Sistem pemasaran dan strategi pemasaran kayu lapis : studi kasus pada PT Kutai Timber Indonesia Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur
Abstract
Industrialisasi di sektor kehutanan berkembang dengan pesat sejak diberlakukannya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (SKBTN) tahun 1980 dan Surat Keputusan Bersama Empat Dirjen (SKBED) tahun 1981. Pada dasarnya kedua surat keputusan tersebut berisi tentang pendirian industri kayu bagi pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang berintikan industri kayu lapis, dimana pada SKBTM dan SKBED tersebut ekspor kayu bulat harus dikurangi dan akhirnya pada tahun 1985 baru ekspor kayu bulat baru benar-benar diberhentikan. Sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah mengenai pelanggaran ekspor kayu bulat, maka ekspor hasil hutan (kayu) diarahkan dalam bentuk barang jadi atau setengah jadi, dengan demikian nilai tambah (added value) dari pengolahan tersebut dapat dinikmati masyarakat Indonesia sebagai produsen maupun konsumen.
Peningkatan produksi dan industri di satu segi akan menimbulkan masalah penjualan dan pemasaran di segi lain. Produksi kayu lapis menunjukkan kenaikan dengan berkembangnya industri di bidang tersebut, untuk itu masalah pemasarannya memerlukan analisis yang lebih mendalam, karena akhirnya masalah ini akan menentukan apakah industri kayu lapis pertumbuhannya bisa dipercepat atau tidak. Disamping tingkat produksi yang semakin meningkat di Indonesia, untuk dapat memasuki pasar maka kayu lapis yang diekspor harus mampu bersaing dengan kayu lapis yang dihasilkan produsen dari negara lain. Dengan usaha menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang timbul salah satu cara dengan menentukan strategi pemasaran yang tepat.