secara deskriptif yang mencakup tata ruang kampung, pola kampung, tata gun'a lahan kampung dan pemukiman untuk kemudian memperoleh karakter lanskap kampung tersebut. Dari hasil studi diketahui bahwa masyarakat Kasepuhan memiliki hubungan yang erat dengan kerajaan ~unda-~indteur akhir yang 'berpusat di Pakuan Pajajaran (Bogor, Jawa Barat) pada sekitar tahun 1579. Tahun $579 Pakuan Pajajaran digempur oleh Kerajaan Banten, rakyat Pakuan menyelamatkan diri dan menyingkir ke arah barat dan selatan, sekitar Gunung Kendeng dan Halimun. Dalam aspek sosiobudaya, para elit adat di Kampung Sirnaresmi mengaku keturunan Pancer Pangawinan yang memiliki makna simbolis mempersatukan makro dan mikro kosmos untuk mencapai satu kesatuan hidup yakni bumi dengan alam dan manusia dengan kemanusiaannya. Pedoman hidup mereka tertuang pada prinsip, pertama, mipit amit (minta izin pada leluhur untuk memetik padi), nganggo suci ( tingkah laku harus baik), mangan halal (apa pun yang dirnakan harus halal), ngucap lawan sabenerna (berkata harus jujcr); ke dua, nyanghulu ka hukum (dalam hidup harus sesuai dengan hukum yang berlaku), nyanghunjar ka nagara (berlindung pada negara), mufakat jeung balarea (bermufukat untuk kepentingan bersama. Pelanggaran pada prinsip akan mendatangkan bencana 'kabendon' oleh karena itu mereka harus mendengar pada wangsit yang diterima dari 'Tutunggul' kepala adat mereka yang bertempat tinggal di Kampung Gede. Pola penggunaan lahan masyarakat tradisional memiliki kekhasan tersendiri yang mewarnai kampungnya yakni hutan alam, hutan ulayat, kebun/talun/huma, makam sawah, dan pemukiman. Tata ruang rumah meliputi; 1). Ruang publik; 2). Ruang privasi; dan 3). Ruang kerja. Yang termasuk ruang publik adalah tepas, tengah imah, taweuran, sorondoy. Kemudian yang termasuk ruang privasi adalah sepen, pangdaringan dan kamar mandi (jika ada). Sedangkan yang termasuk ruang kerja adalah goah atau dapur. Pada rumah kasepuhan, tihang awi termasuk pada ruang privasi. Bangunan tradisional yang teridentifikasi adalah imahhumi (rumah), ajeng, leuit, saung lesung, saung leutik, pangkemitan, dan panyayuran. Bentuk bangunannya adalah bapang, sontog, dan tagog anjing. Bentuk bapang terlihat pada pangkemitan, tiang awi, leuit, dan saung lesung, bentuk sontog terlihat pada bumi ageung (rurnah kasepuhan) dan bentuk tagog anjing terlihat pada saung leutik, kandang ternak (kambing dan kerbau). Masyarakat kasepuhan memiliki konsep alam kehidupan sebagai manifestasi dari persepsinya terhadap makrokosmos, yakni (1) alam kahyangan (suwarga maniloka); (2) alam dunya (buana panca tengah); dan (3) alam handap. Elemen-elemen di dalam kampung yang membentuk tata ruangnya adalah kuburan, bangunan, buruan, kebun, empang dan sawah. Yang rnenjadi ciri unik adalah letak buruan gede (lapangan bola)'dan leuit yang berkelompok. Lapangan menjadi center point kampung sebab lapangan tersebut dekat dengan rumah Tutunggul di mana fungsi lapangan tidak hanya sebagai tempat olahraga dan bermain tapi juga sebagai pusat kegiatan tradisi. Kemudian arah penempatan leuit yang harus menghadap ke utara dan selatan diyakini memiliki kesucian sebab merupakan penghormatan kepada Dewi Sri Pohaci. Oleh karena itu pola Kampung Sirnaresmi menunjukkan pola kampung dengan tanah lapang di tengah kampung. Karakter lanskap kampung kasepuhan dipengaruhi faktor sosial budaya dan alam seperti iklim, relief, dan geografis. Namun seiring dengan pengaruh modernisasi, di rnana mereka tidak menutupnya, seperti sosial ekonomi, komunikasi, dan transportasi, membuat .pola tradisi pada tata bangunan dan kehidupan mereka berkembang menjadi agak modern.