Analisis hubungan kelas kelompok tani dan beberapa karakteristik petani terhadap kelancaran pengembalian K U T : studi kasus di Kecamatan Jatisari, Kabupaten Karawang Propinsi Jawa Barat
View/ Open
Date
1991Author
Handayani, Destri
Utomo, Bambang S.
Sutarno, Ono
Metadata
Show full item recordAbstract
Penerapan teknologi di bidang pertanian membutuhkan tambahan biaya yang cukup besar. Karena pada umumnya petani di Indonesia sangat lemah dalam permodalan, maka untuk dapat menerapkan teknologi tersebut mereka membutuhkan bantuan modal (berupa kredit) dari pemerintah. Penyediaan kredit pertanian oleh pemerintah telah dimulai semenjak tahun 1964, dengan nama Kredit Bimas. Kredit Bimas mengalami kemacetan/ketidaklancaran dalam pengembaliannya, walaupun dari segi peningkatan produksi dan pendapatan petani boleh dikatakan berhasil. Hal ini terutama disebabkan karena penyaluran Kredit Bimas yang bersifat massal (langsung dari BRI ke petani), sehingga BRI kesulitan mengawasi petani peminjam.
Ketidaklancaran/kemacetan pengembalian Kredit Bimas tersebut akhirnya mendorong pemerintah untuk melakukan penyempurnaan dalam tata cara penyaluran kredit pertanian kepada petani, yaitu kredit tidak lagi disalurkan massal tetapi melalui KUD dan kelompok tani dulu secara baru ke petani. Dengan demikian diharapkan fungsi pengawasan bisa berjalan dengan baik, karena skopnya lebih kecil dan ketua kelompok tani dapat mengawasi setiap petani anggota kelompoknya yang meminjam kredit, begitu pula dengan KUD. Kredit ini disebut dengan Kredit Usahatani (KUT), dan dimulai sejak musim tanam 1985...