Analisis kelayakan usaha penyulingan minyak kayu putih yakasaba di kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan
Abstract
Salah satu penyumbang bagi perekonomian Indonesia adalah sektor kehutanan. Indonesia adalah salah satu negara yang kaya akan sumberdaya alam hutannya. Produk kehutanan yang dapat dimanfaatkan berupa hasil hutan kayu dan non kayu, namun selama ini yang dimanfaatkan hanya hasil hutan kayu sedangkan non kayu belum dimanfaatkan dengan baik. Adanya paradigma baru di sektor kehutanan yang memandang hutan sebagai sistem sumberdaya yang bersifat multi fungsi, multi guna dan memuat multi kepentingan serta pemanfaatannya diarahkan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, menyadarkan bahwa produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan salah satu sumber daya hutan yang memiliki keunggulan komparatif dan paling bersinanggungan dengan masyarakat sekitar hutan. Salah satu hasil hutan bukan kayu yang memiliki kontribusi yang cukup besar adalah minyak atsiri. Minyak atsiri atau yang disebut juga dengan essential oils adalah ekstrak alami dari jenis tumbuhan tertentu, baik berasal dari daun, bunga, kayu, biji-bijian bahkan putik bunga Dari sekitar 80 jenis minyak atsiri yang selama ini menjadi komoditas perdagangan, sekitar 40 jenis diantaranya dapat diproduksi di Indonesia dan baru sekitar 12 jenis minyak atsiri yang menjadi komoditas ekspor Indonesia. Salah satu minyak atsiri andalan Indonesia yang memiliki harga yang relatif stabil dan merupakan salah satu minyak atsiri produk kehutanan non kayu Indonesia adalah minyak kayu putih. Minyak kayu putih merupakan minyak hasil penyulingan tanaman kayu putih. Usaha penyulingan minyak kayu putih ini sangat prospektif untuk dikembangkan, selain karena tanaman ini mudah untuk dibudidayakan termasuk pada lahan kritis sekalipun, tetapi juga masih banyaknya permintaan akan minyak kayu putih yang belum dapat dipenuhi. Kebutuhan minyak kayu putih dalam negeri belum dapat dipenuhi dari sumber sendiri, hal ini dikarenakan masih sedikitnya produsen minyak kayu putih yang ada di Indonesia, diantaranya Perum Perhutani, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Propinsi DIY, industri rakyat di Kepulauan Maluku, dan beberapa sumber kecil lainnya. Melihat potensi inilah, didirikannya usaha penyulingan Yakasaba di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Usaha penyulingan ini merupakan usaha yang dimiliki oleh perusahaan pertambangan batubara yang ada di Sumatera Selatan, dimana perusahaan ini memiliki perkebunan kayu putih yang merupakan hasil revegetasi yang dilakukan oleh perusahaan terhadap lahan tambangnya yang sudah tidak produktif lagi. Sebagai usaha baru dan pertama di daerah Sumatera Selatan, diperlukan studi kelayakan untuk mengetahui apakah usaha ini layak atau tidak untuk dijalankan. Tujuan penelitian ini adalah (1) Menganalisis kelayakan non finansial usaha penyulingan MKP Yakasaba, (2) Menganalisis kelayakan finansial usaha penyulingan MKP Yakasaba dan (3) Menganalisis sensitivitas usaha penyulingan MKP Yakasaba. Analisis data kuantitatif menggunakan program komputer Microsoft Excel 2007 dan disajikan dalam bentuk tabulasi yang digunakan untuk mengklasifikasi data yang ada serta mempermudah dalam melakukan analisis data. Selain itu digunakan juga Minitab 14 untuk meramalkan produksi serta harga dari MKP Yakasasa selama umur proyek berlangsung. Sedangkan untuk data kualitatif disajikan dalam bentuk deskriptif. Data kualitatif merupakan hasil analisis terhadap aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek hukum, dan aspek sosial ekonomi dan lingkungan. Berdasarkan hasil analisis kelayakan non finansial yaitu analisis aspek pasar, teknis, manajemen, hukum, dan sosial ekonomi dan lingkungan, usaha penyulingan MKP Yakasaba ini layak untuk dilaksanakan, karena tidak ada faktor yang menghambat kegiatan produksi Yakasaba dari tiap-tiap aspek. Analisis aspek finansial dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga skenario atau pola usaha. Pada skenario I, diperoleh nilai NPV sebesar Rp 1.264.477.393,82, IRR sebesar 28,90 persen , Net B/C sebesar 4,63, serta nilai Payback Periode selama 6 tahun 4 bulan dan 28 hari. Pada skenario II, nilai NPV yang diperoleh sebesar Rp 2.848.453.013,92, IRR sebesar 35,86 persen, Net B/C sebesar 5,51, dan Payback Periode selama 5 tahun 1 bulan 12 hari. Sedangkan pada skenario III, nilai NPV yang diperoleh adalah sebesar Rp 2.982.818.583,46, dengan nilai IRR sebesar 48,79 persen, Net B/C sebesar 8,74, serta Payback Periode selama 4 tahun 18 hari. Berdasarkan keempat kriteria kelayakan finansial, ketiga skenario tersebut layak untuk dijalankan. Jika dilihat dari hasil analisis sensitivitas, skenario II yang merupakan usaha penyulingan minyak kayu putih yang saat ini sedang dijalankan adalah usaha yang paling sensitif terhadap penurunan harga jual minyak kayu putih sebesar 23 persen, sedangkan skenario I merupakan pola usaha yang paling sensitif terhadap kenaikan harga bahan bakar batubara sebesar 18 persen. Kenaikan harga bahan bakar batubara tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap usaha dikarenakan pada kedua skenario ini penggunaan bahan bakar batubara hanya pada tahun pertama saja, sedangkan untuk tahun-tahun berikutnya menggunakan bahan bakar yang berasal dari limbah penyulingan daun kayu putih.
Collections
- UT - Agribusiness [4610]