Analisis kelayakan usaha perikanan tangkap dan pemanfaatan layanan permodalan bagi nelayan tradisional di Desa Blanakan Kabupaten Subang - Propinsi Jawa Barat
Abstract
Desa Blanakan adalah satu dari sembilan desa di Kecamatan Blanakan yang dikenal sebagai pusat aktivitas perikanan laut. Nelayan yang ada di Desa Blanakan adalah penduduk lokal dan pendatang. Nelayan lokal menggunakan perahu kayu tanpa motor dan perahu kayu bermotor dengan ukuran mulai 3 GT hingga 7 GT dan jaring jenis arad, rampus, tegur dan bondet. Jumlah nelayan di Desa Blanakan adalah 735 orang. Nelayan lokal pada umumnya menjadi anggota KUD Mina Fajar Sidik. Nelayan pendatang pada umumnya berasal dari daerah Indramayu, Karawang, Tegal dan Cirebon. Nelayan pendatang menggunakan perahu kayu bermotor dengan ukuran mulai 28 hingga 38 GT dan jaring jenis pursin (purse seine) dan cantrang (danish seine). Jenis perahu yang dioperasikan oleh nelayan lokal didominasi oleh perahu jenis arad (trawl). Sebanyak 583 nelayan atau 79% dari jumlah nelayan menggunakan perahu arad. Perahu arad dilarang untuk dioperasikan oleh Pemerintah karena bisa merusak ekosistem laut. Kondisi tersebut bisa menjadi sebuah masalah bagi nelayan. Selain terbentur pada masalah legalitas, nelayan juga akan dihadapkan pada masalah ketersediaan ikan. Kerusakan ekosistem laut akan menurunkan ketersediaan ikan. Masalah tersebut bisa dilihat dari munculnya gejala penurunan tingkat produksi nelayan lokal di Unit TPI mulai tahun 2000 hingga tahun 2002. Jumlah produksi nelayan lokal di Unit TPI pada tahun 2000 adalah 744.870 Kg atau 13% dari total produksi Unit TPI sebesar 5,7 juta Kg. Jumlah produksi nelayan lokal pada tahun 2001 adalah 562.220 Kg atau 10,41% dari total produksi Unit TPI sebesar 5,4 juta Kg. Jumlah produksi nelayan lokal pada tahun 2002 adalah 542.364 Kg atau 9,75% dari total produksi Unit TPI sebesar 5,5 juta Kg.
Kondisi tersebut bisa menjadi sebuah masalah bagi nelayan. Nelayan bisa menyusun berbagai alternatif pemecahan masalah, salah satunya adalah pembelian armada tangkap yang tidak dilarang oleh Pemerintah dan lebih modern. Langkah ini menimbulkan konsekuensi biaya tambahan. Nelayan bisa menggunakan modal pribadi atau modal pinjaman dari lembaga keuangan yang ada di wilayahnya. Lembaga keuangan formal yang berada di Blanakan adalah Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP-M3), Bank BRI dan Unit simpan pinjam KUD. Lembaga keuangan non formal yang memberikan layanan permodalan bagi nelayan di Blanakan adalah tengkulak. Menurut Murdjijo (1997) dan Kusumaatmadja (2003), nelayan mengalami kesulitan dalam mendapatkan modal dari lembaga keuangan. Pernyataan tersebut diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Hermanto, Friatno dan Mintoro (1995). Mereka mengatakan bahwa nelayan memiliki akses yang rendah terhadap lembaga permodalan. Keterbatasan atau rendahnya akses nelayan kepada lembaga keuangan bisa disebabkan oleh ketidakmampuan nelayan dalam memenuhi standar penilaian yang ditetapkan oleh lembaga keuangan (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2000). Pada umumnya, lembaga keuangan menetapkan syarat dan prosedur kredit dalam bentuk penilaian asas 5C (character, capacity, capital, condition of economic & collateral) dan analisis kelayakan usaha.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kondisi usaha dan mengkaji kelayakan usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan di Desa Blanakan; mengetahui dan mengkaji aspek kehidupan sosial nelayan yang sesuai dengan unsur penilaian karakter dan kapasitas calon debitur yang ditetapkan oleh lembaga keuangan; mengetahui dan mendeskripsikan layanan permodalan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan yang dapat dimanfaatkan oleh nelayan di Desa Blanakan; mengetahui dan..dst