Strategi Petani Dalam Menghadapi Tekanan PTPN XIl. Studi Kasus Masyarakat Petani Desa Simojayan, Kecamatan Ampel Gading, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur
Abstract
Penelitian ini mengkaji tentang strategi petani dalam menghadapi tekanan PTPN
XII, yang disebabkan oleh adanya hubungan dengan patron baik yang berasal dari
dalam komunitas ataupun yang berada di luar komunhas. Hubungan yang terjalin bisa terbentuk atas dasar hubungan ekonomi, politik ataupun sosial. Adanya perbedaan dalam hal penguasaan terhadap sumberdaya Iahan, mendorong adanya sebuah hubungan dengan pihak yang tidak menguasai lahan. Kemudian mengarah pada hubungan petani dengan seorang atau beberapa patron yang mengandung konsekuensi terhadap perbedaan tingkat kesejahteraan antara petani dan penguasa lahan.
Berdasarkan kondisi tersebut, kajian yang dilakukan dalam penelitian ini
berkaitan dengan strategi yang diterapkan petani saat menghadapi krisis subsistensi,
yang disebabkan oleh melemahnya kesejahteraan petani akibat dari adanya hubungan dengan mandor (patron ekonomi) yang mewakili PTPN XII. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah; 1) Bagaimana kebijakan pemerintah yang terkait dengan PTPN XII serta interaksi PTPN melalui mandor menimbulkan lemahnya kesejahteraan petani ke arah subsistensi; 2) Bagaimana strategi survival yang diterapkan petani dalam menghadapi kondisi lemahnya kesejahteraan petani ke arah subsistensi; 3) Bagaimana strategi lain yang diterapkan petani, apabila strategi survival dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan subsisten petani?
Tujuan skripsi ini adalah untuk memahami tentang strategi yang dilakukan
petani dalam menghadapi beragam situasi tekanan yang dianggap bisa mengancam
subsistensi petani perkebunan. Terutama yang berkaitan dengan pemahaman terhadap kondisi yang menyebabkan petani lemah, strategi yang diterapkan petani saat ada dalam kondisi subsistensi, serta faktor-faktor penyebab munculnya solidaritas dan militansi petani yang memungkinkan petani melakukan perlawanan terhadap PTPN apabila
strategi survival dianggap tidak mampu menjamin kondisi subsisten petani.
Penelitian ini dilakukan di Desa Simojayan, Kecamatan Ampelgading,
Kabupaten Malang, Propinsi J awa Timur. Penelitian dilakukan pada bulan Juni sampai dengan September 2004. Pemilihan lokasi tersebut berdasarkan pertimbangan, karena kasus tanah yang melibatkan petani masyarakat Simojayan dan PTPN XIT, sampai saat ini masih belum terselesaikan dan masyarakat tetap mempertahankan tanah hasil babatan, meski belum memperoleh status hukum resmi atas tanah tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menerapkan strategi studi
kasus eksploratif.. Data diperoleh melalui wawancara mendalam, catatan harian, studi
riwayat hidup, pengamatan berpartisipasi, Focus Group Discussion (FGD) dan kajian
literatur. Penentuan subyek kasus dan informan menggunakan teknik snowballing (bola
salju). Informan penelitian adalah mereka yang tergolong tokoh masyarakat, kepala
desa dan kyai yang telah lama hidup dan tinggal di komunitas Simojayan. Di samping
itu, terdapat informan lain yang terlibat membantu masyarakat baik sebelum ataupun
sesudah aksi berupa LSM dan lembaga huk:um, seperti YPPR Enlightment Malang,
LBH Surabaya Pos Malang, serta dari pihak Perkebunan PTPN XII, dan BPN Malang.
Sedangkan subyek kasus adalah mereka yang termasuk petani yang ikut serta dalam
aksi babatan lahan perkebunan. Unit analisa dalam penelitian ini adalah keluarga dan
masyarakat.
Kebijakan pertanahan yang berkaitan dengan perkebunan di desa Simojayan
tidak terlepas dari perkembangan sejarah perkebunan dari beberapa periode
pemerintahan. Kebijakan zaman pemerintahan Belanda dalam membuka lahan hutan
untuk dijadikan perkebunan milik Belanda, telah mendatangkan warga dari daerah
Madura, Kediri, Probolinggo dan Blitar sebagai membuka hutan. Para pembuka hutan
ini kemudian dipekerjakan sebagai buruh di perkebunan milik Belanda. Kedatangan
Jepang, membawa perubahan dalam hal kebijakan tanah di perkebunan. Perkebunan
milik Belanda yang terdapat di Simojayan, Malang Selatan, kemudian Jepang ambil
alih. Selama pemerintahan Jepang berlangsung, perkebunan Belanda dibagi-bagikan
kepada petani Simojayan untuk ditanami tanaman pangan. Perubahan tanaman
perkebunan yang dikelola oleh Belanda menjadi tanaman pangan yang dikelola petani
Simojayan, tidak merubah kehidupan masyarakat Simojayan menjadi lebih sejahtera.
Penduduk menjadi semakin sengsara, karena rakyat diwajibkan kerja paksa dan
menanam tanaman pangan untuk kepentingan perang Jepang. Selain itu, masyarakat
diwajibkan pula untuk menjadi tenaga romusha. Sekembalinya, Jepang ke negerinya,
karena menyerah pada tentara sekutu. Lahan perkebunan milik Belanda dan Jepang
diambil alih dan dibagi-bagikan kepada rakyat untuk digarap oleh petani Simojayan
oleh DPRRS. Setelah petani menggarap selama tiga tahun, kemudian Belanda kembali
melanjutkan hak erjpachtnya yang kurang lima tahun lagi.
Setelah hak erjpacht Belanda habis. Semua perkebunan milik Belanda di nasionalisasi, dan sebagai gantinya berlakulah Hak Guna Usaha (HGU). Pemegang HGU adalah perusahaan perusahaan negara melalui PPN. Kemudian setelah rnengalami beragam perubahan PPN, PPN kemudian menjadi PTPN XII. PTPN XII sebagai pemegang HGU, dalam pendiriannya tersangkut beberapa permasalahan baik secara hulaim ataupun syarat pendirian. Meskipun demikian, sampai saat ini keberadaan PTPN, masih sebagai pemegang HGUsampai tahun 2013.
Sistem perkebunan dengan segala macam kebijakannya, telah menciptakan
hubungan yang eksploitatif antara mandor terhadap buruhnya, untuk kepentingan
penguasa kebun. Hubungan yang eksploitatif antara mandor sebagai patron ekonomi
luar komunitas, dengan petani lokal, menjadi penyebab lemahnya kesejahteraan yang
dialami petani, karena posisi mereka hanya sebatas buruh. Status buruh yang berada
dalam kontrol mandor, mengandung konsekuensi dari setiap perilakunya saat bekerja,
selalu diawasi oleh mandor. Pemberian sangsi yang dilakukan oleh mandor terhadap
buruh yang melanggar ketentuan, semakin memperparah posisi petani, yang sudah
sedemikian lemahnya. Saat petani berada pada tingkat kesejahteraaan yang lemah,
petani mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan hidup (karena upah yang tidak setara), ditambah dengan berbagai tekanan dari PTPN yang diberikan mandor.
Menyebabkan petani berada pada kondisi subsistensi. Lemahnya posisi petani
memunculkan rasa solidaritasnya sebagai sesama kelompok, yang merasa dirugikan
'termarginalkan' oleh keberadaan PTPN.
Saat petani berada pada posisi kesejahteraan yang lemah (subsistensi), untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya, petani melakukan beragam strategi survival guna
mengatasi kekurangan yang ia alaminya. Mengacu pada strategi yang dinyatakan Scott,
petani Simojayan rnenerapkan strategi bertahan hidup tanpa berontak dengan
menggunakan tiga jenis strategi. Pertama, mengandalkan swadaya sendiri melalui
tolong menolong dan mengurangi konsumsi makan dengan makan tiwul sebagai makan
sehari-hari, mamen; dan mengutang. Kedua bekerja di luar sektor pertanian melalui
manjing. Ketiga, mengandalkan jasa patron melalui tumpang karang dan sistem maro.
Bentuk-bentuk strategi survival petani, yang melibatkan orang-orang di dalam
kornunitas, sesama petani dan patron lokal, akan semakin memperkuat rasa solidaritas
di kalangan petani, terutama saat menghadapi kondisi subsistensi. Petani akan
mengencangkan sabuknya, untuk menghadapinya secara bersama, agar beban yang
dirasakan bisa dibagi dan diatasi dengan sesamanya. Pada kondisi ini, selain beban yang
dihadapi petani terasa ringan, rasa solidaritas dan militansi diantara sesama petani pun
semakin kuat terbentuk karena interaksi yang dilakukan dengan orang-orang yang
berada dalam komunitas (dengan sesama petani dan patron lokal).
Aksi babatan yang dilakukan masyarakat, dipicu oleh sejarah masa lalu
masyarakat yang berkeinginan untuk bisa mengolah tanahnya kembali tidak k:unjung
terpenuhi. Selama itu, petani berada dalam kondisi subsisten, yang telah memunculkan
solidaritas dan militansi dikalangan petani. Terutama saat menghadapi kondisi ini petani
melakukan strategi survival yang memungkinkan petani berinteraksi dengan sesamanya.
Didukung oleh kesadaran setelah mendengar rapat huk:um tanah oleh Pernda KabupatenMalang tentang luas tanah PTPN.
Masyarakat terdorong untuk melakukan perlawanan terhadap PTPN, karena petani sadar bahwa keberadaan PTPN, tidak syah secara hukum dan pendiriannya. Adanya interaksi patron dengan pihak luar desa seperti partai politik, LBH dan LSM rnerupakan faktor penduk:ung rneningkatnya militansi petani sebagai pihak yang dirugikan atas keberadaan PTPN. Militansi yang tinggi pada petani, mendorong dilakukannya perlawanan terhadap PTPN rnelalui babatan. Keinginan untuk mengolah tanah (berdasarkan sejarah perjuangan tanah perkebunan Kalibakar), kondisi subsisten petani, peran patron lokal, pengaruh pihak luar desa dan adanya momen yang menyadarkan petani akan keberadaan PTPN, telah rnendorong petani melakukan aksi
babatan atas tanah PTPN, selama tiga hari mulai tanggal 23 sarnpai tanggal 25
Desember 1997.
Berdasarkan hasil penelitian ini, saran yang perlu untuk diperhatikan adalah
sebagai berikut : 1) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang strategi perlawanan
petani, Mengingat kepastian hukum atas tanah yang belum jelas diperoleh masyarakat
dan PTPN. Terutama hal yarig terkait dengan berakhirnya SK HGU PTPN XII pada
tahun 2013 serta perpanjangan HGU berikutnya, memungkinkan munculnya reaksi
perlawanan dalam bentuk lain atas masalah ini; 2) Masyarakat sudah menjadi petani
penggarap dari lahan hasil babatan, saat ini membutuhkan kepastian hukum atas tanah
tersebut. Agar tidak menjadikan masyarakat petani berada dalam kondisi subsisten, atau
berstatus sebagai petani tanpa lahan. Maka saran yang direkomendasikan dari penelitian ini, yaitu penyelesaian secara hukum atas tanah PTPN serta advokasi politik terhadap posisi petani, sebagai langkah yang harus dilakukan secara bersamaan, agar petani berada pada taraf kesadaran (kritis) akan dirinya dan mau berusaha untuk
memperjuangkan haknya.